Tema Hari Bumi 2021 adalah ”Restore Our Earth”. Ini merefleksikan gentingya kerusakan Bumi yang menjadi satu-satunya planet tempat tinggal kita hingga kini. Saatnya bersama-sama memperbaiki kondisi Bumi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Lebih dari setengah abad sejak Hari Bumi pertama kali diperingati pada 22 April 1970, kondisi tempat tinggal umat manusia ini kian memprihatinkan. Ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta perubahan iklim yang diprediksi puluhan tahun lalu mulai menunjukkan dampaknya bagi Bumi.
Fakta menunjukkan bahwa suhu Bumi saat ini terus meningkat seiring dengan catatan konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer yang sudah tembus level 400 juta per bagian (parts per million/ppm). Bahkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan, hingga September 2019, suhu Bumi sudah naik 1,1 derajat celsius.
Gelombang panas ekstrem akan dirasakan negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Hasil penelitian tentang besaran gelombang panas ekstrem yang terbit di Journal of Geophysical Research: Atmospheres pada Oktober 2014 menyatakan, Indonesia dapat mengalami lebih dari tiga gelombang panas ekstrem antara tahun 2020 dan 2052.
Gelombang panas ekstrem tersebut akan memiliki intensitas yang sama atau lebih besar dibandingkan dengan kejadian di Rusia pada 2010. Saat itu dampak dari gelombang panas ekstrem menewaskan 55.000 orang, menghancurkan sekitar 9 juta hektar tanaman, membunuh semua burung di Moskwa, dan memperparah kebakaran hutan.
KTT Perubahan Iklim ini dapat menjadi secercah harapan agar para pemimpin negara di dunia memberikan perhatian lebih terhadap keberlanjutan Bumi.
Dampak perubahan iklim di Indonesia juga menyebabkan banyaknya kejadian bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sejak 1 Januari hingga 20 April 2021, telah terjadi 490 kejadian banjir, 223 tanah longsor, dan 320 puting beliung. Bencana tersebut merenggut 477 korban jiwa dan jutaan orang lainnya mengungsi.
Meningkatnya kejadian banjir di Indonesia ini sudah diprediksi para peneliti melalui hasil penelitian yang terbit di jurnal Science of The Total Environment pada Desember 2015. Akibat curah hujan yang lebih tinggi, banjir diproyeksikan akan semakin parah di beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kerugian ekonomi akibat banjir dari luapan sungai juga akan meningkat hingga 91 persen pada 2030.
Akibat perubahan iklim, curah hujan di Indonesia pada periode antarmusim juga diperkirakan akan turun. Menurut studi tentang peningkatan curah hujan musiman yang terbit di jurnal Springer pada Maret 2018, cuaca di wilayah bagian selatan Pulau Kalimantan dan utara Sumatera akan lebih kering 20-30 persen pada periode 2071-2100. Sementara cuaca wilayah di Jawa dan Sumatera bagian selatan akan kering 30-40 persen.
Selain itu, studi terbaru yang terbit di Journal of Agricultural Meteorology pada 2020 menyebutkan, suhu udara akibat perubahan iklim berpengaruh terhadap hasil panen padi Ciherang di Indonesia. Penurunan hasil panen 20-30 persen pada 2039-2042 dapat terjadi di Sumatera bagian utara, Jawa, dan seluruh Kalimantan. Wilayah Papua akan mengalami dampak penurunan terparah sebesar 30 persen yang diperkirakan terjadi di sebagian besar wilayah dataran rendah.
Komitmen global
Fakta kian meningkatnya bencana hidrometeorologi dan proyeksi kerusakan lainnya akibat perubahan iklim ini kemudian menegaskan beberapa pertanyaan awam. Apakah Bumi yang sudah menjadi tempat tinggal umat makhluk hidup sejak jutaan tahun lalu ini masih layak dihuni? Jika sudah tidak layak, apakah Bumi dapat dipulihkan kembali?
Jawaban dari pertanyaan tersebut seolah gencar direfleksikan setiap peringatan Hari Bumi tiba. Tahun ini, melansir laman earthday.org, tema yang ditetapkan untuk Hari Bumi adalah ”Restore Our Earth” atau pulihkan Bumi kita. Tema ini diambil untuk mendorong berbagai pihak dapat fokus pada penggunaan seluruh komponen dari proses alami, teknologi hijau, dan pemikiran inovatif yang dapat memulihkan ekosistem dunia.
Di lingkup global, upaya memulihkan Bumi kembali gencar dilakukan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden. Bertepatan dengan Hari Bumi, AS mengambil langkah dalam menanggulangi perubahan iklim dengan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 40 pemimpin negara di dunia, termasuk Presiden RI Joko Widodo, pada 22-23 April.
KTT akan menyoroti pentingnya meningkatkan target penurunan emisi yang lebih ambisius dari setiap negara untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu Bumi lebih dari 1,5 derajat celsius. KTT juga akan membahas sejumlah peluang untuk melindungi sejumlah mata pencaharian dari dampak perubahan iklim hingga mencari solusi berbasis alam dalam mencapai tujuan nol emisi pada tahun 2050.
KTT Perubahan Iklim ini dapat menjadi secercah harapan agar para pemimpin negara di dunia memberikan perhatian lebih terhadap keberlanjutan Bumi. Sebab, seperti diungkapkan juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, KTT Perubahan Iklim yang diinisiasi AS berbeda dengan forum-forum multilateral sebelumnya.
Dalam agenda tersebut, kata Tata, negara-negara yang diundang tidak bisa sekadar menyampaikan hal-hal normatif, tetapi juga harus dengan jelas menunjukkan posisinya dalam menanggulangi perubahan iklim. Hal ini dinilai dapat membuat perubahan besar di setiap negara dengan menaikkan target pengurangan emisi yang lebih ambisius.
Perubahan yang signifikan terkait komitmen mengatasi krisis iklim juga diyakini akan dilakukan Indonesia mengingat selama ini target penurunan emisi dinilai belum ambisius. Di sisi lain, China yang menjadi salah satu acuan Indonesia dalam menetapkan kebijakan iklim dan menarik investasi juga telah membuat kesepahaman dengan AS sebelum KTT dilaksanakan.
”Indonesia harus berubah jika memang ingin menarik kesempatan ekonomi global. Indonesia tidak bisa lagi obral murah untuk menarik investasi tetapi merusak lingkungan dan menyebabkan krisis iklim. Momentum Hari Bumi dan Biden\'s Leadership Summit ini, Presiden Jokowi harus menyampaikan komitmen Indonesia untuk kesejahteraan hijau,” tutur Tata.
Target penurunan emisi Indonesia sebelumnya yang tertuang dalam pembaruan dokumen target kontribusi nasional (NDC) sesuai Kesepakatan Paris memang tidak berubah. Penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia masih tetap 29 hingga 41 persen pada tahun 2030.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan, aksi pengendalian perubahan iklim di bidang adaptasi dan mitigasi perlu didukung sejumlah instrumen, terutama pendanaan. Guna mengatasi kendala tersebut, pemerintah menetapkan empat strategi, yaitu dukungan kebijakan fiskal, pengembangan instrumen pembiayaan yang inovatif, meningkatkan akses pendanaan global, dan menciptakan skema investasi yang menarik.
Upaya meningkatkan target penurunan emisi yang lebih ambisius sudah sepatutnya dilakukan agar Bumi kembali sehat dan layak dihuni. Tanpa adanya intervensi bersama dari semua untuk mengatasi ancaman perubahan iklim, bukan tidak mungkin manusia harus bersiap mencari tempat berpijak lainnya.