Mitigasi Risiko Pembekuan Darah dari Vaksin Covid-19 AstraZeneca
Meski peluangnya sangat kecil, risiko pembekuan darah dari vaksin Covid-19 AstraZeneca perlu dimitigasi agar tidak menimbulkan masalah kesehatan yang besar.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vaksin Covid-19 berbasis vektor adenovirus dari AstraZeneca dan Johnson & Johnson diketahui terkait dengan kejadian sindrom pembekuan darah. Namun, persentasenya sangat kecil sehingga akan tetap bisa digunakan. Pemerintah diminta memitigasi risiko tersebut dengan tidak memberikan vaksin ini kepada kelompok rentan.
”Kejadian yang terkait pembekuan darah akibat vaksinasi Covid-19 terutama terkait dengan vaksin AstraZeneca dan vaksin J&J (Johnson & Johson). Kedua vaksin ini menggunakan platform teknologi yang mirip, yaitu menggunakan virus sebagai pembawa antigen (adenovirus),” kata peneliti vaksin dan biologi molekuler di John Curtin School of Medical Research, Australia National University, Ines Atmosukarto, dalam diskusi daring, Selasa (18/5/2021).
Menurut Ines, kejadian vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia (VITT) atau pembekuan darah dari vaksin buatan AstraZeneca sebesar 10 per sejuta dan vaksin J&J sebesar 3 per sejuta. ”Sampai sekarang masih belum jelas apakah hal ini disebabkan pembawanya, komposisinya, atau dari antigennya. Namun, sejauh ini belum ada laporan VITT dari vaksin platform lain,” tuturnya.
Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo, yang menjadi moderator diskusi mengingatkan, vaksin CanSinoBIO yang akan digunakan dalam program vaksin gotong royong juga menggunakan platform adenovirus. Oleh karena itu, pemberian vaksin ini disarankan mendapat pemantauan serupa.
Ines mengatakan, sejauh ini belum ada laporan terkait vaksin CanSinoBIO. Akan tetapi, kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) terkait VITT sangat bergantung pada kualitas pelaporan di setiap negara. Selain itu, kejadian VITT ini umumnya tidak terjadi segera, tetapi bisa terjadi dalam waktu hingga satu bulan. ”Oleh karena itu, di Australia, vaksinator diminta mengingatkan pasien untuk mewaspadai gejala tertentu setelah divaksin AstraZeneca hingga sebulan,” ujarnya.
Dokter penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Dirga Sakti Rambe, mengatakan, kejadian VITT dari vaksin AstraZeneca ini umumnya terjadi pada usia muda, kurang dari 50 tahun. Selain itu, 20 persen dari 10 per sejuta kasus VITT yang berdampak kematian. Jika ditangani dengan tepat, fatalitasnya bisa dikurangi.
Dengan kondisi ini, menurut Dirga, sejumlah negara memilih sikap berbeda terhadap vaksin ini. Sebagian menghentikan penggunaannya sama sekali. Sebagian lain membatasi penggunaannya untuk kelompok usia tertentu, misalnya di atas 50- 60 tahun. Ada juga yang masih menggunakannya dengan memitigasi risiko dan memantau KIPI secara lebih baik.
Jika ada gejala itu setelah divaksin, segera ke rumah sakit terdekat. Untuk dokter yang menangani, jika ada orang yang melaporkan seperti ini, jangan diabaikan. Pemeriksaan dasar yang harus diambil, sekurangnya memeriksa darah lengkap dan segera laporkan ke Komite Nasional KIPI.
Mitigasi Risiko
Dokter patologi klinik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tonang Dwi Ardyanto, mengatakan, setiap produk medis, termasuk vaksin, memiliki manfaat dan risiko. ”Kalau bicara kesehatan publik, vaksin AstraZeneca dinilai masih aman karena manfaatnya melebihi risikonya,” ujarnya.
Namun, menurut dia, jika dilihat dalam skala individu, tetap harus ada upaya untuk meminimalkan risikonya. ”Kita harus menyiapkan mitigasinya sehingga jika ada yang terkena dampak sampingnya, harus bisa diantisipasi,” ujarnya.
Dirga mengatakan, untuk memitigasi risiko ini, disarankan para vaksinator lebih hati-hati. ”Jika yang akan divaksin ada riwayat penyakit pembekuan darah tidak normal, kalau bisa jangan pakai AstraZeneca. Pasien yang secara rutin mengonsumsi obat pengencer darah juga mesti hati-hati menggunakannya. Ini bukan tidak boleh secara mutlak, melainkan harus lebih hati-hati,” tuturnya.
Selain itu, para klinisi di Indonesia juga perlu memantau riwayat pasien setelah divaksin dalam rentang 4-28 hari. Jika menerima pasien yang telah divaksinasi ini dengan keluhan sakit kepala yang berat dan persisten, disertai gangguan penglihatan, ada kemungkinan mengalami pembekuan darah di kepala. Gejala lainnya adalah nyeri di dada dan perut yang hebat dan persisten hingga kaki bengkak sebelah.
”Jika ada gejala itu setelah divaksin, segera ke rumah sakit terdekat. Untuk dokter yang menangani, jika ada orang yang melaporkan seperti ini, jangan diabaikan. Pemeriksaan dasar yang harus diambil, sekurangnya memeriksa darah lengkap dan segera laporkan ke Komite Nasional KIPI,” tuturnya.
Secara terpisah, Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Pemerintah Indonesia tetap akan menggunakan vaksin AstraZeneca di luar kode produksi CTMAV547 yang saat ini tengah diinvestigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). ”Vaksinasi AstraZeneca akan dilanjutkan dengan kode produksi yang lain,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia juga masih akan mendatangkan vaksin AstraZeneca. ”Penggunaan vaksin AstraZeneca tetap terus berjalan karena vaksinasi Covid-19 membawa manfaat lebih besar,” kata Nadia.
Vaksin AstraZeneca sebelumnya telah memperoleh Emergency Use Listing (EUL) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mendapatkan izin penggunaan darurat (EUA) dari otoritas kesehatan di 70 negara di dunia, termasuk Indonesia.