Meski Hipertensi Terkontrol, Konsumsi Obat Tidak Boleh Berhenti
Selain mengonsumsi obat secara teratur, para penderita hipertensi diharapkan juga selalu menerapkan prinsip hidup bersih dan sehat untuk mendukung kesehatannya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orang dengan hipertensi harus mengonsumsi obat secara teratur agar tekanan darahnya bisa terkontrol. Pengobatan ini harus dijalani seumur hidup sekalipun tekanan darah sudah mencapai target yang ditentukan. Pengobatan yang terputus bisa berisiko memicu terjadinya penyakit yang lebih berat, seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Perhi) Erwinanto di Jakarta, Kamis (6/5/2021), menyampaikan, pasien hipertensi yang sudah mengonsumsi obat harus teratur minim obat seumur hidup. Hal itu karena hipertensi merupakan penyakit kronik yang tidak bisa disembuhkan dan hanya bisa dikontrol dengan minum obat dan menjalani gaya hidup yang sehat.
”Mereka (pasien hipertensi) yang tidak lagi minum obat biasanya karena merasa sudah sehat. Padahal, pasien yang sudah harus minum obat jangan pernah beranggapan hipertensinya menghilang sekalipun tekanan darahnya sudah turun. Itu artinya tekanan darah terkontrol. Kalau obat dihentikan, tekanan darah bisa naik lagi dan berisiko menjadi penyakit yang lebih parah,” katanya.
Selain mengonsumsi obat secara teratur, penerapan prinsip hidup bersih dan sehat sangat penting untuk mendukung kondisi kesehatannya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah pasien hipertensi yang mengonsumsi obat secara rutin baru mencapai 54,4 persen. Sisanya, 32,3 persen tidak rutin mengonsumsi obat dan 13,3 persen tidak minum obat. Dari jumlah pasien yang tidak rutin dan tidak mengonsumi obat, sebanyak 59,8 persen pasien beralasan merasa sudah sehat.
Padahal, Erwinanto menuturkan, setiap kenaikan tekanan darah 20/10 mmHg (milimeter air raksa) pada pasien hipertensi akan bersiko dua kali lipat mengalami penyakit jantung koroner. Hal yang sama juga terjadi pada risiko terjadinya stroke dan gagal ginjal. Hipertensi merupakan kontributor terbesar kedua terjadinya gagal ginjal setelah diabetes.
”Tidak benar jika obat antihipertensi dapat memperburuk kondisi Covid-19 yang dialami seseorang. Justru ketika tidak minum obat secara teratur, penyakit yang diakibatkan oleh hipertensi, seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal, bisa terjadi. Penyakit itulah yang dapat meningkatkan tingkat fatalitas dari Covid-19,” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan menyampaikan, pasien hipertensi juga perlu meningkatkan derajat kesehatan yang dimiliki. Selain mengonsumsi obat secara teratur, penerapan prinsip hidup bersih dan sehat sangat penting untuk mendukung kondisi kesehatannya.
Itu, antara lain, dengan mengatur konsumsi gula, garam, dan lemak; melakukan aktivitas fisik secara teratur setidaknya 30 menit per hari; tidak merokok; serta mencapai berat badan yang ideal. Untuk konsumsi garam dianjurkan cukup 5 gram dalam sehari. Sementara 52,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi garam lebih dari 5 gram per hari.
”Yang lebih penting adalah mencegah agar jangan sampai terjadi hipertensi. Protokol kesehatan dengan menjalankan prinsip hidup bersih dan sehat harus dibiasakan sejak dini. Dengan begitu, kita dapat meningkatkan derajat kesehatan; mencegah penyakit; mencegah keparahan, kecatatan, dan kematian ketika sakit; serta menekan kerugian ekonomi,” ucap Ede.
Ia pun mendorong agar pemerintah bisa menerbitkan kebijakan yang tegas agar upaya pencegahan penyakit tidak menular seperti hipertensi bisa lebih optimal. Peringatan bahaya kesehatan pada produk makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak perlu disertakan dalam kemasan. Hal itu penting agar masyarakat lebih sadar untuk menghindari makanan yang bisa berdampak buruk bagi kesehatannya.
Erwinanto menambahkan, mencegah terjadinya hipertensi mampu memberikan efek domino yang baik pada upaya pencegahan penyakit lainnya. Beban kesehatan dari penyakit tidak menular pun diharapkan bisa berkurang.
Dari total pembiayaan penyakit katastropik dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang mencapai lebih dari Rp 17 triliun, hampir 70 persen dihabiskan untuk membiayai penyakit yang terkait dengan hipertensi, yakni kardiovaskular (Rp 8,2 triliun), stroke (Rp 2 triliun), dan gagal ginjal (1,5 triliun).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menuturkan, pandemi Covid-19 telah menunjukkan tingginya beban hipertensi di Indonesia. Angka kesakitan dan kematian Covid-19 dengan komorbid hipertensi cukup besar. Jumlah sasaran vaksinasi Covid-19 yang harus menunda penerimaan vaksin juga tidak sedikit karena kondisi hipertensi yang dimiliki.
”Jadi, ini harus jadi perhatian serius kita semua. Hipertensi itu bisa dicegah dan dikontrol. Apabila memiliki faktor risiko harus melakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin. Bagi masyarakat yang tidak memiliki alat pemeriksaan di rumah bisa datang ke pusat pelayanan kesehatan dengan tetap menjaga protokol kesehatan secara ketat,” katanya.