Penggunaan Sebagian Vaksin AstraZeneca di Indonesia Dihentikan Sementara
Distribusi dan penggunaan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca kumpulan produksi CTMAV547 dihentikan sementara. Hal itu dilakukan demi memastikan keamanannya setelah ada kasus fatal yang diduga terkait vaksinasi tersebut.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghentikan sementara distribusi dan penggunaan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca kumpulan produksi CTMAV547. Hal itu dilakukan untuk pengujian toksisitas dan sterilitas oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan demi memastikan keamanannya setelah ada dua laporan kasus fatal yang diduga terkait vaksinasi.
”Ini merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah untuk memastikan keamanan vaksin ini. Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat untuk tenang dan tidak termakan oleh hoaks yang beredar,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk Vaksinasi Siti Nadia Tarmizi, dalam keterangan pers, di Jakarta, Minggu (16/5/2021).
Menurut Nadia, tidak semua vaksin AstraZeneca yang diterima di Indonesia dihentikan distribusi dan penggunaannya. Penghentian sementara hanya dilakukan pada vaksin dalam batch atau kumpulan produksi CTMAV547 berjumlah 448.480 dosis dan merupakan bagian dari 3.852.000 dosis vaksin AstraZeneca yang diterima Indonesia pada 26 April 2021 melalui skema multilateral, yakni Covax Facility WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).
Vaksin dalam kelompok produksi ini sudah didistribusikan untuk TNI dan sebagian ke wilayah DKI Jakarta serta Sulawesi Utara. Di luar batch ini, ujar Nadia, ”Penggunaan vaksin AstraZeneca tetap terus berjalan karena vaksinasi Covid-19 membawa manfaat lebih besar.”
Dalam surat yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kepada Kementerian Kesehatan pada 11 Mei 2021, disebutkan bahwa BPOM tengah melakukan investigasi lebih lanjut terhadap dua laporan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) fatal yang diduga terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca batch CTMAV547. ”Dua laporan kasus ini berasal dari Jakarta,” kata Nadia.
Penggunaan vaksin AstraZeneca tetap terus berjalan karena vaksinasi Covid-19 membawa manfaat lebih besar.
Sesuai rekomendasi Komisi Nasional KIPI, BPOM diminta melaksanakan uji sterilitas dan toksisitas terhadap vaksin kelompok tersebut. Selama proses investigasi dan pengujian, vaksin AstraZeneca kelompok produksi itu dihentikan distribusinya dan tidak digunakan.
Sebelumnya diberitakan, Komnas KIPI menginvestigasi kematian Trio Fauqi Virdaus (22) yang meninggal pada Kamis (6/5/2021) setelah disuntik vaksin AstraZeneca pada Rabu, 5 Mei. Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari mengatakan, lembaganya merekomendasikan jenazah Trio Fauqi Virdaus diotopsi untuk mengetahui keterkaitan antara kematiannya dan vaksinasi.
”Yang akan melakukan otopsi Komnas KIPI bersama tim forensik,” ucap Nadia. Sebelum adanya hasil otopsi ini, kematian korban belum bisa disimpulkan terkait vaksinasi.
Negara lain
Sejumlah negara telah menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca terutama karena dugaan bisa memicu pembekuan darah. Sebagai contoh, dua provinsi di Kanada memutuskan menghentikan penggunaan vaksin ini pekan lalu. Hal ini dilakukan karena ditemukannya 28 kasus pembekuan darah atau disebut vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia (VITT) dari 2,3 juta dosis vaksin AstraZeneca yang disuntikkan di Kanada.
Sebelumnya, Denmark dan Norwegia juga memutuskan menghentikan penggunaan vaksin ini. Penelitian yang dilakukan di dua negara ini menemukan sedikit peningkatan tingkat penggumpalan darah vena di antara orang-orang yang telah mendapat dosis pertama vaksin Covid-19 dari AstraZeneca, termasuk pembekuan di otak, dibandingkan dengan tingkat yang diharapkan pada populasi umum. Kajian ini dipublikasikan di British Medical Journal (BMJ) pada 5 Mei 2021.
Studi BMJ mengamati 280.000 orang usia 18-65 tahun di Denmark dan Norwegia yang mendapat dosis pertama vaksin AstraZeneca antara awal Februari dan 11 Maret. Dengan menggunakan catatan kesehatan nasional, para peneliti mengidentifikasi tingkat kejadian serangan jantung, stroke, pembekuan darah vena dalam, serta pendarahan dalam 28 hari setelah menerima dosis vaksin pertama, dan membandingkannya dengan tingkat ”normal” pada populasi umum Denmark dan Norwegia.
Hasil penelitian menunjukkan adanya 59 pembekuan darah di pembuluh darah dibandingkan dengan 30 yang diharapkan, setara dengan 11 kejadian berlebih untuk setiap 100.000 vaksinasi. Para peneliti mengatakan, ini termasuk tingkat pembekuan darah otak langka yang lebih tinggi dari perkiraan, yang dikenal sebagai trombosis vena serebral, pada 2,5 kasus per 100.000 vaksinasi.
Namun, Rafael Perera dan John Fletcher, periset yang melakukan penelitian, menekankan bahwa efek samping seperti itu sangat jarang terjadi dan manfaat vaksin masih lebih besar daripada risikonya dalam banyak situasi.
”Risiko absolut kejadian tromboemboli vena yang dijelaskan dalam penelitian ini kecil, dan temuan itu harus ditafsirkan dalam konteks manfaat vaksinasi Covid-19 di tingkat masyarakat dan individu,” tulis mereka dalam ringkasan temuan mereka.
Sementara itu, regulator obat Eropa dan Inggris menyebutkan vaksin itu aman dan efektif, dan manfaatnya jauh lebih besar daripada risiko efek sampingnya. Namun, beberapa negara lain telah merekomendasikan untuk menggunakannya hanya pada kelompok usia tertentu.