Atur Algoritma Penggunaan Vaksin Covid-19 di Indonesia untuk Minimalkan Risiko
Mitigasi risiko penggunaan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca dan vaksin lain berbasis adenovirus mesti segera dirumuskan. Hal itu bertujuan menjamin keselamatan penerima vaksin dan meningkatkan kepercayaan publik.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta membuat kebijakan yang jelas terkait penggunaan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca dan vaksin lain berbasis adenovirus yang diketahui bisa menimbulkan kasus pembekuan darah disertai penurunan trombosit karena vaksin. Informasi mengenai risiko dan mitigasinya secara transparan justru akan meningkatkan kepercayaan publik.
”Kita belum punya angka kasus VITT (vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia) karena mungkin masalah di infrastruktur pendataan atau pencatatan KIPI (kejadian ikutan pascavaksinasi). Tetapi, Indonesia bisa mengambil pelajaran dari negara lain. Kita bukan istimewa, risikonya juga ada di Indonesia sekalipun persentasenya kecil” kata peneliti vaksin dan biologi molekuler di John Curtin School of Medical Research, Australia National University, Ines Atmosukarto, dalam diskusi daring yang diselenggarakan LaporCovid-19, Minggu (23/5/2021), di Jakarta.
Menurut Ines, kasus VITT atau pembekuan darah disertai penurunan trombosit karena vaksin di Inggris mencapai 260 dari 30,8 juta dosis vaksin AstraZeneca yang telah disuntikkan di sana. Sementara di Australia, kejadiannya 11 dari 1,4 juta orang yang divaksin. ”Secara keseluruhan, risiko VITT terkait AstraZeneca mencapai 10,9 per sejuta dosis yang disuntikkan,” tuturnya.
Seperti dilaporkan di sejumlah negara, kasus VITT yang tidak tertangani bisa menyebabkan kematian. Berdasarkan laporan terbaru, Pemerintah Provinsi New Brunswicker di Kanada melaporkan orang kedua yang meninggal karena kelainan pembekuan darah erkait vaksin AstraZeneca pada Jumat (21/5/2021).
Disebutkan dalam laporan Dinas Kesehatan New Brunswick, orang tersebut berusia 50-an, menerima vaksin pada 11 April, dan dirawat ke rumah sakit 17 hari kemudian. ”Risiko yang terkait vaksin ini jarang terjadi, tetapi nyata seperti yang kita lihat hari ini,” kata Jennifer Russell, Kepala Petugas Medis dan Kesehatan New Brunswick, dalam keterangan pers.
Di Asia Tenggara, negara yang juga melaporkan kasus VITT terkait vaksin AstraZeneca adalah Vietnam. Seperti diberitakan Reuters pada 7 Mei, Vietnam melaporkan korban pertama yang meninggal karena kasus ini, yaitu pasien berusia 35 tahun.
Ines menyarankan agar Pemerintah Indonesia membuat algoritma mengenai penggunaan vaksin. ”Misalnya, umur sekian, pakai AstraZeneca, dan umur lebih muda menggunakan vaksin lain. Tetapi, lepas dari algoritma ini, seharusnya sekarang yang jadi prioritas adalah kelompok lanjut usia, yang relatif rendah risikonya mengalami VITT,” ungkapnya.
Dari kasus VITT yang terjadi, rata-rata dialami kelompok usia lebih muda, di bawah 50 tahun. Seperti dilakukan di Australia, vaksin AstraZeneca hanya direkomendasikan untuk mereka yang berumur di atas 50 tahun. Sementara di bawah umur itu bisa memilih vaksin Pfizer. ”Di Indonesia mungkin di bawah umur itu bisa memakai Sinovac atau vaksin lain. Tetapi, ini kembali pada ketersediaan vaksin,” ujarnya.
Pembicara lainnya, epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, berdasarkan kajian terbaru, vaksin AstraZeneca efektif untuk melawan varian India sekitar 60 persen. Efektif juga untuk varian Inggris (66 persen) walaupun untuk Afrika Selatan efektivitasnya menurun.
”Sejauh ini semua vaksin Covid-19 lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan risikonya, tetapi pemerintah tidak bisa menutupi adanya kasus pembekuan darah karena vaksin yang bisa menimbulkan kematian. Ini harus dijelaskan dan masyarakat mendapat pilihan,” tuturnya.
Semua vaksin Covid-19 lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan risikonya, tetapi pemerintah tidak bisa menutupi adanya kasus pembekuan darah karena vaksin yang bisa menimbulkan kematian.
Dicky menambahkan, jika kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) ringan biasanya terjadi dalam rentang 1-2 hari setelah divaksin, VITT justru umumnya terjadi dalam rentang 4-20 hari. ”Tanda-tanda VITT di antaranya pusing tidak hilang-hilang, gangguan penglihatan, sakit di bagian perut, sakit di kaki bawah, dan sakit punggung berkepanjangan. Jadi, kalau ada simpton seperti ini, perlu dilaporkan,” ujarnya.
Transparansi dan kepercayaan
Dicky mengatakan, transparansi dalam vaksinasi, termasuk dalam pelaporan kejadian pascaimunisasi, sangat penting. Tidak hanya akan melindungi masyarakat, tetapi hal ini juga menjadi kunci kepercayaan dan penerimaan terhadap vaksin. ”Kejadian ikutan setelah vaksinasi itu bukan hal aneh, gejalanya bisa ringan hingga fatal. Ini tidak boleh ditutupi, justru harus dilaporkan dan dideteksi sejak dini agar bisa ditangani,” ujarnya.
Dia mencontohkan, Australia yang menyampaikan apa adanya temuan KIPI-nya. ”Dilaporkan ada dampak samping dari vaksin, juga ada kasus yang terkait pembekuan darah. Hal-hal seperti ini harus disampaikan apa adanya. Kalau ditutupi, justru akan berkembang makin buruk,” ujarnya.
Sementara itu, Ines mengatakan, laporan KIPI yang baik juga menandai kualitas infrastruktur kesehatan di suatu negara. ”Laporan KIPI yang baik menunjukkan negara itu memiliki infrastruktur kesehatan yang bagus,” tuturnya.