Konsolidasikan Lapan, Pengamatan Antariksa Menjadi Prioritas
Setelah dikonsolidasikan dengan BRIN, Lapan tetap melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan meliputi sains antariksa serta penginderaan jauh.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dikonsolidasikannya Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional diharapkan dapat meningkatkan sumber daya dan memperbaiki ekosistem riset kedirgantaraan. Sejumlah fokus riset sekaligus model bisnis yang dapat menjadi prioritas ke depan, yakni dengan mengembangkan teknologi pengamatan antariksa hingga pelibatan pihak eksternal.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengemukakan, setelah resmi terbentuk, BRIN perlu menambahkan tugas dan fungsi sebagai lembaga riset kedirgantaraan dan operator terkait keantariksaan. Hal ini sesuai amanah ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta UU No 21/2013 tentang Keantariksaan.
“Dengan adanya BRIN, ke depan Lapan tidak akan bekerja sendiri dalam mengeksplorasi dan melakukan riset. Sebab, masalah fundamental riset kita adalah keterlibatan pihak yang sangat rendah baik sumber daya manusia, infrastruktur, maupun anggaran,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin (17/5/2021).
Pemerintah mengambil peran utama ketika swasta belum berkembang seperti di AS ada NASA, Eropa dengan ESA, dan JAXA di Jepang. (Thomas Djamaluddin)
Menurut Handoko, dalam meningkatkan ekosistem riset kedirgantaraan, BRIN dapat fokus mengeksplorasi keanekaragaman geografi yang ada di Indonesia. Beberapa contohnya antara lain mengeksplorasi stasiun pengamatan antariksa dan langit yang tengah dibangun di Kupang, Nusa Tenggara Timur hingga mengembangkan teknologi penerbangan.
Ke depan, BRIN juga dapat menetapkan sejumlah prioritas riset sekaligus model bisnis yang terkait dengan stasiun observasi untuk pengamatan antariksa, pengembangan satelit, pesawat N-219, hingga sistem penginderaan jauh. Namun, hal ini masih perlu diskusi dan penajaman lebih lanjut dengan pihak Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan).
Selain itu, kata Handoko, perlu juga meningkatkan pelibatan pihak eksternal karena hal ini menjadi salah satu kendala utama riset di dalam negeri. Upaya mempercepat pelibatan eksternal dapat dilakukan dengan menuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Teknologi Antariksa sebagai turunan UU Keantariksaan yang akan mengatur teknologi hingga kegiatan komersialisasi.
“Antariksa merupakan bagian dari wilayah yurisdiksi suatu negara sehingga aspek regulasi sangat penting. Jadi regulasi akan disinkronkan dan tahun depan PP ini sudah harus bisa dilansir. Melalui konsolidasi di BRIN, saya percaya akan ada dukungan dan kekuatan dengan skala yang lebih besar,” katanya.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menyampaikan, setelah dikonsolidasikan dengan BRIN, Lapan tetap melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan meliputi sains antariksa serta penginderaan jauh. Lapan juga tetap melakukan kegiatan penguasaan teknologi keantariksaan seperti roket, satelit, dan aeronotika.
“Lingkup sains antariksa ini antara lain dengan pengembangan observatorium nasional di Kupang dan akan ini dijadikan platform global sehingga ilmuwan internasional bisa memanfaatkan. Observatorium di Kupang ini menjadi salah satu observatorium yang cukup langka untuk pengamatan di belahan langit selatan,” ucapnya.
Kerja sama riset
Menurut Thomas, saat ini Lapan juga telah melakukan sejumlah kerja sama riset baik yang bersifat bilateral maupun multiratelal. Beberapa kerja sama riset multilateral itu yakni Asia-Pasific Regional Space Agency Forum (APRSAF), The United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA), G20 Space Economy Leader, International Astronautical Federation (IAF), dan Committee on Space Research (COSPAR).
Thomas menegaskan, penyelenggara keantariksaan memiliki urgensi karena teknologi penerbangan dan antariksa tergolong teknologi dengan biaya serta risiko yang tinggi. Di samping peran pemerintah yang memang memiliki kewajiban penyelenggaraan keantariksaan sesuai UU Keantariksaan, teknologi tersebut sangat strategis sehingga perlu dikuasai untuk menjadi bangsa yang mandiri.
“Pemerintah mengambil peran utama ketika swasta belum berkembang seperti di AS ada NASA, Eropa dengan ESA, dan JAXA di Jepang. Negara lain juga sudah banyak membangun bandar antariksa seperti MYSA, PhilSA, VNSC, dan SSTL di Singapura yang langsung dikembangkan swasta,” tuturnya.
Koordinator Atmajaya Studies on Aviation, Outer Space, And Cyber Law Universitas Atmajaya Jakarta, IBR Supancana mengatakan, guna memberikan dasar hukum yang kuat, Indonesia perlu menyelesaikan tiga rencana peraturan pemerintah (RPP) lainnya sebagai turunan dari UU Keantariksaan. Tiga RPP tersebut mengatur tentang penguasaan teknologi keantariksaan, kegiatan komersial keantariksaan, serta pembangunan dan pengoperasian bandar antariksa.
Saat ini, Indonesia baru mengeluarkan tiga PP turunan UU Keantariksaan, di antaranya PP 11/2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh, PP 45/2017 tentang Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan, dan PP 49/2015 tentang Lapan.