Kebun Raya di Seluruh Dunia Hadapi Ancaman Lingkungan
BGCI mencatat 96 institusi kebun raya dari 43 negara menghadapi ancaman, mulai dari pandemi, kekeringan, pendinginan suhu, badai, banjir, salju, kebakaran, gempa bumi, tanah longsor, hingga kenaikan permukaan laut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kebun raya di seluruh dunia tengah menghadapi ancaman yang berasal dari bencana alam dan dampak pandemi Covid-19. Lembaga yang menaungi kebun raya dituntut untuk beradaptasi dan melakukan mitigasi seiring dengan kejadian bencana yang terus berulang setiap tahun.
Sekretaris Jenderal Botanic Gardens Conservation International (BGCI) Paul Smith memaparkan, berbeda dengan konsep tamaN kota, kebun raya memiliki fungsi konservasi, koleksi, penelitian, dan pendidikan. Sekitar 80 persen kebun raya di dunia juga memiliki rencana strategis dan 65 persen di antaranya telah memiliki kelembagaan.
“Sekarang kebun raya tengah berkembang pesat. Jumlah kebun raya di dunia telah meningkat empat kali lipat dibandingkan 30 tahun terakhir,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Pengelolaan Kebun Raya pada Masa Pandemi”, Selasa (18/5/2021).
Saat ini, lebih dari 3.500 kebun raya di seluruh dunia tercatat dan terdaftar dalam jaringan BGCI. Kebun raya tersebut memiliki lanksap yang beragam, termasuk berupa kawasan lindung. Mayoritas kebun raya yang terdaftar juga telah memiliki infrastruktur penelitian dan laboratorium bertaraf internasional yang berfungsi untuk pembibitan tumbuhan maupun bank benih.
Beberapa lembaga juga mulai mencari cara terbaik dalam mengelola kebun raya setelah menghadapi tantangan pandemi Covid-19 yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Meski demikian, Paul mengakui bahwa kebun raya tengah menghadapi ancaman dari bencana alam maupun kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Tercatat 96 institusi kebun raya dari 43 negara menghadapi ancaman, mulai dari pandemi, kekeringan, pendinginan suhu, badai, banjir, salju, kebakaran, gempa bumi, tanah longsor, hingga kenaikan permukaan laut.
Paul mencontohkan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah menjadi ancaman setiap tahun bagi kebun raya yang dikelola Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika. Karhutla ini juga terus mengancam Jardim Botanico atau Kebun Raya Rio de Janeiro (Brasil), Kebun Raya Wilayah Cadereyta (Meksiko), dan Kebun Raya Mount Tomah (Australia).
Dampak karhutla pada 2019 lalu bagi Kebun Raya Mount Tomah juga sangat signifikan. Tercatat mayoritas kawasan di kebun raya tersebut hancur dan lebih dari 600 tanaman iklim dingin dari seluruh dunia mengalami kerusakan.
Ancaman dari bencana hidrometeorologi seperti kekeringan, banjir, dan badai juga dialami kebun raya lainnya. Kebun raya yang mengalami ancaman kekeringan antara lain Kebun Raya Wilayah Cadereyta, Kebun Raya Cayes (Haiti), dan Kebun Raya Siit Arboretum (Filipina). Sedangkan kebun raya dengan ancaman banjir yakni Kebun Raya Chicago (AS), Kebun Raya Jevremoac (Serbia), dan Kebun Raya Qarshi (Pakistan).
Selain itu, bencana non-alam seperti pandemi Covid-19 juga sangat memengaruhi pengelolaan di Kebun Raya Bermuda. Pandemi telah memengaruhi aktivitas pariwisata dan menurunkan jumlah pengunjung secara signifikan. Bahkan, pemotongan anggaran telah mengakibatkan kerugian dan mengancam keberlanjutan sejumlah koleksi tanaman.
“Dampak utama dari cuaca ekstrem atau kebakaran yaitu kerusakan koleksi dan fasilitas. Namun, pandemi telah berdampak pada penutupan sementara, pengurangan pendapatan dan staf, serta hilangnya nyawa,” ungkap Paul.
Upaya adaptasi
Menurut Paul, sejumlah kebun raya yang mengalami ancaman lingkungan mayoritas menerima dukungan anggaran dari pemerintah, individu, lembaga swadaya masyarakat, maupun korporasi. Anggaran yang diterima bervariasi, antara 2.500 dollar AS hingga 5 juta dollar AS tergantung dari tingkat kerusakan atau kerugian yang dialami.
Namun, kata Paul, saat ini lembaga yang menaungi kebun raya semakin dapat merespons dan mengelola kerusakan atau kerugian seiring dengan kejadian bencana yang terus berulang. Beberapa lembaga juga mulai mencari cara terbaik dalam mengelola kebun raya setelah menghadapi tantangan pandemi Covid-19 yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Direktur Koordinator Kebun Raya Singapura Thereis Choo mengatakan, selama April-Juni 2020, pengelola memutuskan untuk menutup Kebun Raya Singapura untuk menekan penyebaran Covid-19. Kebun Raya baru mulai dibuka secara bertahap sejak Juni 2020.
Choo mengakui pandemi memberikan dampak yang signifikan bagi pengelola kebun raya. Semua acara, pertunjukan, konferensi, dan penelitian dibatalkan serta sejumlah proyek mengalami penundaan. Pandemi juga telah mengubah semua gaya kerja di kebun raya.
“Saat pandemi kami langsung mengatur ulang semua prioritas pekerjaan seperti menutup area yang penting dan melakukan manajemen keselamatan yang ketat. Kami menempatkan kembali staf tetapi dengan tim yang terpisah atau bekerja dari rumah,” katanya.
Kepala Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, Didit Okta Pribadi mengatakan, pengelola tetap melakukan pemeliharaan dan pengembangan koleksi tanaman meski dilakukan dengan keterbatasan karena pandemi. “Kegiatan pariwisata di Kebun Raya Bali juga dibatasi hingga 50 persen dengan kunjungan 11.000 orang dan 750 mobil. Di samping itu, kami tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat,” ujarnya.