Indonesia berpeluang besar dalam pembangunan masa depan hijau karena memiliki cadangan hutan tropis yang bisa berkontribusi dalam menjaga atmosfer dunia dan menyediakan mata pencaharian bagi jutaan orang.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Kendaraan terjebak kemacetan saat jam pulang kantor di Tol Dalam Kota, Senayan, Jakarta, Jumat (26/2/2021). Untuk menekan tingkat emisi gas buang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan melarang mobil berusia lebih dari 10 tahun untuk beroperasi di wilayah Ibu Kota. Putusan ini tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara dan berlaku efektif mulai tahun 2025.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk memimpin pembangunan yang lebih hijau dan berperspektif iklim. Selain keberadaan hutannya, Indonesia memiliki salah satu potensi energi baru terbarukan terbesar di dunia dan beberapa deposit nikel serta mineral lain terbesar yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi energi baru terbarukan.
Hal ini dikemukakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins dalam keterangan tertulis, Selasa (18/5/2021) malam. ”Kami berharap Indonesia, sebagai Presiden G20 mendatang, akan berdiri dan memimpin dunia dengan teladannya dalam membuat komitmen yang kuat untuk Net Zero dan menyelaraskan NDC-nya untuk diletakkan di jalur yang benar agar dapat dilaksanakan sehingga bisa memberi manfaat bagi Indonesia dan menyelamatkan planet kita,” kata Owen.
Menurut Owen, Indonesia berpeluang besar dalam pembangunan masa depan hijau karena sejumlah alasan, di antaranya memiliki cadangan hutan tropis yang bisa berkontribusi dalam menjaga atmosfer dunia dan menyediakan mata pencaharian berkelanjutan bagi jutaan orang Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi energi baru terbarukan terbesar di dunia, serta beberapa deposit nikel dan mineral lain terbesar yang dibutuhkan untuk mendukung teknologi energi baru terbarukan.
Owen mengatakan, Inggris meminta semua negara untuk berkomitmen mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 dan maju dengan target ambisius 2030 yang sejalan dengan tujuan ini. ”Melakukan lebih sedikit berarti kita berisiko gagal membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat, dan jutaan orang akan menderita,” ujarnya.
Menurut Owen, semua negara, termasuk Indonesia, dapat mempercepat transisi emisi nol bersih sejak sekarang sambil menumbuhkan ekonomi mereka lebih cepat, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, serta mendukung pengentasan kemiskinan dan kemakmuran. ”Dari pengalaman kami sendiri, pendanaan sektor publik dan swasta mengalir lebih cepat ke investasi hijau,” ujarnya.
Sekalipun memiliki potensi besar memimpin pembangunan yang lebih ramah iklim, kepemimpinan Indonesia kerap dikritik. Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati, misalnya, menilai pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate bulan lalu tidak menunjukkan kesadaran terhadap krisis iklim.
Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak. (Nur Hidayati)
Menurut Nur, dalam pidato tersebut, Presiden Jokowi tidak menyampaikan komitmen penurunan emisi yang agresif dalam pertemuan para pemimpin dunia. Padahal, sebagai salah satu negara yang terdampak krisis iklim, sekaligus salah satu penyumbang emisi besar, menurut Nur, Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak.
”Sayangnya, dalam pertemuan ini Presiden justru melakukan business as usual, yaitu penanganan perubahan iklim berbasis proyek, yang dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya terbukti tidak berhasil dan tidak berkelanjutan. Di tengah urgensi krisis iklim, Presiden justru tampil ambigu, alih-alih mengambil langkah kepemimpinan yang berani, yang bisa menginspirasi para pemimpin dunia lainnya,” kata Nur Hidayati.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Akademisi, peneliti dari dalam dan luar negeri, saat masuk ke hutan Rungan, Kalimantan Tengah, pada Juli 2017.
Akhiri penggunaan batubara
Pidato Presiden terpilih COP26 (Conference of the Parties) tentang perubahan iklim, Alok Sarma, dalam pidatonya di Glasgow, kemarin, mengatakan, COP26 tahun ini yang akan diselenggarakan di Inggris menjadi peluang terbaik dunia untuk membangun masa depan yang lebih bersih dan lebih hijau.
COP26 akan mempertemukan para negosiator iklim dari 196 negara, pelaku bisnis, organisasi, para ahli, dan pemimpin dunia di SEC di Glasgow mulai tanggal 1 hingga 12 November 2021. ”Saya yakin bahwa para pemimpin dunia akan mempergunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin, dan bukan sekedar menunggu nasib,” ujar Sharma
Dalam mempersiapkan pidatonya, Sharma menanyakan kepada anak perempuannya tentang pesan apa yang harus dia berikan kepada para pemimpin dunia tentang prioritas mereka. ”Responsnya sederhana, yaitu, ’tolong beri tahu kepada mereka untuk memilih planet ini’. Dan itulah pesan yang ingin saya sampaikan kepada Anda hari ini. Pesan dari putri saya. Pesan dari generasi mendatang. Inilah momen kita. Tidak ada kesempatan kedua. Ayo kita pilih planet ini,” sebut Sharma.
Menurut Sharma, apabila kita serius untuk mencegah kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius, kita harus mengurangi separuh emisi global pada tahun 2030. ”Oleh karena itu, Glasgow harus menjadi KTT yang mengakhiri penggunaan batubara. Kita bekerja secara langsung dengan pemerintah dan melalui organisasi internasional, untuk mengakhiri pembiayaan batubara secara global,” tuturnya.
Menurut Sharma, hari-hari penggunaan batubara sebagai sumber energi termurah sudah lewat. ”Kita harus menjadikan COP26 sebagai momen penting untuk mengakhiri penggunaan batubara, sambil mendukung pekerja dan komunitas untuk melakukan transisi,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta negara-negara anggota G-7 memimpin transisi menuju ekonomi hijau dengan meninggalkan tenaga batubara. ”Kita juga harus bekerja dengan negara-negara berkembang untuk mendukung transisi mereka ke energi bersih,” jelas Sharma.
Menurut dia, Inggris telah menjadi contoh adanya transisi ini. Pada tahun 2012, 40 persen listrik Inggris berasal dari batubara, tetapi saat ini hanya tinggal kurang dari 2 persen. Dalam waktu kurang dari 20 tahun, Inggris mengembangkan sektor angin lepas pantai terbesar di dunia. Melalui komitmen untuk mengurangi emisi karbon hingga 78 persen pada tahun 2035, Inggris akan sepenuhnya menghentikan penggunaan tenaga batubara pada tahun 2024, serta mengakhiri penjualan kendaraan bensin dan diesel baru pada tahun 2030.