Pandemi Covid-19 Gagal Mengerem Laju Pemanasan Global
Suhu rata-rata global bertambah sekitar 1,2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri (1850-1900). Enam tahun sejak 2015 menjadi rekor terpanas. Kurun 2011-2020 menjadi rekor dekade terpanas.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlambatan ekonomi karena pandemi Covid-19 ternyata gagal menghentikan laju perubahan iklim. Bahkan, dampak pemanasan global berupa cuaca ekstrem yang memicu bencana selama pandemi telah menjadi pukulan ganda bagi jutaan orang pada 2020.
Demikian laporan baru yang disusun oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang dikeluarkan Senin (19/4/2021). Laporan berjudul ”State of the Global Climate 2020” ini mendokumentasikan indikator-indikator sistem iklim, termasuk konsentrasi gas rumah kaca, peningkatan suhu darat dan laut, kenaikan permukaan laut, pencairan es dan penyusutan gletser, serta cuaca ekstrem.
Laporan ini menyebutkan, suhu rata-rata global bertambah sekitar 1,2 derajat celsius di atas tingkat praindustri (1850-1900). Enam tahun sejak 2015 menjadi rekor terpanas. Kurun 2011-2020 menjadi rekor dekade terpanas.
Sementara tahun 2020 menduduki peringkat terpanas dalam catatan sejarah, sama dengan 2016 dan 2019. Padahal, sepanjang 2020 terjadi efek pendinginan dari fenomena iklim alam siklis, La Nina. Tanpa La Nina, tahun 2020 kemungkinan besar akan menjadi tahun terpanas.
Negara-negara harus menyerahkan rencana ambisius untuk mengurangi emisi global sebesar 45 persen pada tahun 2030, jauh sebelum COP 26. (Antonio Guterres)
Sepanjang 2020, kejadian cuaca ekstrem juga memecahkan rekor di seluruh dunia, dari badai dan topan di AS dan India, gelombang panas di Australia dan Arktik, banjir di sebagian besar Afrika dan Asia, dan kebakaran hutan di AS.
”Semua informasi utama tentang iklim dan dampak dalam laporan ini menyoroti perubahan iklim yang tiada henti, terus berlanjut, peningkatan kejadian dan intensifikasi peristiwa ekstrem, serta kerugian dan kerusakan parah, yang memengaruhi orang, masyarakat, dan ekonomi,” kata Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO.
Laporan Keadaan Iklim WMO ini dikeluarkan tepat sebelum KTT para pemimpin global, yang diselenggarakan Presiden AS Joe Biden pekan ini, sebagai persiapan KTT iklim PBB COP 26 pada November mendatang.
”Ini tahun aksi,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres. ”Iklim sedang berubah dan dampaknya sudah terlalu merugikan bagi manusia dan planet ini. Negara-negara harus menyerahkan rencana ambisius untuk mengurangi emisi global sebesar 45 persen pada tahun 2030, jauh sebelum COP 26.”
Beberapa kejadian penting terkait dampak perubahan iklim yang terpantau ini tentang kondisi tahun 2020, antara lain, luasan es laut di Arktik mencapai rekor terendah kedua, sementara ratusan miliar ton es hilang di Greenland dan Antartika, membantu menaikkan permukaan laut. Fenomena lain, banjir besar melanda sebagian besar Afrika dan Asia, memicu wabah belalang di Tanduk Afrika.
Kekeringan ekstrem pada 2020 memengaruhi banyak bagian Amerika Selatan, dengan perkiraan kerugian pertanian hampir 3 miliar dollar AS di Brasil saja, dengan kerugian lebih lanjut di Argentina, Uruguay, dan Paraguay. Sementara kebakaran hutan terbesar yang pernah tercatat terjadi di AS, sementara Australia memecahkan rekor panas, termasuk suhu 48,9 derajat celsius di barat Sydney.
Siklon tropis
Menguatnya frekuensi dan intensitas siklon juga menjadi catatan penting yang terjadi selama 2020. Musim badai Atlantik utara memiliki jumlah badai terbanyak dalam catatan dengan 30 kejadian, dan 12 di antaranya membuat pendaratan di AS.
Topan Amphan melanda India dan Bangladesh dan merupakan topan tropis paling mahal yang pernah tercatat di Samudra Hindia utara. Sementara topan Goni yang melintasi Filipina adalah salah satu topan paling hebat yang pernah melanda daratan dalam sejarah modern.
Topan Harold, yang melanda Fiji, Kepulauan Solomon, Tonga dan Vanuatu yang merupakan salah satu badai terkuat yang pernah tercatat di Pasifik Selatan, memicu sekitar 99.500 pengungsian. Sementara di Filipina, topan Tropis Vongfong (Ambo) memaksa lebih dari 180.000 orang dievakuasi.
Laporan oleh WMO dan mitranya ini juga menemukan bahwa pengurangan produksi pangan, transportasi, dan aktivitas ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19 telah memperburuk efek cuaca ekstrem. Disebutkan, lebih dari 50 juta orang mengalami dampak ganda bencana etrkait iklim dan pandemi pada tahun 2020.