Sejarah Bisa Berulang, Tsunami Covid-19 India Rentan Terjadi di Indonesia
Pandemi Flu Spanyol 1918 telah mengajarkan, gelombang kedua pandemi bisa lebih mematikan. Pada saat itu, India menjadi salah satu negara yang paling parah terdampak, demikian juga Indonesia.
Kini, gelombang kedua tsunami Covid-19 melanda India. Indonesia memiliki sejumlah faktor untuk mengalami tragedi serupa. Namun, kita masih memiliki sedikit waktu dan juga keuntungan yang bisa menghindarkan dari lonjakan kasus dan kematian.
India terus mencatatkan rekor penambahan kasus dan kematian harian karena Covid-19. Dengan penambahan kasus harian Covid-19 mencapai 370.059 orang per hari (worldometers.info per 2 Mei 2021), rumah sakit di India saat ini telah mendekati kolaps.
Bahkan, tempat-tempat krematorium telah kewalahan menangani korban jiwa yang mencapai 3.500 dalam sehari. Total akumulatif kasus kematian akibat Covid-19 di India 218.959 jiwa. Foto dan video mayat yang antre untuk dikremasi mewarnai media-media internasional.
Kalau kita gagal mengerem mobilitas jutaan orang selama Idul Fitri, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan kita dari tragedi seperti di India. (Dicky Budiman)
Mohammad Agoes Aufiya, pelajar Indonesia di New Delhi, juga menggambarkan seramnya situasi di ibu kota negara itu, dalam diskusi daring pada Kamis (29/4/2021). ”Dari 4.821 tempat tidur yang tersedia di rumah sakit di New Delhi sudah terpakai 4.803 unit sehingga hanya 18 tempat tidur ICU (unit gawat darurat) saja yang tersisa,” katanya.
Pada saat itulah mereka melonggarkan pembatasan, baik karena alasan ekonomi, pemilihan umum, maupun ritual keagamaan. Jutaan orang berkumpul, mayoritas tanpa masker dan jaga jarak aman.
Ahli virologi dari Universitas Udayana Bali, I Gusti Ngurah Kade Mahardika, mengatakan, pengabaian protokol kesehatan inilah yang menjadi faktor utama ledakan kasus Covid-19 di India. ”Selain ada varian baru di India, yaitu B.1.617, yang kemungkinan berkontribusi. Dalam empat minggu terakhir, varian ini mencapai 60 persen dari virus yang diidentifikasi di India,” katanya.
Baca juga: Peringatan dari India
Mahardika mengatakan, gelombang kedua pandemi, seperti terjadi saat wabah Flu Spanyol 1918, biasanya memang lebih besar dari gelombang pertama. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah lelah ataupun terlalu cepat euforia dan mengira wabah sudah terkendali. ”Situasi ini berulang dengan Covid-19 saat ini,” katanya.
Sejarah memang berulang. Laporan kajian Siddharth Chandra di jurnal BMC Infectious Diseases (2014) menyebutkan, India termasuk negara dengan tingkat kematian tertinggi selama pandemi Flu Spanyol 1918. Dari sekitar 20 juta-50 juta korban jiwa di seluruh dunia saat itu, India kehilangan 10 juta-20 juta penduduknya. Sebagian besar korban terjadi selama gelombang kedua wabah yang melanda di India pada September-Oktober 1918 dibandingkan gelombang pertama di awal 1918.
Indonesia—saat itu di bawah kekuasan kolonial Belanda—ternyata juga memiliki tingkat kematian termasuk yang paling tinggi saat itu. Laporan Siddharth Chandra di jurnal Population Studies (2013) menyebutkan, kematian akibat flu Spanyol di Jawa dan Madura saja sebanyak 4,26-4,37 juta. Madura disebut mengalami kehilangan populasi paling banyak, yaitu 23,71 persen, disusul Banten 21,13 persen, dan Kediri 20,62 persen.
Penelitian Siddharth ini belum menghitung kematian di daerah-daerah lain. Mengacu laporan Dinas Kesehatan Sipil Hindia Belanda 1919 dan 1920, tingkat kematian rata-rata di sejumlah daerah di Indonesia saat itu mencapai 10 persen atau lebih: 12 persen untuk penduduk Ternate, 10 persen di Halmahera, 10,8 persen di Riau, dan 10 persen populasi di Gorontalo.
Risiko Indonesia
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, mengatakan, dua faktor utama yang memicu tsunami Covid-19 di India, yaitu perilaku dan varian baru, saat ini telah ada di Indonesia. Dari aspek perilaku, menurut Iwan, pergerakan penduduk mulai meningkat dan kepatuhan protokol kesehatan juga terus menurun.
”Apalagi, sebentar lagi ada momen Idul Fitri, jika sampai mobilitas penduduk tak terkendali, rasanya ledakan kasus seperti India bakal tak terhindarkan lagi,” katanya.
Sementara dari sisi varian baru, menurut Iwan, penyebaran berbagai varian baru tak mungkin terhindarkan lagi. ”Indonesia belum pernah menutup perbatasan internasional. Memang ada karantina untuk pelaku perjalanan dari luar negeri, tetapi risikonya tetap tinggi karena cenderung longgar. Apalagi, kemarin ada kasus pelolosan pelaku perjalanan dari India,” katanya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam siaran pers, menuturkan, kewaspadaan perlu ditingkatkan karena mutasi SARS-CoV-2 mulai ditemukan di Indonesia. Itu meliputi 2 kasus mutasi dari India ditemukan di Jakarta, 1 kasus mutasi asal Afrika Selatan ditemukan di Bali, dan 13 kasus mutasi asal Inggris di sejumlah wilayah. Mutasi ini amat diperhatikan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) karena penularannya lebih tinggi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sudah terjadi trasmisi lokal varian baru ini di Karawang, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan sejak Februari 2021 silam.
Dengan adanya transmisi lokal ini, menurut Iwan, kemungkinan varian baru yang beredar di masyarakat sudah jauh lebih tinggi dan beragam. ”Kita tidak memiliki gambaran yang baik karena surveilans genomik kita masih sangat kurang dan terlambat,” katanya.
Senada dengan Iwan, Nadi mengakui, situasi saat ini mulai mengkhawatirkan. ”Sekalipun penambahan kasus belum tinggi, ada peningkatan kasus kematian sebanyak 20 persen dalam tujuh hari, dan rawat inap meningkat 1,28 persen,” ujarnya.
Selain itu, beberapa minggu terakhir juga muncul banyak kluster baru, mulai dari kluster perkantoran, kluster buka bersama, kluster tarawih di Banyumas, kluster mudik di Pati, dan kluster takziah di Semarang. ”Ini sangat mengkhawatirkan karena kemungkinan terjadi superspreader pada kluster ini karena ada jumlah orang yang positif dalam waktu singkat karena interaksi tanpa protokol kesehatan,” ujarnya.
Baca juga:Kematian Kasus Covid-19 Meroket, Krematorium di India Bekerja Nonstop
Menurut Iwan, dibandingkan India, Indonesia sebenarnya belum pernah mengendalikan pandemi. ”Disebut terkendali di antaranya jika positivity rate kita bisa di bawah 5 persen. Selama ini hal itu belum pernah terjadi. Memang beberapa dua bulan ini ada kecenderungan turun, tetapi turunnya masih sangat kecil, itu pun kita sulit mengukurnya dengan akurat karena data tes masih kacau,” katanya.
Dari sisi surveilans, Indonesia juga jauh lebih lemah dibandingkan India yang memiliki kemampuan tes bisa mencapai sejuta per hari. ”Tes dan lacak mereka sebelumnya juga terbukti pernah membuat mereka menurunkan kasus secara signifikan. Hanya saja, capaian itu digagalkan karena mereka terlalu cepat euforia dan kemudian abai dengan protokol kesehatan,” kata Iwan.
Berdasarkan evaluasi Inter Action Review atas beberapa indikator yang ditetapkan WHO dalam penanganan Covid-19, yang diikuti Iwan beberapa waktu lalu, kemampuan tes dan lacak kita ternyata tidak membaik. ”Pelacakan kontak erat kita masih 1:4 hingga 1:5, tidak jauh beda dengan tahun lalu. Jadi, penurunan kasus saat ini bisa jadi bom waktu,” ujarnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, yang masih bisa mengerem tsunami Covid-19 di Indonesia belum separah India adalah geografis kita berupa kepulauan. ”Faktor lain kemungkinan bonus demografi karena usia penduduk kita banyak yang muda, selain juga mobilitasnya belum setinggi India,” katanya.
Dicky mengatakan, momen Idul Fitri bakal menjadi penentuan apakah Indonesia bisa menghindari tsunami Covid-19. ”Kalau kita gagal mengerem mobilitas jutaan orang selama Idul Fitri, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan kita dari tragedi seperti di India,” ujarnya.
Kini, pilihannya ada di tangan kita sendiri, saat ini. Tiap orang, terutama tentu saja otoritas pemerintahan, memiliki tanggung jawab untuk mencegah agar tragedi kematian seperti terjadi di India tidak terjadi di sini.