Terjadi 40 Kali Gempa di Selat Sunda dalam Tiga Hari
Rentetan gempa bumi terjadi di Selat Sunda. Selat Sunda dikenal memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks akibat adanya pergerakan lempeng Indo Australia yang menekan lempeng Eurasia.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 40 kali gempa bumi terekam di Selat Sunda dalam tiga hari terakhir dengan pusat di perairan sebelah barat Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Rentetan gempa ini dimulai dengan gempa ganda berkekuatan masing-masing M 4,9 dan M 5,2 pada Minggu (23/5/2021), pukul 10.48 dan 10.50 WIB.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, gempa terbaru terjadi pada Selasa (25/5/2021), pukul 10.21 WIB, dengan kekuatan M 3,4. Gempa ini berlokasi sekitar 18 kilometer (km) sebelah barat laut Sumur dengan kedalaman 3 km.
Gempa ini kemungkinan dari patahan di sekitar Selat Sunda, dengan mekanisme sesar turun. (Daryono)
Rentetan gempa paling banyak terjadi pada 23 Mei, yaitu sebanyak 35 kali, disusul pada 24 Mei empat kali, dan pada 25 Mei satu kali. Gempa-gempa ini rata-rata memiliki sumber sangat dangkal dengan kekuatan M 2 hingga M 3.
”Gempa ini kemungkinan dari patahan di sekitar Selat Sunda, dengan mekanisme sesar turun,” kata Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono.
Namun, menurut Daryono, hingga saat ini patahan yang memicu rentetan gempa ini belum ada namanya. ”Di sana banyak jalur patahan,” katanya.
Data di United Stated United States Geological Survey (USGS) menunjukkan, pada 1 April 1943 terjadi gempa berkekuatan M 7,1 di lokasi yang mengalami rentetan gempa saat ini. Meski demikian, menurut Daryono, BMKG tidak memiliki data terkait kejadian gempa pada tahun 1943 tersebut.
Daryono mengatakan, Selat Sunda dikenal memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks akibat adanya pergerakan lempeng Indo Australia yang menekan lempeng Eurasia. Di Selat Sunda terjadi regangan batuan karena utara Pulau Sumatera bergerak searah jarum jam. Sementara Pulau Jawa ke arah sebaliknya. Ini menyebabkan Selat Sunda seperti engsel yang membuka.
Regangan inilah yang menciptakan terbentuknya banyak jalur patahan di sekitar Selat Sunda, dengan mekanisme sesar turun (normal fault).
”Gempa-gempa ini menjadi bukti bahwa peregangan di Selat Sunda memang terjadi dan terus berlangsung,” katanya.
Di kawasan ini juga terdapat sesar geser terusan dari Sesar Semangko, yang menjadi bagian dari sistem Sesar Besar Sumatera yang memanjang hingga Aceh. Selain itu, di sebelah selatan juga terdapat zona tumbukan lempeng atau subduksi, yang berpotensi memicu gempa bumi besar dan tsunami.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) Gegar Prasetya mengatakan, kawasan Selat Sunda juga memiliki sistem vulkanik yang aktif karena keberadaan Gunung Krakatau. Seperti diketahui, erupsi Krakatau pada Desember 2018 memicu tsunami yang melanda pesisir Banten dan Lampung.
Sebelum bencana tsunami pada 2018 yang menyebabkan 429 orang meninggal dan 154 orang hilang, tsunami sudah berulang kali melanda Selat Sunda. Data Soloviev dan Go (1974) menunjukkan, setidaknya terjadi 19 kali tsunami di Selat Sunda sebelum tahun 2018.
Kajian Yudhicara dan K Budiono (2008) menyebutkan, tsunami di Selat Sunda dari beragam sumber. Dari 19 kali tsunami di Selat Sunda pada data Soloviev dan Go (1974), tiga kali akibat erupsi Anak Krakatau, pada tahun 416, 1883, dan 1928. Adapun tsunami yang dipicu gempa bumi di antaranya terjadi pada 1722, 1852, dan 1958.