Indonesia Belum Berkomitmen Meningkatkan Target Penurunan Emisi
Pada saat sejumlah negara menyatakan komitmen peningkatan target penurunan emisi, Indonesia tidak melakukanya dalam KTT Perubahan Iklim yang diinisiasi Presiden AS Joe Biden.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah negara telah menyatakan komitmen untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi nasional pada Pertemuan Pemimpin Negara tentang Iklim dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Kamis (22/4/2021) malam. Namun, Presiden Joko Widodo, yang turut dalam pertemuan, belum menunjukkan komitmen untuk meningkatkan target penurunan emisi Indonesia.
Dalam pidatonya yang diikuti secara daring, Presiden Jokowi mengatakan sejumlah capaian. ”Indonesia serius dalam menangani perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan tindakan nyata,” katanya.
Menurut Presiden, sebagai negara kepulauan terbesar dan rumah bagi hutan tropis, mengatasi perubahan iklim merupakan kepentingan nasional Indonesia. Sejumlah upaya yang dilakukan, di antaranya, menghasilkan laju deforestasi di Indonesia paling lambat dalam 20 tahun terakhir. Selain itu, moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektar, lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia.
”Kebakaran hutan telah turun 82 persen pada saat beberapa wilayah di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terbesar,” kata Jokowi.
Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak.
Menurut Jokowi, Indonesia juga telah memperbarui target nasional penurunan emisi (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim. Namun, dalam pidato ini belum ada komitmen Jokowi untuk menetapkan target net zero emission atau netralitas karbon pada 2050, sebagaimana dinyatakan sejumlah negara lain.
”Kami menyambut baik target beberapa negara untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050. Namun, untuk memastikan kredibilitasnya, komitmen tersebut harus dilaksanakan berdasarkan Komitmen NDC 2030,” kata Jokowi.
Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030. Sebelumnya, dalam Public Consultation Indonesia 2050 Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience pada Maret lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bahar mengatakan, Indonesia menetapkan target net zero emission 2070.
Dalam pertemuan tingkat tinggi dengan Biden kali ini, sejumlah pemimpin negara lain telah menyatakan komitmen untuk meningkatkan target nasional mereka. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dalam pertemuan virtual itu mengatakan, Jepang akan menargetkan pemotongan emisi (NDC) 46 persen pada tahun 2030 dan mencari cara untuk melangkah lebih jauh. Target sebelumnya adalah pengurangan 26 persen dari level 2013.
Sementara Inggris menjanjikan pengurangan emisi hingga 78 persen pada 2035. Bahkan, Presiden Brasil Jair Bolsonaro berjanji untuk mengakhiri deforestasi ilegal di negara itu pada 2030 dan mencapai netralitas karbon pada 2050.
Sementara Joe Biden mengumumkan rencananya untuk mengurangi separuh emisi saat membuka pertemuan, berusaha untuk merebut kembali kepemimpinan global dalam perang melawan pemanasan global setelah mantan Presiden Donald Trump menarik diri dari upaya internasional.
Belum ambisius
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati, Jumat (23/4/2021), mengatakan, pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate ini tidak menunjukkan kesadaran terhadap krisis iklim. Padahal, Indonesia yang secara nyata sudah menghadapi dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem yang memicu banjir besar di Kalimantan Selatan serta siklon tropis Seroja yang melanda wilayah Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya.
”Tidak disampaikannya komitmen penurunan emisi yang agresif dalam pertemuan para pemimpin dunia juga menunjukkan tendensi Indonesia untuk menjauhkan diri dari pergaulan global yang bertujuan untuk menyelamatkan umat manusia, terutama generasi yang akan datang, dari bahaya krisis iklim,” kata dia.
Sebagai salah satu negara yang terdampak krisis iklim, sekaligus salah satu penyumbang emisi besar, menurut Nur, Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak. Selain itu, Indonesia seharusnya juga menunjukkan ambisi menurunkan emisi di dalam negeri melalui kebijakan serta rencana yang sistematis dan terukur.
”Sayangnya, dalam pertemuan ini Presiden justru melakukan business as usual, yaitu penanganan perubahan iklim berbasis proyek, yang dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya terbukti tidak berhasil dan tidak berkelanjutan. Di tengah urgensi kriris iklim, Presiden justru tampil ambigu, alih-alih mengambil langkah kepemimpinan yang berani, yang bisa menginspirasi para pemimpin dunia lainnya,” kata Nur Hidayati.
Kritik juga disampaikan Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara Tata Muhtasya. Menurut dia, pidato Jokowi tidak menunjukkan upaya kuat untuk mengatasi krisis iklim. ”Misalnya dengan menyebut industrial park di Kalimantan Utara. Padahal, secara keseluruhan Indonesia masih jauh dari jalur yang tepat untuk menekan target emisi 1,5 derajat celsius,” katanya.
Tata juga mengatakan, target net zero emission tahun 2070 tidak ambisius karena seharusnya Indonesia menargetkan pada 2050. ”Di sektor energi kita juga betul-betul salah arah karena PLTU batubara masih akan mendominasi hingga 2030. Dengan tambahan kapasitas PLTU batubara sekitar dua kali lipat dari saat ini dan bakal mencapai sekitar 54 persen sumber energi listrik,” katanya.
Pada 22 April 2021, Kepala Thamrin School of Climate Change Farhan Helmy telah mengeluarkan surat terbuka kepada Jow Biden dan para pemimpin dunia agar meningkatkan ambisi menurunkan emisi gas rumah kaca. Surat ini dibuat setelah mereka mengadakan pertemuan sehari sebelumnya dengan perwakilan berbagai elemen masyarakat di Indonesia, membahas krisis iklim.
”Pemerintah (Indonesia) perlu fokus pada strateginya untuk mencapai Emisi Nol Bersih secepat mungkin,” tulis Farhan.
Menurut dia, peningkatakan ambisi untuk menurunkan emisi ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan kemauan politik untuk bergeser sedini mungkin ke pembangunan hijau, sebagai bagian dari utang generasi kita kepada generasi berikutnya. ”Bahkan tahun 2050 mungkin sudah terlambat untuk beberapa ekosistem atau komunitas yang rentan, jadi penundaan bahkan lebih tidak mungkin,” sebut Farhan.