Mengukur Kadar Antibodi Setelah Vaksinasi Covid-19
Tim peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan inovasi berupa perangkat untuk mengukur kadar antibodi netralisasi setelah seseorang menjalani vaksinasi Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Upaya menekan penyebaran Covid-19 dapat dilakukan jika kekebalan tubuh atau antibodi masyarakat telah terbentuk, baik sebagai penyintas maupun penerima vaksin. Karena itu, peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan kit atau perangkat untuk mendeteksi dan mengukur kadar antibodi netralisasi secara kuantitatif yang terbentuk setelah seseorang menerima vaksin Covid-19.
Vaksinasi menjadi salah satu upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19. Keseriusan pemerintah melakukan vaksinasi terlihat dari upaya mengamankan pasokan vaksin yang mencapai lebih dari 75 juta dosis. Vaksin yang didatangkan, antara lain, Sinovac (68 juta dosis), AstraZeneca (6,4 juta dosis), dan Sinopharm (1 juta dosis).
Vaksinasi untuk semua kalangan juga terus dipercepat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini baru 5 persen penduduk Indonesia yang menerima vaksin Covid-19 dengan rincian 13,6 juta orang menerima dosis pertama dan 8,9 juta orang telah menerima dosis kedua. Adapun target untuk mencapai kekebalan kelompok adalah vaksinasi harus mencakup setidaknya 181,5 juta orang.
Meski demikian, penerapan protokol kesehatan secara ketat harus terus dilakukan setelah orang menerima vaksin. Sejumlah kasus menunjukkan, orang yang telah divaksin masih bisa terpapar Covid-19. Hal ini karena butuh waktu bagi vaksin untuk membentuk kekebalan tubuh secara maksimal.
Guna mendeteksi dan mengukur kadar antibodi yang terbentuk setelah orang tersebut menjalani imunisasi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan kit untuk mendeteksi dan mengukur kadar antibodi netralisasi kuantitatif berbasis lateral flow immunofluorescence assay (LFIA). Secara umum, LFIA merupakan perangkat diagnostik yang digunakan untuk mengonfirmasi ada atau tidaknya senyawa dalam target.
Direktur Pusat Teknologi Bioindustri BPPT Asep Riswoko menjelaskan, kit yang dikembangkan ini adalah alat untuk mengukur jumlah antibodi netralisasi dalam darah menggunakan antigen protein RBD (receptor-binding domain). Berbeda dengan pendeteksi antibodi lain yang bersifat kualitatif, kit ini fokus pada metode kuantitatif sehingga hasil antibodi yang dikeluarkan dapat terukur dengan jelas dan tepat.
Secara teknologi, pengukuran antibodi kualitatif dan kuantitatif sangat berbeda. Pengukuran kualitatif dilakukan dengan basis antigen atau zat yang ditempelkan di kit serta antibodi yang diukur yakni immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM). Alat tes cepat untuk mengetahui antibodi IgG dan IgM dalam diri seseorang banyak digunakan pada awal pandemi sebagai penapisan (screening) Covid-19.
Sementara dalam metode kuantitatif, pengukuran antibodi IgG dan IgM tidak bisa menggunakan antigen yang sama dengan metode kualitatif. Pengukuran dalam kuantitatif harus menggunakan antigen yang difraksinasi atau dipisahkan dan dipilah kembali.
”Antibodi dalam tubuh manusia itu banyak sekali. Ilmuwan meyakini yang berperan dalam membunuh virus adalah kelompok antibodi netralisasi dan ini berbeda dengan antibodi IgG atau IgM. Jadi, tingkat kesulitan membuat kit ini lebih tinggi dibandingkan tes kualitatif,” ujarnya.
Menurut Asep, kit pengukur kadar antibodi netralisasi ini dikembangkan karena adanya urgensi untuk mengetahui dan mengukur kadar antibodi seseorang sehingga dapat dilakukan monitoring efek proyek vaksinasi pada suatu wilayah. Sebab, kekebalan kelompok baru bisa terbentuk jika lebih dari 70 persen populasi di suatu wilayah tersebut telah terbentuk antibodi netralisasi.
”Inilah yang akan diukur oleh tes kit ini sehingga diketahui apakah penggunaan vaksin itu berpengaruh dalam membentuk antibodi. Jadi, bisa dijadikan data untuk melihat berapa populasi di suatu wilayah yang sudah terbentuk antibodinya setelah pemberian vaksin dengan dosis lengkap,” tuturnya.
Tingkat kesulitan membuat kit ini lebih tinggi dibandingkan tes kualitatif,
Meski demikian, pengukuran antibodi netralisasi tidak hanya dapat dilakukan pada seseorang yang telah mendapatkan vaksin, tetapi juga penyintas Covid-19. Hal ini karena tubuh mayoritas penyintas Covid-19 sudah memproduksi antibodi netralisasi secara alami. Bahkan, terkadang kadar antibodi netralisasi penyintas Covid-19 lebih tinggi dibandingkan seseorang yang menerima vaksin.
Cara deteksi
Asep menjelaskan, sebelum mendeteksi kadar antibodi netralisasi, orang tersebut akan diambil sampel darahnya sebanyak 20 mikroliter. Selanjutnya, darah dicampur dengan reagen dari sejumlah senyawa dan didiamkan selama lima menit. Campuran yang sudah homogen tersebut kemudian diteteskan dalam plat kit alat tersebut dan kembali didiamkan selama 15 menit.
”Sistem pembacaan di alat kami, kemampuan tubuh seseorang untuk menangkal virus belum terbentuk jika kadar atau angka antibodi netralisasinya menunjukkan di bawah 20 unit. Kalau di atas 20 unit, artinya dia sudah memiliki ketahanan dan dianggap aman karena virus tidak akan berkembang di dalam tubuh,” ucapnya.
Asep menambahkan, alat ini bukan suatu standar terbaik (gold standard) yang diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam mengukur kadar antibodi netralisasi seseorang. Standar terbaik mengukur antibodi netralisasi yang diakui WHO adalah dengan pemberian virus hidup atau disebut sistem surrogate virus nuetralization test (sVNT).
Akan tetapi, sistem sVNT sulit dilakukan karena membutuhkan fasilitas yang sangat aman setara level keamanan biologi atau Biosafety Level 3 sehingga tidak mungkin melakukan pengukuran secara komunal. Sementara tes kit antibodi buatan BPPT masih mungkin digunakan untuk pengukuran kadar antibodi secara komunal karena sistem ini tidak menggunakan virus hidup.
”Saat ini kami bersama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran melakukan validasi antara sistem sVNT dan kit pengukur antibodi buatan BPPT. Jadi, kami akan melihat dan membandingkan dua sistem ini apakah hasilnya sama atau meleset berapa persen. Targetnya, awal Juni 2021 semua subyek sudah selesai dideteksi,” katanya.
Asep berharap, BPPT dan pihak terkait lainnya seperti lembaga biologi molekuler dapat meningkatkan pengembangan kit dari protein RBD dengan kemurnian tinggi secara mandiri. Protein RBD yang bisa digunakan sebagai bahan baku deteksi antibodi netralisasi ini ke depan digali lebih jauh dengan segala proses kemurniannya.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, pengembangan kit deteksi antibodi kuantitatif ini diharapkan melancarkan program vaksinasi yang tengah berjalan. Ia juga berharap alat tes ini dapat mendeteksi dan menganalisis kemampuan kekebalan kelompok sejak dini kepada masyarakat seusai menjalani vaksinasi.
”Sebelumnya BPPT sudah meluncurkan rapid test kit untuk mendeteksi secara cepat paparan virus Covid-19 atau RDT antibodi RI-GHA. Alat tes cepat untuk mengetahui antibodi setelah vaksinasi juga akan segera diluncurkan,” ucapnya.