Koreksi Paradigma Pembangunan untuk Selamatkan Bumi dan Kehidupan
Perubahan paradigma pembangunan mau tidak mau harus dilakukan. Tidak mungkin ekonomi bisa tumbuh dalam jangka yang panjang jika emisi, polusi, pencemaran meningkat, serta ketersediaan air memburuk.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan nasional saat ini cenderung masih mengarah pada perusakan lingkungan hidup dan mengancam keselamatan warga serta budayanya. Pembangunan harus lebih berorientasi pada kualitas kesejahteraan dan pemerataan serta berbasis pada sistem alam dan menghormati daya lentingnya.
Persoalan ini mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar (KIPD) dan Komisi Kebudayaan (KK) Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) secara daring, Kamis (22/4/2021). ”Pengelolaan alam yang lebih mengutamakan keuntungan, baik untuk sendiri maupun atas nama pembangunan bangsa, bukannya kesejahteraan, serta mengabaikan daya dukung dan daya lenting Bumi, telah meningkatkan kerentanan,” kata Ketua AIPI Satryo Soemantri, dalam sambutannya.
Oleh karena itu, menurut Satryo, sebagai refleksi dalam rangka Hari Bumi, AIPI menyelenggarakan diskusi dengan tema ”Merestorasi Alam, Mempertangguh Ekosistem dan Memanusiakan Manusia.” Diskusi mengundang Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati dan Guru Besar lingkungan hidup Universitas Indonesia Jatna Supriyatna, dengan pembahas sejumlah guru besar anggota KIPD-KK AIPI serta penanggap dari Bappenas serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Nur Hidayati menguraikan tentang terjadinya krisis lingkungan hidup global yang juga terjadi di Indonesia. Krisis ini kemudian berdampak terhadap penurunan kualitas hidup manusia. Selain krisis iklim yang salah satu indikatornya adalah peningkatan suhu semakin memburuk, kita juga menghadapi tren penurunan keragaman hayati. Data IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) tahun 2019 menyebutkan, aktivitas manusia menyebabkan sejuta spesies punah dalam 50 tahun terakhir.
Dampak krisis iklim dan lingkungan sangat besar terhadap Indonesia. Tahun lalu saja, ada 6 juta orang yang menderita dan mengungsi karena bencana ekologis dan kerugian ekonomi sangat tinggi, selain gangguan kesehatan. Kita seperti membangun istana pasir. (Nur Hidayati)
”Dampak krisis iklim dan lingkungan sangat besar terhadap Indonesia. Tahun lalu saja, ada 6 juta orang yang menderita dan mengungsi karena bencana ekologis dan kerugian ekonomi sangat tinggi, selain gangguan kesehatan. Kita seperti membangun istana pasir,” kata Nur.
Menurut Nur, Indonesia saat ini juga mengalami krisis kemanusiaan, yang berawal dari pengalokasian ruang yang tidak adil. ”Ada 60 persen daratan di Indonesia sudah dialokasikan bagi kepentingan industri, yang sebagian besar industri ekstraktif, tanpa menghormati hak ulayat. Ini sering memicu konflik, hilangnya ruang hidup masyarakat, selain ketimpangan sosial ekonomi,” katanya.
Melihat situasi ini, Nur mengusulkan adanya koreksi terhadap paradigma pembangunan kita. Kemajuan yang hanya berbasis pertumbuhan harus dihentikan, tetapi harus melihat ke arah kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat. Untuk mencapai itu, harus memperhitungkan seberapa jauh daya dukung lingkungan.
Jatna mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan hayati tertinggi di dunia, bersama Brasil. ”Tetapi, daya lenting lingkungan kita sangat lemah. Geografis kepulauan ini menyebabkan keberagaman hayati kita tinggi, tetapi populasinya kecil-kecil,” katanya.
Selain itu, Indonesia memiliki 129 gunung api yang aktif, yang selain menjadi ancaman juga memberi berkah. ”Sebesar 40 persen cadangan panas bumi di dunia ada di Indonesia. Namun, ini masih minim dimanfaatkan,” katanya.
Menurut Jatna, selama ini pendekatan pembangunan belum memperhitungkan kondisi khas ekosistem dan lingkungan Indonesia yang spesifik ini. Misalnya, dominasi perkebunan monokultur, seperti sawit, yang menggeser keragaman hayati.
Lebih lagi, dukungan sains dan teknologi juga masih lemah sehingga berkah kekayaan alam belum bisa dioptimalkan sehingga kita hanya mengalami dampak bencananya. ”Kita punya pisang paling beragam di dunia. Tetapi, di pasar kita saat ini, justru banyak pisang dari Australia. Karena sentuhan sains kita kurang, menyebabkan tidak tahan lama, sementara mereka bisa menghasilkan yang lebih tahan,” katanya.
Jatna mengusulkan fokus riset berbasis pengetahuan lokal. ”Seharusnya saat ini bukan era eksploitasi lagi, melainkan pengayaan. Kita mesti belajar dari Thailand dan Kosta Rika, ada pengurangan kemiskinan 10 persen di kawasan konservasi. Sementara di Indonesia sebaliknya, kantong kemiskinan terjadi di daerah konservasi,” katanya.
Antropolog Universitas Indonesia, Yunita T Winarto, mengatakan, krisis lingkungan dan sosial di Indonesia saat ini sudah mengarah pada genosida manusia dan budaya. ”Ruang hidup masyarakat adat atau masyarakat lokal telah diambil oleh negara (state property) dan dialihkan ke hak guna usaha (akses ke korporasi). Mereka kehilangan ruang hidup dan juga budaya,” katanya.
Ahli pemerintahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, setuju tentang pentingnya perubahan paradigma pembangunan hingga tataran konsep dan kebijakan. ”Pembangunan ekonomi harus berorientasi pada kualitas kesejahteraan dan pemerataan. Juga berbasis pada sistem alam dan menghormati daya lenting alam. Jangan hanya menjadikan sumber daya manusia sebagai human capital, tetapi sebagai manusia dengan kemanusiaannya,” katanya.
Untuk itu, menurut Syarif, pembangunan yang baik saja tidak cukup, tetapi harus proper. Ini berarti harus ada partisipasi warga dan inklusif sesuai budaya lokal.
Implementasi
Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam mengatakan, perubahan paradigma pembangunan mau tidak mau harus dilakukan. Tidak mungkin ekonomi bisa tumbuh jangka panjang jika emisi, polusi, pencemaran meningkat, serta ketersediaan air memburuk. ”Memang saya akui belum semua di Bappenas juga berpikir yang sama. Orientasi ekonomi memang masih dominan, tetapi ada sejumlah kemajuan,” katanya.
Medrilzam mencontohkan perubahan itu di antaranya masuknya penurunan emisi gas rumah kaca sebagai sasaran makro pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 -2024. Selain itu, adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Meskipun demikian, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia Suraya Afiff mengingatkan tentang buruknya implementasi dari berbagai konsep yang dibuat. Hal itu karena adanya pertarungan ekonomi politik, bahkan juga paradigma. Selain itu, juga ada konflik kepentingan dan ego sektoral antarlembaga dan kementerian di Indonesia. ”Bappenas bagus sekali membuat konsep, tetapi bagaimana sebenarnya itu dipraktikkan dalam isu konkret. Bagaimana cara memediasi berbagai konflik yang ada,” katanya.