Tantangan Substansial dan Administrasi Akan Dihadapi BRIN
Setelah resmi dibentuk, Badan Riset dan Inovasi Nasional akan dihadapkan pada tantangan substansial dan administrasi. Sebab, badan tersebut akan meleburkan dan mengintegrasikan empat lembaga pemerintah non-kementerian.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peleburan Kementerian Riset dan Teknologi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayan akan membuat Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN dihadapkan pada tantangan substansial dan administrasi. Di sisi lain, agar ekosistem riset dan inovasi terjaga, posisi dewan pengarah dalam BRIN harus diisi figur berlatar belakang ilmuwan atau peneliti.
Penasihat senior Centre for Innovation and Policy Governance (CIPG), Yanuar Nugroho, mengemukakan, tantangan substansial dan administrasi akan dihadapi BRIN karena lembaga ini akan mengurus semua hal yang berkaitan dengan riset dan inovasi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.
”Selain tata kelola, BRIN dihadapkan pada upaya mengintegrasikan empat LPNK (lembaga pemerintah non-kementerian) yang dilebur. Sebab, aturan sebuah lembaga, jika dilebur, asetnya akan dikembalikan ke negara dan ini membutuhkan proses panjang,” ujarnya di Jakarta, Kamis (6/5/2021).
Yanuar mengatakan, pembentukan BRIN saat ini ialah untuk menangani riset dan inovasi dari pemerintah. Sementara riset dan inovasi dari swasta bukan menjadi tanggung jawab BRIN. Jadi, BRIN dinilai akan mengoordinasikan penggunaan sumber daya manusia hingga anggaran negara agar riset yang dilakukan sejalan dengan arahan pemerintah.
Menurut Yanuar, BRIN memiliki posisi yang kuat dalam aspek keberlanjutan suatu lembaga karena dibentuk dari ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Oleh karena itu, BRIN menjadi satu-satunya lembaga riset di Indonesia sehingga harus dijamin tata kelolanya.
Selain tata kelola, BRIN dihadapkan pada upaya mengintegrasikan empat LPNK (lembaga pemerintah non-kementerian) yang dilebur.
Di sisi lain, Yanuar memandang posisi dewan pengarah BRIN seharusnya diisi oleh figur-figur yang memahami atau merepresentasikan otoritas dalam dunia riset dan inovasi. Hal ini penting karena tugas dewan pengarah ialah merumuskan dan mengarahkan penyelenggaraan riset dari pemerintah. Menurut Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN, ketua dewan pengarah BRIN dijabat dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Namun, kata Yanuar, dewan pengarah tidak berwewenang menghentikan perkembangan semua jenis ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan berkembang sendiri tanpa intervensi BRIN atau dewan pengarah
”Tugas dewan pengarah akan salah jika memberikan arahan tentang perkembangan ilmu pengetahuan. Contohnya, dewan pengarah tidak bisa mengatakan bahwa ilmu tentang rekayasa genetika harus dihentikan karena tidak sesuai dengan Pancasila,” katanya.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, peleburan empat LPNK ke dalam BRIN menjadi tantangan tersendiri karena setiap lembaga/badan tersebut memiliki karakter riset tersendiri. Ia pun memandang akan lebih efektif jika lembaga/badan riset tersebut ditingkatkan kinerja dan kualitasnya.
”Dulu, saat proses pembentukan UU Sisna Iptek, BRIN pernah diusulkan menjadi sebuah lembaga yang mengoordinasikan lembaga-lembaga riset yang ada. Jadi, semua saling melengkapi dan berkolaborasi. AIPI juga pernah mengusulkan agar tujuan BRIN lebih kepada lembaga pendana riset nasional,” ujarnya.
Terkait dengan posisi dewan pengawas BRIN, Satryo belum dapat berkomentar dan berspekulasi karena masih harus menunggu perkembangan ke depan. Ia pun meminta setiap pergantian pemerintah tidak mengubah tugas dan fungsi BRIN agar keberlanjutan ekosistem riset nasional terus berjalan.
Arah BRIN
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko pada Rabu (5/5/2021) telah mengumpulkan empat LPNK untuk memberikan arahan dan penjelasan terkait dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN. Ketentuan perpres menyebutkan bahwa BRIN akan membawahi empat lembaga/badan penelitian yang dilebur menjadi satu.
Empat lembaga penelitian itu ialah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Dalam waktu dua tahun, BRIN harus sudah mengintegrasikan tugas, fungsi, dan kewenangan empat lembaga/badan tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, Laksana menyampaikan tiga arah dibentuknya BRIN. Pertama, BRIN dibentuk untuk mengonsolidasikan sumber daya, baik manusia, infrastruktur, maupun anggaran iptek, guna meningkatkan kapasitas dan kompetensi riset Indonesia.
Berdirinya BRIN sebagai lembaga otonom juga bertujuan menciptakan ekosistem riset sesuai dengan standar global yang terbuka atau inklusif dan kolaboratif bagi semua pihak, baik akademisi, industri, komunitas, maupun pemerintah. Selain itu, juga untuk menciptakan fondasi ekonomi berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan.