Industri Ekstraktif Masih Dibangun di Kawasan Rawan Bencana
Laporan Koalisi Bersihkan Indonesia menemukan di antaranya 131 izin pertambangan berada di kawasan risiko gempa bumi dengan luas 1,6 juta hektar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Lubang bekas tambang timah atau biasa disebut kolong di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (5/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Lokasi industri ekstraktif di Indonesia saat ini masih banyak yang berada di kawasan rawan bencana, seperti gempa bumi, banjir, dan longsor. Pemerintah pun didesak untuk mengevaluasi seluruh pemberian izin pertambangan yang tidak memperhitungkan karakteristik sosial, kultural, ekologi, iklim, dan geologis Indonesia.
Hal tersebut terangkum dalam laporan ”Bencana yang Diundang” seri pertama dari Koalisi Bersihkan Indonesia yang diluncurkan. Laporan tersebut menyoroti bagaimana potret awal investasi ekstraktif energi kotor dan keselamatan rakyat di kawasan risiko bencana Indonesia.
Direktur Program dan Kampanye Trend Asia sekaligus penulis laporan, Ashov Birry, mengemukakan, hasil kajian menemukan 131 izin pertambangan berada di kawasan risiko gempa bumi dengan luas 1,6 juta hektar. Ditemukan juga 2.104 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan berisiko tingggi banjir dan 744 konsesi di kawasan rawan tanah longsor.
Dari 54 konsesi pertambangan di kawasan risiko gempa di Sumatera, 24 di antaranya merupakan kegiatan tambang batubara. Sementara 24 konsesi di Sulawesi mayoritas merupakan pertambangan emas, batuan, pasir, dan nikel. Adapun konsesi di Kepulauan Maluku dan Papua, kegiatan pertambangan yang dilakukan didominasi bijih besi, emas, dan nikel.
Setiap komponen khususnya kerentanan selalu meningkat karena rusaknya infrastruktur ekologi yang memiliki fungsi mencegah terjadinya bencana tersebut.
”Koalisi bersihkan Indonesia menemukan adanya science policy gap atau kesenjanagan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan. Kami juga sudah banyak mengkaji bahwa ada konflik kepentingan oligarki di balik industri ekstraktif, khususnya batubara di Indonesia, yang ada di lingkaran pemerintah,” ujarnya dalam peluncuran laporan tersebut secara daring, Selasa (27/4/2021).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
Selain itu, hasil kajian menunjukkan, 57 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang telah beroperasi dan 31 PLTU dalam tahap pembangunan berada di kawasan risiko gempa bumi. Sementara 41 fasilitas pemurnian logam atau smelter yang tengah direncanakan dan yang sudah berdiri berada di kawasan berisiko tinggi bencana.
Sebaran PLTU di kawasan risiko gempa terbanyak berada di Sumatera (22), Jawa (16), Sulawesi (14), Kalimantan (4), serta Bali dan Nusa Tenggara (1). Sumatera juga masih menjadi wilayah dengan pembangunan PLTU terbanyak di kawasan risiko banjir dan tanah longsor dengan total 42 PLTU.
Ashov mengatakan, salah satu studi kasus pembangkit listrik yang dibangun di kawasan rawan bencana gempa dan tsunami yakni PLTU Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten. Selain dibangun di kawasan rawan gempa, PLTU ini juga tengah digugat oleh koalisi masyarakat sipil terkait dengan izin lingkungan dan potensi pencemaran lingkungan dari limbah danasap yang dihasilkan.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menjelaskan, kajian dan penentuan indeks risiko bencana selama ini bersandar dari penghitungan pada komponen bahaya, kerentanan, dan kapasitas di setiap daerah. Setiap komponen, khususnya kerentanan, selalu meningkat karena rusaknya infrastruktur ekologi yang memiliki fungsi mencegah terjadinya bencana tersebut.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Sebanyak 180 petugas gabungan bersiap menutup sumur tambang minyak ilegal dalam kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin alias Tahura Senami di Bajubang, Batanghari, Jambi, Senin (5/4/2021). Dalam kawasan itu masih ditemukan lebih dari 1.000 sumur ilegal.
”Selama ini pemerintah terjebak dengan cara pandang bahwa komponen kapasitas ini hanya dinilai dari unsur yang sifatnya kelembagaan. Padahal, jika berbicara kapasitas juga berkaitan dengan infrastuktur ekologi. Cara mengatasi risiko bencana inilah yang kami lihat masih belum diselesaikan negara,” katanya.
Perlu evaluasi
Meski kegiatan ekstraktif dan pembangunan PLTU di kawasan risiko bencana tersebut mengancam lingkungan dan masyarakat, Merah memandang sampai saat ini tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menanggulanginya. Sebaliknya, pemerintah justru dinilai terus mengundang bencana dengan menerbitkan sejumlah ketentuan yang mengatur fleksibilitas perubahan tata ruang, jaminan perpanjangan otomatis, hingga kemudahan proyek strategis nasional.
”Pemerintah harus mengevaluasi seluruh pemberian izin pertambangan, proyek PLTU batubara, hingga smelter yang tidak memperhitungkan karakteristik sosial, kultural, ekologi, iklim, dan geologis Indonesia. Selain kotor dan mematikan, ekstraktivisme pertambangan akan mengundang bencana terus-menerus dan mengancam keselamatan rakyat,” tuturnya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Area bekas tambang batubara yang dibiarkan tanpa reklamasi dan rehabilitasi di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Sabtu (4/1/2020). Sektor pertambangan diperkirakan masih jadi penopang utama perekonomian Kalsel pada tahun 2020.
Peneliti dan pendiri Sekolah Ekonomi Demokrasi, Hendro Sangkoyo, mengatakan, setiap hari banyak orang yang mengalami kejadian yang bersifat merugikan, salah satunya penggusuran untuk industri ekstraktif. Namun, hal tersebut tidak pernah dikategorikan sebagai bencana dan tidak dimasukkan dalam statistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
”Bencana tidak bisa lagi diukur dengan satu aritmatika. Sebab, banyak sekali cerita bencana yang lebih besar tetapi tidak terkodefikasi. Jadi, ada persoalan definisi yang penting sekali mulai kita periksa sama-sama,” katanya.