Ketersediaan obat untuk orang dengan lupus belum merata di sejumlah daerah. Meski sebagian obat sudah ditanggung dalam program JKN-KIS, jenis obat yang dibutuhkan belum tentu tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orang dengan lupus masih menemui berbagai kendala untuk mengakes layanan pengobatan. Selain kendala biaya pengobatan, ketersediaan obat juga masih terbatas. Jenis obat yang dijamin pun masih berbeda-beda di setiap daerah.
Ketua Syamsi Dhuha Foundation Dian Syarief dalam webinar untuk memperingati Hari Lupus Sedunia, Senin (10/5/2021), di Jakarta, mengatakan, ketersediaan obat untuk orang dengan lupus atau odapus belum merata di sejumlah daerah. Meskipun sebagian obat sudah ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), jenis obat yang dibutuhkan belum tentu tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
”Sebagai penyandang autoimun, termasuk lupus, obat itu memegang peranan vital. Saat ini juga belum semua obat yang dibutuhkan ditanggung oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Karena itu, kita masih harus memperjuangkan harga obat dan keberadaan obat yang mudah diakses oleh odapus,” tuturnya.
Kendala dalam pengadaan obat tersebut juga disampaikan Koordinator Bale Kupu, Yung Aulia Warastiti. Ketersediaan obat untuk odapus cukup sulit diakses masyarakat di Nusa Tenggara Barat. Biasanya, obat-obatan hanya tersedia di rumah sakit yang berada di ibu kota provinsi, sementara di luar ibu kota provinsi ketersediaan obat sangat terbatas.
Ia mengungkapkan, obat-obatan untuk pasien lupus, seperti imuran, hanya diberikan untuk jangka waktu penggunaan 7 hari. Padahal, aturan terkait program JKN-KIS menyebutkan, peserta yang menderita penyakit kronik, termasuk lupus, bisa mendapatkan obat untuk 30 hari. Kondisi ini cukup membebani pasien karena jarak tempat tinggal menuju ke fasilitas pelayanan kesehatan cukup jauh.
”Kami harapkan ada peningkatan dalam akses obat-obatan. Beberapa obat, seperti vitamin D, juga harus dipesan dari Jawa karena tidak tersedia di daerah kami. Kawan dari kami bahkan harus pindah ke daerah lain, seperti Bali dan Surabaya, agar bisa menikmati pengobatan yang ditanggung BPJS Kesehatan,” kata Aulia.
Lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang dialami secara menahun. Pada orang dengan lupus, antibodi diproduksi secara berlebih oleh tubuh sehingga fungsi perlindungan dari infeksi justru berubah menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri.
Belum diketahui secara pasti penyebab dari lupus. Umumnya gejala yang ditimbulkan adalah kelelahan, demam, nyeri sendiri, serta kaku dan bengkak. Selain itu, orang dengan lupus biasanya memiliki ruam merah di bagian wajah berbentuk kupu-kupu. Namun, gejala dan tanda ini bisa berbeda-beda pada setiap orang sehingga tidak mudah untuk melakukan diagnosis dini.
Di Indonesia, dignosis lupus mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Ada 11 kriteria yang ditunjukkan, antara lain ruam pada daerah tulang pipi, luka pada mulut, nyeri sendi, rambut rontok, gangguan neurologi, gangguan hematologi, seperti anemia, dan gangguan imunologi.
Diagnosis yang cepat amat dibutuhkan agar terapi bisa cepat diberikan sehingga dampak lupus bisa dikurangi.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang DI Yogyakarta Sumadiono mengatakan, lupus bisa menyerang berbagai organ vital di dalam tubuh, seperti ginjal, jantung, hati, paru, darah, sistem saraf, mata, sendi, dan kulit. Diagnosis yang cepat amat dibutuhkan agar terapi bisa cepat diberikan sehingga dampak lupus bisa dikurangi. Kualitas tubuh penderita juga bisa ditingkatkan.
”Pengobatan pun sangat penting bagi orang dengan lupus. Obat ini seperti penjaga gawang yang terus menjaga pasien. Jika sampai putus obat, pasien bisa mengalami flare (kekambuhan),” ucapnya.
Ketua BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Timur M Ichwansyah Gani menyampaikan, kebijakan terkait akses pengobatan bagi pasien dengan lupus berlaku sama di setiap daerah. Meski begitu, ia mengakui jika distribusi obat belum merata di semua wilayah. Jika mengalami kendala, pasien ataupun komunitas pendamping bisa mengomunikasikannya dengan koordinator BPJS Kesehatan di tingkat daerah.
Kepala Subdirektorat Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Theresia Sandra D Ratih mengungkapkan, pemerintah terus berupaya memperbaiki sistem pelayanan gangguan imunologi, termasuk lupus. Upaya penguatan program penanggulangaan faktor risiko akan dijalankan melalui pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat.
Manajemen deteksi dini dan tata laksana faktor risiko pun akan diperkuat dengan peningkatan kualitas sumber daya tenaga kesehatan, alat kesehatan, dan penunjang lainnya. Hal itu juga termasuk sistem surveilans epidemiologi penyakit ganguan imunologi.
”Kita pun akan mengevaluasi manfaat dari JKN. Apa yang bisa kita tambahkan dan butuhkan untuk penyakit lupus sehingga akses pada obat-obatan bisa lebih baik,” tuturnya.