BPJS Kesehatan menargetkan pada 2021 tidak akan ada defisit, baik secara ”cash flow” maupun aset neto. Pada akhir 2020, masih terjadi defisit pada aset neto.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat harus terus berlanjut untuk mendukung capaian cakupan kesehatan semesta bagi masyarakat Indonesia. Kondisi keuangan dana jaminan sosial yang mulai membaik perlu dipertahankan. Potensi pendanaan masyarakat melalui filantropi atau kedermawanan pun akan dimanfaatkan untuk mendukung hal tersebut.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Gufron Mukti di Jakarta, Rabu (28/4/2021), mengatakan, keberlanjutan dana jaminan sosial bisa dipastikan apabila pemasukan yang didapatkan dari iuran setidaknya seimbang dengan pengeluaran biaya manfaat yang dibayarkan. Artinya, tidak terjadi defisit dalam pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Jika satu perawat hanya bisa menangani paling banyak sembilan pasien HD, pada CAPD satu perawat dapat menangai 30-50 pasien.
”Ditargetkan pada 2021 tidak akan ada defisit, baik secara cash flow maupun aset neto. Pada akhir 2020, kita masih mengalami defisit pada aset neto,” ujarnya.
Ali mengatakan, tunggakan iuran dari para peserta JKN-KIS juga terus diatasi. Sejumlah inovasi telah dilakukan, antara lain dengan relaksasi pembayaran. Selain itu, dukungan dari pihak lain melalui pendanaan masyarakat juga akan diupayakan. Hal ini akan dijalankan dalam program Pendanaan Masyarakat Peduli JKN dengan melibatkan filantropi.
”Program ini akan di-launching dalam waktu dekat oleh Wapres. Meski begitu, sekarang aksinya sudah berjalan yang diawali dari para direksi. Jadi, kita anjurkan para direksi berserta pegawai BPJS memberikan contoh sebagai duta BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Deputi Direksi Bidang Pelayanan Peserta Arif Syaefuddin, konsep dari sistem pendanaan masyarakat ini adalah dengan menggalang dana dari kelompok masyarakat untuk membantu masyarakat lain yang tidak mampu. Sistem ini semakin dibutuhkan dengan banyaknya masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Ia pun mendorong agar masyarakat yang terdampak pandemi yang harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa segera didaftarkan menjadi kelompok peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pendaftaran ini bisa diajukan melalui persetujuan dari dinas sosial setempat kemudian diproses oleh Kementerian Sosial.
”Masyarakat yang terkena PHK yang kemudian masuk menjadi kelompok PBI kepesertaannya bisa kembali aktif tanpa harus melunasi tunggakan iuran sebelumnya,” ucap Arif.
Gagal ginjal
Anggota Perhimpunan Nefrologi Indonesia, Afiatin, menuturkan, penyakit gagal ginjal masuk dalam lima penyakit katastropik dengan biaya tertinggi dalam program JKN-KIS. Jumlah pasiennya pun terus mengalami peningkatan. Adapun prevalensi yang tercatat melalui Indonesian Renal Registry (IRR) prevelansi pasien yang membutuhkan layanan terapi pengganti ginjal (dialisis) meningkat dari 298 orang per satu juta penduduk pada 2017 menjadi 513 per satu juta penduduk pada 2018. Pada akhir 2019 tercatat ada 185.900 pasien aktif yang mendapatkan perawatan.
Meningkatnya jumlah pasien ini tidak diimbangi dengan penambahan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Untuk melayani 185.000 pasien aktif, jumlah perawat yang ideal seharusnya tersedia 20.350 orang. Hal itu berdasarkan standar perawatan hemodialisis dengan satu perawat dapat melayani 9 orang pasien. Sementara saat ini, jumlah perawat yang tersedia sebanyak 8.910 orang. Itu pun baru 6.293 perawat yang bersertifikat.
”Inovasi perlu dilakukan dengan meningkatkan proporsi perawatan CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis/ metode cuci darah melalui perut). Dari seluruh pasien dialisis, 99 persen masih melakukan perawatan hemodialisis (HD) dan hanya 1 persen dengan CAPD,” ujarnya.
Menurut Afianti, perawatan CAPD dapat menjadi solusi kondisi kekurangan perawat di Indonesia. Jika satu perawat hanya bisa menangani paling banyak sembilan pasien HD, pada CAPD satu perawat dapat menangai 30-50 pasien. Dengan begitu, diharapkan lebih banyak pasien yag terlayani dan angka kematian bisa diturunkan.
Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir mengungkapkan, dorongan perluasan pemanfaatan layanan CAPD perlu disertai dengan pemerataan layanan yang baik di seluruh wilayah. Persoalan lain yang juga terjadi saat ini adalah adanya dugaan penyelewengan pendistribusian cairan dianeal yang tidak terlaksana dengan baik ke pasien gagal ginjal kronik yang menggunakan terapi CAPD.
”KPCDI melihat PT Enseval (distributor cairan utk CAPD) melakukan diskriminasi dalam melakukan pendistribusian yang tidak merata. Misalnya, di sebagian rumah sakit, PT Enseval mendistribusikan cairan CAPD sampai ke rumah pasien. Di sisi lain, mereka justru tidak melakukan hal yang sama bagi pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit lainnya,” tuturnya.
Karena itu, Tony berharap pemerintah segera menyelesaikan persoalan yang terjadi tersebut. PT Kalbe Farma dan PT Enseval Putera Megatrading sebagai pihak distributor pun didesak untuk bertanggung jawab dalam mendistribusikan obat atau cairan CAPD tersebut langsung ke pasien.