Vaksin Covid-19 Pfizer Masih Bisa Hadapi Varian B.1.351
Munculnya berbagai varian baru virus SARS-CoV-2 menjadi tantangan bagi produsen vaksin. Vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech terbukti masih efektif terhadap varian B.1.351 dari Afrika Selatan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vaksin Covid-19 dari Pfizer terbukti masih bisa melindungi dari salah satu varian baru virus korona yang dianggap sebagai salah satu yang paling mengkhawatirkan saat ini, yaitu varian B.1.351 dari Afrika Selatan. Bukti ini didapatkan dari Qatar yang sedang menghadapi gelombang kedua pandemi dengan adanya penyebaran varian B.1.17 dari Inggris dan B.1.351 dari Afrika Selatan.
Temuan yang diterbitkan di The New England Journal of Medicine (NEJM) pada pada Rabu (5/5/2021) ini menunjukkan, vaksin RNA yang ada saat ini masih ampuh melawan varian B.1.1351 dan B.1.1.7. Kajian ini dipimpin Laith Jamal Abu-Raddad, ahli epidemiologi penyakit menular di Weill Cornell Medicine, Qatar.
Gelombang kedua Covid-19 melanda Qatar sejak Januari 2021 setelah berbulan-bulan sebelumnya kasus dan angka kematian akibat Covid-19 menurun. Lonjakan kasus di Qatar ini didorong oleh penyebaran varian B.1.1.7 yang pertama kali diidentifikasi di Inggris. Beberapa minggu kemudian, jenis B.1.351 dari Afrika Selatan, yang bisa menyebabkan infeksi ulang dan menghindari antibodi yang terbentuk, mulai menyebar.
Kajian Laith dan tim menemukan, perkiraan efektivitas vaksin Pfizer terhadap infeksi varian B.1.1.7 yang didokumentasikan mencapai 89,5 persen pada 14 hari atau lebih setelah suntikan dosis kedua. Sementara efektivitas terhadap infeksi varian B.1.351 adalah 75 persen. Vaksin ini juga efektif mencegah keparahan yang ditimbulkan infeksi SARS-CoV-2 varian B.1.1.7 dan B.1.351, yaitu 97,4 persen.
Dalam uji klinis fase III vaksin Covid-19 Pfizer, sebagaimana dilaporkan Fernando P Polack dan tim di NEJM pada Desember 2020, vaksin ini memiliki efikasi 95 persen melawan SARS-CoV-2 versi awal. Ini berarti efikasi vaksin Pfizer mengalami penuruan 20 persen melawan B.1.351 dibandingkan saat uji klinis.
Qatar telah memulai program vaksinasi Covid-19 menggunakan vaksin buatan Pfizer-BioNTech sejak Desember 2020. Pada 31 Maret 2021, total 385.853 orang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin dan 265.410 orang di antaranya atau hampir sepertiga penduduknya telah menyelesaikan dua dosis. Peningkatan cakupan vaksinasi terjadi ketika Qatar sedang menjalani gelombang kedua dan ketiga dari infeksi SARS-CoV-2.
Pengurutan genom virus yang dilakukan sejak 23 Februari hingga 18 Maret menunjukkan bahwa 50 persen kasus Covid-19 di Qatar disebabkan oleh B.1.351 dan 44,5 persen disebabkan oleh B.1.1.7. Hampir semua kasus di mana virus diurutkan setelah 7 Maret disebabkan oleh B.1.351 atau B.1.1.7.
Para peneliti juga membandingkan tingkat infeksi SARS-CoV-2 pada orang yang divaksinasi dengan mereka yang berada dalam kontrol yang tidak divaksinasi. Orang yang menerima dua dosis vaksin sekitar 90 persen lebih kecil kemungkinannya untuk terinfeksi varian B.1.1.7 menguatkan temuan dari Israel, Inggris, dan tempat lain.
Meski demikian, Abu-Raddad juga menyebutkan, hingga 31 Maret 2021 terjadi infeksi Covid-19 kepada 6.689 orang di Qatar yang telah menerima satu dosis vaksin dan pada 1.616 orang yang telah menerima dua dosis. Tujuh kematian akibat Covid-19 juga telah dicatat di antara orang yang divaksinasi, yaitu lima orang setelah menerima dosis pertama dan dua orang setelah dosis kedua.
Dengan data-data ini, Abu-Raddad menyimpulkan, vaksin Pfizer-BioNTech masih efektif melawan B.1.351. Bahkan, vaksin ini diduga juga bisa memblokade penularan B.1.351. Ini dibuktikan dengan adanya data setelah kasus varian baru ini memuncak pada pertengahan April. ”Jumlahnya kemudian turun sangat, sangat cepat,” ujarnya.
Varian berbahaya
Varian B.1.351, yang telah masuk ke Indonesia ini, diketahui sangat berbahaya karena selain lebih menular, memicu keparahan, juga bisa menyiasati antibodi yang terbentuk oleh vaksin. Studi yang dilakukan peneliti dari Beijing Institute of Microbiology and Epidemiology, China, Guo-Lin Wang dan tim di NEJM pada 7 April 2021 menunjukkan, varian B.1.1351 cenderung resisten terhadap antibodi yang dipicu oleh vaksin Sinovac dan Sinopharm. Kedua vaksin ini dinilai kurang efektif lagi menghadapi varian ini.
Pasien yang tertular varian B.1.351 merupakan pekerja wisata yang tidak pernah melakukan perjalanan dari luar negeri.
Kajian di NEJM pada 15 Maret 2021 juga menemukan, dua dosis vaksin AstraZeneca hanya memiliki kemanjuran 10,4 persen terhadap infeksi ringan hingga sedang yang disebabkan oleh varian B.1.351 Afrika Selatan.
Shabir Madhi, ahli vaksinasi di Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan, kepada Nature, Kamis (6/5/2021), mengatakan, temuan di Qatar ini sangat menjanjikan. Menurut dia, tingkat antibodi penghambat virus yang relatif tinggi yang dipicu oleh dua dosis vaksin RNA kemungkinan menjelaskan mengapa vaksin ini memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap B.1.351 daripada vaksin lain, termasuk vaksin AstraZeneca.
Madhi berharap vaksin lain juga bisa mencegah penyakit parah akibat varian itu. Dalam studi lain yang terbit di NEJM pada 5 Mei 2021, Madhi menyebutkan, vaksin Novavax menurunkan risiko tertular Covid-19 sebesar 60 persen pada peserta tanpa HIV dalam percobaan di Afrika Selatan yang melibatkan lebih dari 6.000 orang.
Seperti diberitakan sebelumnya, varian B.1.351 sudah masuk di Indonesia. Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dalam pertemuan pers secara daring, Selasa (4/5/2021), pasien warga negara Indonesia dari Bali yang terinfeksi varian B.1.351 dari Afrika Selatan diambil sampelnya pada 25 Januari 2021 dan meninggal pada 16 Februari.
”Pasien yang tertular varian B.1.351 merupakan pekerja wisata yang tidak pernah melakukan perjalanan dari luar negeri. Tetapi, dia banyak berhubungan dengan WNA (warga negara asing),” kata Nadia.