Kluster Permukiman Tandai Tingginya Penularan Covid-19 di Komunitas
Munculnya kluster Covid-19 di sejumlah permukiman di Indonesia harus diwaspadai oleh masyarakat dan diantisipasi oleh fasilitas kesehatan. Tes dan pelacakan kasus harus lebih aktif dilakukan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kluster Covid-19 yang bermunculan di lingkungan permukiman menunjukkan tingginya tingkat penularan di komunitas. Dibutuhkan pelacakan yang masif untuk memutus rantai penularan ini agar kasus Covid-19 tidak terus membesar sehingga melebihi kapasitas layanan fasilitas kesehatan.
”Kluster di lingkungan permukiman menunjukkan Covid-19 telah menyebar antarkeluarga. Terutama dipicu oleh aktivitas kumpul bersama selama musim liburan dan perayaan Idul Fitri kemarin,” kata epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, Kamis (27/5/2021).
Dalam dua pekan terakhir, sejumlah kluster Covid-19 di permukiman telah terdeteksi di berbagai daerah. Misalnya, di Dusun Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ditemukan 55 warga yang positif Covid-19. Di Bantul, Yogyakarta, juga ditemukan 29 warga di salah satu desa yang positif. Sebelumnya, kluster hunian sementara di Keluarahan Mojo, Solo, Tegal, dan perumahan warga di Cipayung, Jakarta Timur.
”Kluster-kluster permukiman ini juga menandai semakin longgarnya kesadaran warga menerapkan protokol kesehatan. Padahal, di saat yang sama telah terjadi transmisi lokal sejumlah varian baru Covid-19 yang lebih menular,” kata Iwan.
Menurut Iwan, kluster Covid-19 dalam skala lingkungan kemungkinan akan semakin membesar di perkotaan, khususnya di Jakarta, seiring dengan kembalinya arus balik mudik dan pelaku perjalanan dari liburan di daerah. Untuk mencegah membesarnya kluster permukiman ini, harus ada pengetatan karantina dan pemeriksaan terhadap masyarakat yang baru melakukan perjalanan.
Kluster-kluster permukiman ini juga menandai semakin longgarnya kesadaran warga menerapkan protokol kesehatan. Padahal, di saat yang sama telah terjadi transmisi lokal sejumlah varian baru Covid-19 yang lebih menular.
Iwan menambahkan, cakupan vaksinasi yang disuntikkan ke masyarakat sejauh ini belum bisa efektif mencegah laju penularan. ”Vaksin mungkin bisa berguna menekan tingkat kematian, tetapi tidak bisa untuk menekan laju penularan kasus. Cakupannya masih terlalu kecil, apalagi vaksin belum untuk masyarakat umum,” katanya.
Kemunculan kluster penularan ini menambah tingginya kasus Covid-19 harian di Indonesia. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus harian di Indonesia pada Kamis (27/5/2021) mencapai 6.278. Ini merupakan penambahan kasus harian tertinggi dalam 20 hari terakhir.
Kasus pada Kamis ini ditemukan dengan memeriksa 62.386 orang. Dari jumlah ini, hanya 26.472 yang diperiksa menggunakan tes usap reaksi rantai polimerase (PCR) dan tes cepat molekular (TCM) 268 orang. Sisanya diperiksa menggunakan tes cepat antigen. Rasio tes positif dengan PCR dan TCM mencapai 21,67 persen, lebih tinggi dari rata-rata dalam seminggu sebesar 19,84 persen.
Pelacakan rendah
Iwan mengatakan, selain meningkatkan tes, Indonesia juga wajib memperkuat pelacakan. ”Berdasarkan Intra Action Review yang dilakukan Kemenkes bulan lalu, rasio pelacakan kita masih 1:4, masih sangat jauh dari standar minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1:30 atau standar Kemenkes sendiri yang harusnya 1:15,” tuturnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, penularan di komunitas merupakan tingkat penularan tertinggi dari penyakit menular. ”Saya khawatir penularan di lingkungan perumahan ini hanya sebagian kecil yang ditemukan karena di sebagian besar daerah, utamanya di luar Jawa, kapasitas tes kita masih sangat kecil,” katanya.
Pemodelan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington menunjukkan, penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia pekan ini bisa mencapai lebih dari 62.000 per hari. Pemodelan ini di antaranya didasarkan dari tren jumlah kematian yang dilaporkan.
Dicky mengatakan, upaya pelacakan yang diikuti pemeriksaan harus dilakukan lebih progresif dengan aktif mendatangi komunitas. ”Kita tidak bisa menunggu masyarakat memeriksakan diri karena karakter masyarakat kita cenderung mengobati sendiri kalau sakit dan hanya akan ke rumah sakit kalau sudah parah. Itu akan sangat terlambat bagi pasien, selain memperluas penularan,” tuturnya.
Menurut Dicky, pemerintah harusnya menggerakkan kembali program penjangkauan ke masyarakat dengan menggerakkan kader kesehatan. ”Intervensi yang dilakukan harus mendatangi masyarakat dari rumah ke rumah,” katanya.