Putusan Gugatan Warga Negara atas Polusi Udara Jakarta Ditunda
Banyak pihak tergugat yaitu pemerintah, belum memberikan data kesimpulan akibat libur hari raya. Hal ini membuat majelis hakim kesulitan dalam mempelajari berkas perkara dan merangkum putusannya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang pencemaran udara Jakarta yang agendanya membacakan putusan, Kamis (20/5/2021). Namun, majelis hakim memutuskan untuk menunda pembacaan putusan tersebut selama tiga pekan karena masalah teknis.
Sidang gugatan pencemaran udara dari Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) dengan nomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst dijadwalkan pukul 09.00. Akan tetapi, sidang baru dimulai pukul 11.00.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Saifudin Zuhri tersebut, majelis hakim menunda pembacaan putusan hingga 10 Juni 2021 karena banyak pihak tergugat belum memberikan data kesimpulan akibat libur hari raya. Hal ini membuat majelis hakim kesulitan dalam mempelajari berkas perkara dan merangkum putusannya.
Tuntutan penggugat adalah meminta pemerintah untuk menjalankan kewajibannya yang sudah diatur dalam undang-undang, yakni memberikan jaminan udara bersih dan sehat.
Meski kecewa, Ayu Eza Tiara dari tim kuasa hukum Koalisi Ibukota menyatakan tetap optimistis memenangi gugatan ini. Hal ini tidak terlepas dari 118 alat bukti tertulis, sejumlah saksi fakta, dan empat ahli yang dihadirkan selama masa persidangan. Bahkan, bukti yang dihadirkan pihak tergugat juga membenarkan bahwa polusi udara di Jakarta sangat berbahaya.
”Terpenting, ahli yang dihadirkan tergugat justru secara jelas dalam persidangan menyatakan bahwa pemerintah lalai melakukan pemenuhan hak atas udara bersih dan sehat di Jakarta. Karena bukti yang sangat telak ini, kami optimistis 99 persen menang dan 1 persennya bagaimana perspektif hakim,” ujarnya, Kamis.
Ayu berharap, selama proses penundaan sidang putusan, hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta dan mengabulkan semua tuntutan dari 32 penggugat yang merupakan perwakilan warga Jakarta (citizen law suit/CLS).
Adapun tuntuan penggugat adalah meminta pemerintah untuk menjalankan kewajibannya yang sudah diatur dalam undang-undang, yakni memberikan jaminan udara bersih dan sehat.
”Kami berharap dari pihak tergugat seandainya dinyatakan kalah, tidak usah mengajukan banding dan kasasi. Sebab, hal ini akan membuat warga semakin lama mendapatkan hak atas udara bersih dan sehat. Dengan adanya tuntutan ini, sebenarnya bukti kekecewaan masyarakat Jakarta karena pemerintah lalai mengatasi pencemaran udara,” katanya.
Menurut Ayu, gugatan polusi udara merupakan upaya terakhir dari Koalisi Ibukota dalam menuntut udara bersih dan sehat. Sebelum mengajukan gugatan, koalisi juga telah mengajukan notifikasi selama 60 hari hingga masukan dengan harapan pemerintah dapat mengatasi pencemaran udara. Namun, hal tersebut tidak pernah direspons pemerintah.
”Sebaliknya, pemerintah justru memvalidasi data pencemaran udara yang sebenarnya kami dapatkan dari pemerintah. Dengan adanya polusi udara, sebenarnya secara nyata telah meningkatkan angka kematian dini setiap tahun hingga 13.000 jiwa,” ucapnya.
Koalisi Ibukota merupakan gabungan individu dan organisasi yang memperjuangkan hak warga untuk mendapat udara bersih di Jakarta. Sejak 2019, koalisi menggugat tujuh pihak yang dinilai tidak mampu mengatasi polusi di Jakarta. Mereka yang digugat adalah Presiden RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemprov Jawa Barat, dan Pemprov Banten.
Harapan agar majelis hakim memenangkan gugatan Koalisi Ibukota juga disampaikan Guru Besar bidang Hukum Lingkungan Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana. Sebab, ia menilai gugatan tersebut tidak hanya menyangkut aspek lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia (HAM). Ia pun berharap, saat memberikan putusan, majelis hakim dapat mempertimbangkan semua bukti dan keterangan para ahli.