Pemanfaatan pendapatan negara dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau belum mampu menekan prevalensi perokok pemula. Karena itu, alokasi penggunaan pendapatan negara tersebut mesti lebih tepat sasaran dan efektif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan pendapatan negara dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau untuk penanganan kesehatan di Indonesia masih belum optimal. Padahal, pendapatan negara tersebut bisa digunakan untuk menekan prevalensi perokok pemula.
Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuanganan Kementerian Keuangan Adriyanto, di Jakarta, Kamis (29/4/2021), mengatakan, cukai hasil tembakau yang diperoleh pada tahun 2019 mencapai Rp 7 triliun. Dari jumlah itu, 70 persen di antaranya sudah dimanfaatkan untuk penanganan kesehatan.
Selain itu, pendapatan lain yang bisa dimanfaatan untuk penanganan kesehatan yakni melalui pajak rokok. Pada tahun 2021 tercatat rata-rata nilai pajak rokok yang diterima sebesar Rp 17 triliun dengan 35 persen di antaranya diarahkan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional.
”Di samping itu, setiap pemda (pemerintah daerah) juga diwajibkan menganggarkan 10 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk sektor kesehatan. Jadi memang sebenarnya penganggarannya sudah besar. Namun, efektivitas dari program-program yang dilakukan itu perlu jadi perhatian dan penajaman. Pengunaannya harus lebih tepat,” katanya.
Menurut dia, anggaran dan jumlah penduduk yang besar ini bisa dimanfaatkan secara lebih optimal untuk memperkuat layanan kesehatan masyarakat, mulai dari layanan promotif, preventif, hingga kuratif. Selain itu, upaya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai isu kesehatan juga bisa ditingkatkan.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, jumlah perokok di Indonesia masih amat tinggi di Indonesia. Diperkirakan 65,7 juta penduduk merokok. Persoalan lainnya yang lebih mengkhawatirkan ialah tingginya jumlah perokok anak usia 10-18 tahun. Tercatat 1 dari 10 anak di Indonesia merokok.
Itu terlihat dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Prevalensi perokok anak naik dari 7,20 persen pada tahun 2013 menjadi 9,10 persen pada 2018. Jumlah itu jauh lebih tinggi dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2018, yakni 5,40 persen.
Tingginya jumlah perokok anak ini disebabkan masifnya iklan, promosi, dan sponsor rokok. Jika itu tak segera diatasi, beban kesehatan negara bisa makin besar di masa depan. Pada 2019, jumlah kasus penyakit menular yang berkaitan dengan konsumsi rokok, seperti jantung, stroke, dan kanker, mencapai 17,5 juta kasus dengan biaya lebih dari Rp 16,3 triliun.
”Dana yang dihasilkan dari konsumsi rokok untuk saat ini kita anggap sebagai denda yang harus dialirkan ke pelayanan kesehatan. Jadi, kita tidak bisa beranggapan dana ini merupakan sumber pendanaan yang baik. Kendati demikian, seluruh dana yang didapatkan tersebut juga harus dialokasikan secara tepat,” ucap Dante.
Adapun sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan dana cukai rokok, antara lain, alokasi dan optimalisasi untuk mendukung program penurunan prevalensi perokok pemula, pembukaan lapangan kerja bagi petani tembakau, serta peningkatan kualitas dan kuantitas kampanye antirokok.
Dana yang dihasilkan dari konsumsi rokok untuk saat ini kita anggap sebagai denda yang harus dialirkan ke pelayanan kesehatan. Jadi, kita tidak bisa beranggapan dana ini merupakan sumber pendanaan yang baik. (Dante S Harbuwono)
Menurut Dante, dana tersebut juga harus lebih dioptimalkan untuk mendukung terapi konseling berhenti merokok di masyarakat. Penanganan khusus bagi peserta JKN-KIS maupun asuransi swasta yang merokok perlu diintervensi sejak dini.
Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menambahkan, berbagai masalah kesehatan bisa ditimbulkan dari kebiasaan merokok. Dalam bungkus rokok pun tidak disertakan label halal. Namun, banyak dari masyarakat yang tidak sadar akan bahaya merokok.
Pemerintah pun telah menyiapkan infrastruktur legal untuk membatasi konsumsi rokok di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. ”Namun, persoalannya sejauh mana dana yang didapatkan dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok daerah itu dimanfaatkan untuk meningkatkan manusia sehat di Indonesia,” tuturnya.