La Nina Berakhir, Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan
Secara umum kemarau tahun 2021 ini dalam kategori normal hingga di atas normal. Meski demikian, potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan masih ada.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena iklim regional La Nina, yang telah berlangsung sejak Agustus 2020, akhirnya berakhir pada Mei 2021 ini. Sekalipun tahun ini diperkirakan tidak akan terjadi kemarau ekstrem, perlu tetap mewaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan.
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Kamis (20/5/2021), mengatakan, indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) telah menunjukkan nilai -0,35 yang berarti berada pada ambang batas netral. ”BMKG memperkirakan kondisi netral ini akan berlangsung hingga Desember 2021,” katanya.
Sebagian besar pusat layanan iklim dunia memprakirakan kondisi ENSO netral berlangsung hingga Oktober 2021. Namun, NASA (The National Aeronautics and Space Administration) Amerika Serikat memprakirakan La Nina berpeluang kembali terjadi pada akhir tahun.
La Nina merupakan fase dingin dari ENSO, sebaliknya El Nino merupakan fase hangat dari suhu permukaan laut di wilayah tengah dan timur ekuator Samudra Pasifik, yang akan memengaruhi intensitas hujan secara regional. La Nina biasanya menyebabkan peningkatan curah hujan di Pasifik barat, termasuk Indonesia, sebagian Asia tenggara lainnya, dan bagian utara Australia. Sebaliknya, La Nina menyebabkan pengurangan curah hujan di sebagian pantai timur Asia, bagian tengah Afrika, dan sebagian Amerika bagian tengah.
Siswanto mengatakan, Indian Ocean Dipole (IOD) pada Mei 2021 juga sebesar 0,18, menunjukkan kondisi IOD netral yang diperkirakan akan berlangsung hingga November 2021. Jika ENSO untuk mengetahui perubahan suhu di Pasifik, IOD untuk mengetahui kondisi di Samudera Hindia.
Dengan dua fenomena ini, suplai uap air dari Pasifik dan dari Samudra Hindia tidak terlalu signifikan ke wilayah Indonesia untuk bulan-bulan mendatang. (Siswanto)
”Dengan dua fenomena ini, suplai uap air dari Pasifik dan dari Samudra Hindia tidak terlalu signifikan ke wilayah Indonesia untuk bulan-bulan mendatang,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Siswanto, musim Kemarau diperkirakan akan kembali normal di sebagian besar wilayah. ”Tetapi dalam musim kemarau itu masih akan ada wet spell (jeda basah) yang disebabkan oleh siklus gangguan semi musiman seperti MJO (Madden Julian Oscillation) dan gelombang atmosfer ekuatorial lainnya,” katanya.
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari mengatakan, hujan yang masih terjadi di sejumlah wilayah, termasuk Jabodetabek saat ini, karena adanya pergerakan MJO fase basah di atas wilayah Indonesia.
”Minggu depan kemungkinan sudah mulai kering, sebab MJO memang siklusnya tidak bertahan lama pada satu posisi, maksimal seminggu,” katanya.
Peringatan dini cuaca yang dikeluarkan Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto untuk periode tiga hari ke depan menunjukkan adanya daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin memanjang di sejumlah wilayah Indonesia. Kondisi ini diperkirakan akan meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi tersebut. Misalnya, untuk tanggal 21 dan 22 Mei 2021, hujan masih berpeluang melanda sebagai wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Kebakaran hutan
Supari menambahkan, sekalipun La Nina sudah berakhir, seperti diprediksi BMKG sebelumnya, secara umum kemarau tahun ini dalam kategori normal hingga di atas normal.
”Artinya peluang kecil terjadi kondisi sangat kering. Bahkan, untuk Juli-Agustus, relatif masih basah, baru September lebih kering,” katanya.
Sekalipun demikian, Supari mengingatkan, potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih ada. ”Kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak selalu berasosiasi dengan kemarau panjang. Artinya, dalam kondisi kemarau yang normal pun, kebakaran hutan dan lahan perlu diantisipasi,” katanya.
Data dari Sistem Pemantauan Karhutla ”SiPongi” Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, dalam seminggu terakhir hanya terpantau dua titik panas di Nusa Tenggara Timur. Sementara minggu sebelumnya terpantau dua titik panas di Lampung.