Manajemen risiko banjir berbasis alam harus dipertahankan karena di dalamnya terkandung konservasi dan resistensi air. Restorasi atau pemulihan kembali daerah aliran sungai (DAS) pada daerah yang mengalami ketelanjuran.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Manajemen risiko banjir berbasis alam perlu ditingkatkan karena di dalamnya sudah terkandung aspek konservasi dan resistensi air. Di sisi lain, penanggulangan banjir juga harus dikemas secara holistik atau menyeluruh sehingga tidak fokus pada aspek ekologi saja, tetapi juga menyadarkan masyarakat terhadap lingkungan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara bedah buku “Nature-Based Flood Risk Management on Private Land” karya profesor bidang tata kelola lahan dan air dari Wageningen University, Belanda, Thomas Hartmann yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) secara daring, Selasa (20/4/2021).
Pakar Manajemen Sungai Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Maryono mengatakan, manajemen risiko banjir berbasis alam harus dipertahankan karena di dalamnya sudah terkandung aspek konservasi dan resistensi air. Di sisi lain, restorasi atau pemulihan kembali daerah aliran sungai (DAS) juga dapat dilakukan jika upaya manajemen banjir sudah terlanjur tidak berbasis alam, khususnya untuk daerah hilir di perkotaan.
Penanggulangan banjir juga dapat belajar dari catatan sejarah terkait tempat-tempat mana saja yang pernah mengalami banjir besar.
Menurut Agus, konsep restorasi DAS di wilayah perkotaan lebih kompleks dan luas dibandingkan naturalisasi yang hanya fokus pada pengembalian fungsi ekologi. Sementara upaya restorasi tidak hanya fokus pada ekologi, tetapi juga hidrologi dan morfologi.
“Penanggulangan banjir harus dikemas secara holistik. Mengatasi banjir harus sekaligus menyelesaikan masalah ekologi, menarik masyarakat lebih sadar terhadap air dan lingkungan, serta menata peraturan di tingkat desa hingga RT,” ujarnya.
Dalam menanggulangi masalah banjir ini, Agus mendorong agar kementerian/lembaga terkait dapat mengarahkan pemerintah desa tidak melakukan program pembangunan yang bisa mengubah sungai. Morfologi sungai diharapkan dapat dibiarkan apa adanya. Pembangunan di pedesaan seharusnya yang menyesuaikan dengan kondisi sungai.
Direktur Wetlands Internasional Indonesia Nyoman Suryadiputra mengatakan, upaya adaptasi dan mitigasi banjir di Indonesia salah satunya dilakukan melalui restorasi danau. Namun, ia menilai bahwa fungsi restorasi danau di Indonesia kurang optimal dibandingkan di luar negeri karena telah mengalami multifungsi. Sebab, selain untuk mitigasi banjir, danau di Indonesia juga berfungsi sebagai suplai air, pembangkit listrik, hingga rekreasi.
Nyoman mencontohkan, berbeda seperti di Indonesia, restorasi danau di Austria hanya ditujukan untuk satu fungsi yakni suplai air baku masyarakat. Danau di Austria juga memiliki area zonasi agar tidak ada aktivitas tertentu di sekitar lokasi. Hal ini bertujuan untuk menjaga retensi atau daya tampung air dan mencegah kerusakan danau tersebut.
“Recharging (pengisian ulang) air tanah melalui lubang resapan biopori juga salah satu upaya untuk meredam banjir. Tetapi pembuatan bipori jika tidak hati-hati akan berkontribusi mencemari air tanah karena banyaknya polusi di Jakarta,” tuturnya.
Berbasis komunitas
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengemukakan, kementerian/lembaga di tingkat pusat bertugas untuk mengoordinasikan dan menyampaikan informasi agar meningkatkan pengetahuan kebencanaan masyarakat. Namun, ia memandang bahwa upaya paling efektif meningkatkan pengetahuan kebencanaan yaitu melalui komunitas di tingkat lokal.
Raditya menyatakan, penanggulangan banjir juga dapat belajar dari catatan sejarah terkait tempat-tempat mana saja yang pernah mengalami banjir besar. Data catatan sejarah inilah yang dinilai Raditya masih minim sehingga perlu menjadi prioritas dan koordinasi dari berbagai kementerian/lembaga.
Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Sumedi Andono Mulyo mengatakan, manajemen kebencanaan bukan hanya sekadar data dan informasi. Namun, hal ini juga harus menjadi pengetahuan yang nantinya disusun sebagai kebijakan.
Menurut Sumedi, sumber analisis kebijakan yang digunakan dalam pengurangan risiko bencana yakni rencana tata ruang wilayah, peta infrastruktur, dan peta rawan bencana. Ketiga komponen tersebut menjadi dasar untuk proyeksi dan skenario pembangunan baik di tingkat nasional maupun wilayah.
“Nantinya kajian yang akan diperbanyak yakni kajian risiko dan simulasi di beberapa daerah rawan bencana, terutama yang menyangkut bencana hidrometeorologi. Pelaksanaannya akan bekerjasama dengan kementerian dan lembaga lain untuk menata kembali bagaimana manajemen pengetahuan kebencanaan sebagai bagian dari perumusan kebijakan,” katanya.