Alarm bahaya gelombang kedua pandemi Covid-19 mulai terlihat. Hal itu ditandai dengan munculnya kluster-kluster baru, bertambahnya pasien di rumah sakit, dan meningkatnya kematian terkait Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya kerumunan massa, ramainya pusat perbelanjaan, dan pergerakan mudik dengan mengabaikan protokol kesehatan dikhawatirkan memicu lonjakan kasus Covid-19, sebagaimana telah terjadi di negara tetangga. Alarm bahaya mulai terlihat dengan munculnya kluster-kluster baru, bertambahnya pasien di rumah sakit, dan meningkatnya kematian terkait Covid-19.
Peringatan ini disampaikan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dalam pertemuan daring, Rabu (5/5/2021). ”Telah terjadi peningkatan kasus positif dan yang dirawat, terutama sejak minggu keempat April 2021. Faktor utamanya adalah kelalaian protokol kesehatan di tempat umum dan munculnya kluster baru. Dikhawatirkan situasi semakin memburuk setelah Lebaran,” kata Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Infeksi PDPI Erlina Burhan.
Menurut Erlina, meski pemerintah sudah melarang mudik, banyak orang telah mencari celah aturan dengan melakukan perjalanan sebelum pemberlakuan larangan. ”Ini patut diwaspadai. Kita rekomendasi, waspada untuk gelombang kedua,” ucapnya.
Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Namun, menurut Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo, sekitar 7 persen masyarakat Indonesia nekat mudik. ”Tujuh persen dari jumlah penduduk kita itu sangat besar angkanya. Tugas kita semua adalah mengurangi angka tersebut menjadi sekecil mungkin,” ujarnya.
Mengacu data Kementerian Kesehatan, dalam sepekan terakhir pasien yang membutuhkan rawat inap telah meningkat 1,28 persen. Sementara peningkatan angka kematian mencapai 20,73 persen.
Adapun penambahan kasus positif di Indonesia pada Rabu sebanyak 5.285 orang. Dari total kasus 1.691.658 orang, sebanyak 98.217 orang di antaranya merupakan kasus aktif, yaitu yang masih menjalani perawatan atau isolasi. Kematian bertambah 212 orang sehingga totalnya 46.349 orang.
Tingkat kematian terkait Covid-19 di Indonesia mencapai 2,73 persen, lebih tinggi dari rata-rata global 2 persen. Tingkat kematian Covid-19 di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan dua negara dengan kematian terbanyak, yaitu Amerika Serikat 1,7 persen dan India 1 persen. Tingkat kematian di Indonesia hanya sedikit lebih baik dibandingkan Brasil yang mencapai 2,77 persen.
Antisipasi lonjakan
Erlina menjelaskan, pemberian vaksin Covid-19 di Indonesia juga kecil, masih jauh untuk mencapai kekebalan komunitas. Apalagi, vaksin juga tidak bisa bekerja sendiri dan yang sudah menjalani vaksinasi tetap berisiko tertular jika tingkat penularan masih tinggi. Apalagi, belakangan sudah terjadi transmisi lokal varian baru.
”India saat ini kolaps kesehatannya karena terjadi tsunami Covid-19. Singapura kasusnya juga tertinggi selama 9 bulan terakhir. Kamboja, Filipina, dan Malaysia juga naik lagi. Kata kuncinya jangan lengah,” ujarnya.
Ketua PDPI Agus Dwi Susanto mengatakan, sebagian masyarakat belum memahami risiko lonjakan kasus saat ini sehingga mengabaikan protokol kesehatan. ”Masyarakat tidak boleh lengah hanya karena jumlah kasus baru sempat turun atau karena sudah divaksin,” ucapnya.
India kolaps kesehatannya karena tsunami Covid-19. Singapura kasusnya juga tertinggi 9 bulan terakhir. Kamboja, Filipina, dan Malaysia naik lagi. Kata kuncinya jangan lengah.
Melihat perkembangan saat ini, PDPI mengajak masyarakat mengedepankan kepentingan kemanusiaan dan ikut berkontribusi menekan angka penularan dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan secara teratur, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi pergerakan dan interaksi.
Upaya untuk menekan penularan juga bisa dilakukan dengan mempercepat vaksinasi Covid-19 dan mematuhi protokol kesehatan 5M meski sudah divaksin. Selain itu, warga diminta melakukan silaturahmi Idul Fitri secara daring dan taat kepada aturan untuk tidak mudik.
Untuk pemerintah, menurut Agus, PDPI meminta mempersiapkan fasilitas kesehatan guna menghadapi lonjakan kasus. ”Kami sudah sampaikan, pemerintah harus mempersiapkan lonjakan kasus dengan menyiapkan tambahan ruang rawat, ICU, SDM, peralatan medis dan obat-obatan. Harus dari sekarang dipersiapkan karena setiap peningkatan kasus ada peningkatan kebutuhan layanan kesehatan 20-100 persen,” paparnya.
Dokter-dokter spesialis penyakit paru di daerah harus bersiap menghadapi lonjakan dan menangani varian-varian baru. ”Masalahnya, dari pemerintah harus siap bagaimana mendeteksinya dan diinfokan ke klinisi sehingga bisa diantisipasi. Dari sisi tata laksana dan pedoman rumah sakit, belum ada perubahan signifikan untuk kasus varian lama ataupun baru. Yang terpenting kesiapan SDM, ruangan, juga obat dan alat-alat rumah sakit,” katanya menjelaskan.
Menurut Agus, PDPI juga sudah meminta agar pemerintah memperketat karantina kepada pelaku perjalanan dari negara yang kasusnya tinggi. ”Sebelum India, pernah ada pembatasan dari negara Eropa. Lalu dibuka kembali. Rekomendasi itu sudah disampaikan pada setiap rapat,” tuturnya.
Erlina mengatakan, karantina lima hari yang diberlakukan saat ini untuk pelaku perjalanan dari luar negeri dinilai tak cukup. ”China dan Singapura melakukan karantina 14 hari. Ada negara lain yang 5-10 hari. Idealnya sepanjang masa inkubasi. Karena itu, kami mengimbau agar pemerintah jalankan 14 hari,” ujarnya.
Selain itu, surveilans Covid-19 harus diperkuat. ”Selama ini pemerintah menggunakan GeNose, padahal ini hanya untuk skrining (penapisan). Hasil pemeriksaan GeNose negatif tidak mesti negatif. Saran saya minimal antigen untuk pemeriksaan dan idealnya PCR. Kita belajar dari negara yang sukses atasi Covid-19 melakukan tes PCR sangat masif,” ungkapnya.