Tanpa Mitigasi Memadai, Sekolah Tatap Muka Picu Covid-19 ke Keluarga
Orangtua yang anaknya bersekolah secara tatap muka 38 persen lebih mungkin melaporkan gejala Covid-19, seperti demam, batuk, atau kesulitan bernapas, dibandingkan mereka yang tinggal dengan anak yang belajar daring.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga yang memiliki anak yang bersekolah tatap muka terbukti memiliki peningkatan risiko tertular Covid-19 hingga 38 persen. Meski demikian, penggunaan masker yang ketat, pemeriksaan gejala secara rutin, dan tindakan mitigasi lainnya di sekolah bisa meminimalkan risiko itu.
Demikian hasil studi yang dipimpin oleh peneliti dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg dan dipublikasikan di jurnal Science pada 29 April 2021. Temuan ini perlu jadi pelajaran bagi pembukaan sekolah di Indonesia, yang telah menimbulkan kluster penularan, seperti terjadi di Sumatera Barat dan sejumlah tempat lain.
Dalam studi ini, para peneliti Johns Hopkins Bloomberg menganalisis hampir 600.000 tanggapan responden di Amerika Serikat selama dua periode antara November 2020 dan Februari 2021, sebelum vaksin tersedia secara luas. Ditemukan, orangtua yang anaknya yang masuk sekolah secara tatap muka 38 persen lebih mungkin melaporkan gejala Covid-19, seperti demam, batuk, atau kesulitan bernapas, dibandingkan dengan mereka yang tinggal dengan anak yang bersekolah secara daring.
Langkah-langkah mitigasi di sekolah dapat sangat mengurangi risiko Covid-19 berlebih pada orang dewasa yang tinggal dengan anak-anak yang bersekolah tatap muka.
Kajian juga menemukan, mitigasi berbasis sekolah bisa mengurangi risiko penularan Covid-19 di lingkungan keluarga. Pemakaian masker oleh guru dan pemeriksaan gejala harian menjadi faktor utama yang bisa mengurangi risiko tersebut.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah, mulai dari TK hingga kelas XII, memiliki beberapa tindakan mitigasi, seperti mandat masker untuk guru, pemeriksaan harian siswa dan guru untuk gejala, dan pembatasan kegiatan ekstrakurikuler.
Para peneliti menemukan bahwa ketika sekolah menggunakan tujuh atau lebih tindakan mitigasi, peningkatan risiko yang terkait dengan sekolah secara langsung sebagian besar menghilang, dan benar-benar hilang ketika 10 atau lebih tindakan mitigasi dilakukan.
”Temuan ini mendukung gagasan bahwa langkah-langkah mitigasi di sekolah dapat sangat mengurangi risiko Covid-19 berlebih pada orang dewasa yang tinggal dengan anak-anak yang bersekolah tatap muka,” kata penulis pertama studi, Justin Lessler, profesor di Departemen Epidemiologi Johns Hopkins Bloomberg.
Masalah sekolah tatap muka telah banyak diperdebatkan di Amerika Serikat sejak awal pandemi Covid-19. Perhatian utamanya adalah bahwa anak-anak yang pergi ke sekolah setiap hari, meskipun mereka sendiri tidak terlalu rentan terhadap Covid-19, dapat membawa pulang virus kepada orangtua dan anggota keluarga dewasa lainnya yang berisiko lebih tinggi terkena penyakit.
Dalam analisis mereka, Lessler dan rekan meneliti bagaimana kelompok sekolah tatap muka berbeda dari kelompok daring atau sekolah di rumah dalam hal gejala dan hasil terkait Covid-19 yang dilaporkan. Mereka menyesuaikan hasil untuk memperhitungkan faktor perancu, seperti perbedaan tingkat Covid-19 di daerah.
Selain peningkatan 38 persen risiko terkena Covid-19 di antara responden di rumah tangga dan anak yang bersekolah secara langsung, para peneliti menemukan peningkatan 21 persen gejala hilangnya rasa atau bau, salah satu gejala inti Covid-19. Sementara peningkatan peluang hasil tes positif untuk SARS-CoV-2 mencapai 30 persen.
Kekuatan asosiasi ini tampaknya meningkat dengan tingkat kelas. Pada tingkat taman kanak-kanak, peningkatan risiko Covid-19 tidak signifikan. Akan tetapi, kekuatan asosiasi tersebut terus meningkat dan memuncak pada tingkat kelas IX-XII, mencapai lebih dari 50 persen hasil tes positif SARS-CoV-2 untuk anggota keluarga.
Lessler dan rekan-rekannya berencana untuk menindaklanjuti studi tentang bagaimana sekolah secara langsung dan langkah-langkah mitigasi berbasis sekolah memengaruhi penyebaran Covid-19 di semua komunitas.
Situasi di Indonesia
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan adanya kluster penularan Covid-19 di sejumlah sekolah di Sumatera Barat setelah pembelajaran tatap muka (PTM) dilakukan kembali. Tak hanya siswa, guru dan keluarga siswa yang bersangkutan turut tertular virus korona di beberapa sekolah.
”Di antaranya, SMAN 2 Kota Padang sudah melakukan PTM terbatas sejak Januari 2021 dan pada akhir Februari sampai minggu ketiga April 2021, tercatat pasien Covid-19 ada 10 orang. Terdiri dari dua siswa kelas XII dan delapan guru dan keluarganya,” kata komisioner KPAI, Retno Listyarti, melalui keterangan tertulis, Senin (26/4/2021).
Pemantauan kasus Covid-19 di Sumatera Barat oleh KPAI ini dibantu oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Selain SMAN 2 Kota Padang, kluster Covid-19 juga ditemukan di SMAN 1 Sumatera Barat, Padang Panjang, pada Maret 2021. SMAN 1 Sumatera Barat ini merupakan sekolah asrama.
Menurut KPAI, positivity rate di Sumatera Barat mencapai 17,6 persen per 20 April 2021. Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, dalam konfrensi pers kemarin juga mengatakan, Sumatera Barat termasuk satu dari 10 provinsi yang mengalami kenaikan kasus positif tertinggi kedua selama April, yaitu bertambah 1.689 kasus atau naik 66,3 persen.