Mengatasi Duka
Tenggelamnya kapal selam beserta awak kapalnya membuka tabir mengenai bagaimana mengatasi rasa duka yang mendalam. Ada tiga hal yang membuat para wak kapal tersebut.
Indonesia kehilangan besar dan berduka dengan tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 bersama 53 awak kapal. Keluarga dan orang-orang terdekat, lebih-lebih lagi, akan merasakan duka yang sangat pribadi dalam keseharian hidupnya.
Berduka menjadi bagian dari kehidupan. Banyak dari kita pernah berduka, dan semua mungkin suatu saat akan mengalami kedukaan juga.
Berduka tidak selalu karena kematian, tetapi juga dapat terjadi karena kehilangan atau perubahan besar dalam hidup seperti adanya perceraian, atau hilangnya persahabatan. Bahkan dapat pula menyangkut hubungan dengan sesuatu yang dianggap sangat penting. Misalnya harus keluar dari lingkungan yang telah dianggap ”rumah” ke lingkungan baru yang asing dan tidak nyaman.
Dua tantangan
Neimeyer (2017) mengatakan bahwa ketika berduka dan mencoba mengatasinya, kita berkecimpung mengatasi dua hal yang kadang tidak berjalan beriringan. Ada hal- hal terkait berduka dan kehilangan, dan hal-hal terkait membangun kembali kehidupan. Yang pertama menyangkut bagaimana mengelola emosi-emosi negatif dan mengatasi perubahan hubungan atau kelekatan dengan orang yang telah pergi. Yang kedua terkait penyesuaian diri ke depan dengan berbagai tantangan nyata yang harus dihadapi.
Baca juga: Bukan Sekadar Bahu Sandaran
Sambil masih berduka, yang sebelumnya penuh waktu membaktikan diri mengurus keluarga mendadak harus mencari nafkah. Atau sebaliknya, sebelumnya dapat penuh berkonsentrasi di bidang usaha, sekarang juga harus mendampingi anak dan mengurus rumah.
Untuk dapat menghadapi dan melewati proses berduka, kita perlu menerima dan mengakui dulu kehilangan sebagai kenyataan yang memang sungguh terjadi. Perlu disadari bahwa bagaimana kita memproses kedukaan dapat berbeda dengan orang lain. Ada kemungkinan bahwa proses berduka dapat memicu munculnya emosi-emosi lain, misalnya kegamangan dan rasa marah.
Sementara itu, hidup berjalan terus, dan tuntutan kehidupan yang dijalani ke depan memberikan tantangan lain lagi. Apabila emosi-emosi negatif akibat berduka karena kehilangan memerlukan waktu untuk dapat diatasi, pengelolaan diri ke depan kadang seperti tidak dapat menunggu.
Sementara itu, hidup berjalan terus, dan tuntutan kehidupan yang dijalani ke depan memberikan tantangan lain lagi.
Mendadak kita harus mengambil peran baru, menguasai keterampilan baru, berhadapan dengan tantangan baru, bahkan merangkap peran-peran baru. Ini karena kehidupan harus tetap berjalan, anak harus tetap sekolah, kontrak rumah harus dibayar, dan keperluan sehari-hari harus dipenuhi.
Dua hal itu bukan hal yang dengan mudah dapat diatasi. Oleh karena itu, orang-orang dekat perlu memahami, menunjukkan dukungan, dan mendampingi.
Mendampingi
Mendampingi dapat dilakukan dengan menunjukkan kepedulian yang tulus. Kata- kata ”saya ikut merasa sangat sedih” mungkin lebih baik daripada penjelasan panjang lebar atau nasihat seperti ”Tuhan pasti memiliki rencana dengan kejadian ini”, atau ”kamu tidak boleh lemah demi anak-anak kamu”.
Apabila ia bercerita, kita lebih banyak mendengarkan. Biarlah yang berduka memperoleh waktu memaknai sendiri bebannya dan memprosesnya. Kita dapat bertanya apa yang dapat kita bantu, dan membuka diri untuk percakapan dari hati ke hati apabila ia menunjukkan atau menyampaikan kebutuhan akan itu.
Ditinggalkan orang yang sangat berarti dapat membuat yang berduka mengalami disorientasi. Padahal, kehidupan terus berjalan dengan berbagai tugas dan tantangannya.
Kadang diperlukan dukungan konkret dalam kegiatan atau tugas harian, misalnya membantu berbelanja, membersihkan rumah, atau menjadi teman diskusi dalam mengatur kembali kehidupan dan aktivitas kerja. Apabila telah berjanji untuk datang dan memberikan dukungan, kita perlu menepati janji itu. Sebaliknya, kita juga tetap perlu menghargai waktu dan ruang pribadi yang mungkin juga diperlukan.
Mungkin saja terjadi bahwa di hari, tanggal, atau waktu-waktu tertentu yang mengingatkan akan yang telah pergi, suasana emosi menurun. Situasi sulit berduka mungkin justru lebih dapat dikelola dan diatasi apabila ada ”tanda ingat” pada yang telah pergi. Misalnya memasang foto bersama, menanam pohon, tetap memperingati hari lahirnya, menulis surat atau buku harian, atau mengambil waktu berlibur dan mendekatkan diri dengan alam di waktu-waktu khusus.
Tetap perlu diingat bahwa anak-anak juga berduka dengan caranya sendiri sehingga mungkin menunjukkan perubahan perilaku atau menjadi lebih sulit untuk dihadapi. Perlu diupayakan agar situasi berduka dari orang-orang dewasa tidak menambah kesulitan pada anak, misalnya karena orangtua menjadi tidak peduli atau lebih mudah marah.
Sering kedukaan tidak diketahui dan dimengerti oleh orang lain karena kita menghindar untuk membicarakannya. Perubahan sikap tidak dicoba untuk dimengerti tetapi memunculkan kesalahpahaman, konflik, dan berbagai masalah baru.
Kita perlu menyisihkan waktu untuk mendampingi anak, dan mendengarkan apa yang ingin disampaikannya. Mungkin dapat membantu untuk menemukan hal-hal sederhana yang ada dalam kemampuan kita. Kita dapat menghadirkan suasana berbeda, misalnya berjalan-jalan bersama, duduk di taman, menemaninya mengerjakan tugas sekolah, atau mengajaknya berkegiatan, seperti membantu memasak sambil berbicara dari hati ke hati.
Ditinggalkan orang terdekat sama sekali bukan hal mudah. Kita harus mengelola perasaan kehilangan dan berduka sambil pada saat yang sama harus move on, terus bergerak menjalani kehidupan. Semoga yang berduka dapat menemukan kembali kekuatan dan membangun jalan-jalan baru kehidupannya. Semoga kita dapat saling menguatkan dalam menjalani tantangan kehidupan.