Praktik perkawinan anak mengancam kualitas sumber daya manusia Indonesia. Selain menimbulkan risiko kesehatan, bahkan berujung pada kematian, kondisi tersebut dapat menghambat tumbuh kembang anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan usia dini berisiko pada kesehatan reproduksi dari seorang anak. Risiko yang ditimbulkan tidak hanya berdampak terhadap anak tersebut, tetapi juga keturunannya, bahkan sampai generasi berikutnya. Karena itu, tingginya kejadian perkawinan usia anak dapat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo ketika dihubungi di Jakarta, Senin (19/4/2021) mengatakan, perkawinan pada anak sebaiknya tidak dimaknai sebatas pada pernikahan saja, tetapi juga pada hubungan seksual pertama kali yang dilakukan oleh anak. Pasalnya, 59 remaja perempuan dan 74 persen remaja laki-laki di Indonesia melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 15-19 tahun.
”Secara substansial yang harus lebih kita khawatirkan adalah semakin rendahnya usia anak yang melakukan hubungan seks pertama kali. Dan, bukti kerugian dari kondisi ini sudah di depan mata, yakni tingginya kasus kanker mulut rahim yang pada hari ini nomor dua terbanyak setelah kanker payudara,” katanya.
Hasto mengatakan, hubungan seks pada usia anak sangat berisiko menyebabkan kanker mulut rahim atau kanker serviks. Perempuan usia di bawah 19 tahun, mulut rahim yang dimiliki masih menghadap ke luar sehingga ketika tersentuh alat kelamin dari laki-laki akan rentan terjadi infeksi yang menyebabkan kanker. Manifes dari kanker ini biasanya akan muncul setelah 15-20 tahun kemudian.
Dampak lain yang juga bisa terjadi jika seseorang hamil dan melahirkan di usia dini, antara lain, terjadi pre-eklamsia yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah saat kehamilan serta pendarahan saat persalinan. Itu sangat berbahaya bagi perempuan hingga mengancam keselamatan jiwa.
Dalam jangka panjang, anak yang harus mengandung juga berisiko mengalami terhentinya pertumbuhan tulang. Selain tidak bisa mencapai tinggi badan yang optimal, perempuan yang hamil pada usia anak juga tidak bisa mencapai puncak pemadatan tulang (peak bone mass) yang bisa menyebabkan terjadinya osteoporosis. ”Ini terjadi karena kebutuhan nutrisi untuk mendukung pertumbuhan tersebut diambil anak yang dikandungnya,” kata Hasto.
Sebelumnya, Assistant Representative UNFPA (Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa) Melania Hidayat dalam seminar daring yang diadakan pada 9 Maret 2021 mengatakan, mutu layanan kesehatan reproduksi belum optimal sehingga memicu tingginya angka kematian ibu. Lemahnya posisi perempuan di masyarakat juga menjadi penyebabnya.
”Perempuan berhak mendapat akses layanan kesehatan reproduksi sebagai bagian hak asasi manusia. Perempuan pun berhak merencanakan kehamilan. Itu yang belum disadari masyarakat. Padahal, ketika seseorang tahu risiko kesehatan saat hamil ataupun menikah di usia dini, dirinya menyadari pentingnya hamil di usia tepat,” tuturnya.
Selain pada calon ibu, perkawinan usia dini yang menyebabkan kehamilan berdampak buruk bagi kondisi anak yang dikandung. Lebar panggul dari perempuan di bawah usia 20 tahun masih kurang dari 10 sentimeter (cm). Padahal, lebar kepala bayi yang akan dilahirkan antara 9,7 cm-9,9 cm.
Apabila calon ibu yang masih berusia anak harus melahirkan, disproporsi kepala panggul atau ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dan panggul ibu bisa terjadi. Akibatnya, persalinan tidak bisa dilakukan secara normal. Hal ini akan berbahaya apabila terjadi terhadap seseorang yang tidak memiliki akses pelayanan kesehatan yang mumpuni. Risiko bentuk kepala anak yang tidak proporsional sampai terjadi gegar otak, serta pendarahan pada ibu yang melahirkan bisa terjadi.
Kondisi ini pula yang menjadi faktor penyebab tingginya angka kematian pada ibu dan bayi di Indonesia. Angkanya pun terus meningkat setiap tahun. Angka kematian ibu meningkat 300 kasus dari 2019 ke 2020 menjadi 4.400 kasus. Sementara angka kematian bayi juga meningkat hampir 40 persen dari 2019 menjadi 44.000 kasus pada 2020.
Dalam jangka panjang, Hasto mengatakan, perkawinan anak yang menyebabkan kehamilan usia dini juga berdampak pada kualitas anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang lahir dari ibu yang berusia dini sangat berkaitan dengan tingginya angka stunting (tengkes) di Indonesia. Itu karena nutrisi dari ibu sangat minim.
”Bahkan, dampak dari kehamilan pada usia dini ini bisa sampai ke cucunya. Jadi, anak usia 15 tahun masih belum dewasa sehingga kualitas sel telurnya masih jelek. Artinya, anak yang nanti dilahirkan kurang berkualitas dan ini akan berlanjut sampai generasi berikutnya yang akan menjadi cucunya kelak. Dampaknya sangat panjang,” tuturnya.
Artinya, anak yang nanti dilahirkan kurang berkualitas dan ini akan berlanjut sampai generasi berikutnya yang akan menjadi cucunya kelak. Dampaknya sangat panjang.
Hasto menyampaikan, perkawinan anak juga menimbulkan dampak psikologis. Anak yang menikah di usia dini biasanya memiliki kesejahteraan hidup yang lebih rendah. Risiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga tinggi.
Data menunjukkan, 50 persen perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih berisiko mengalami KDRT. Selain itu, tingkat depresi, kecemasa, serta memiliki pikiran untuk bunuh diri juga lebih tinggi.
Menurut Hasto, berbagai pendekatan harus dilakukan secara bersamaan untuk mengatasi persoalan perkawinan anak di Indonesia. Pembatasan usia perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang mengatur batasan usia perkawinan minimal 19 tahun harus disertai dengan pendidikan seskualitas yang masif.
Pemahaman masyarakat yang salah mengentai pendidikan seksualitas perlu dibenahi. Pendidikan seksual bukan mengajarkan mengenai hubungan seksual, melainkan mengajarkan untuk menjaga kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki. Secara sederhana, berbagai risiko yang bisa terjadi pada perkawinan usia dini bisa dipaparkan. Ini tidak hanya pada anak-anak sekolah, tetapi juga pada orangtua.
Karena itu, tantangan utama dari masalah perkawinan anak adalah rendahnya pendidikan dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi. Selain itu, tantangan lainnya terkait budaya ataupun dogma yang diyakini masyarakat serta masalah kemiskinan.
”Jika ingin menuntaskan persoalan perkawinan anak, harus dilakukan intervensi secara komprehensif. Komitmen semua pihak harus diperkuat. Berbagai pendekatan juga harus dilakukan, terutama melalui tokoh masyarakat dan tokoh agama agar pendidikan mengenai kesehatan reproduksi bisa diterima dengan baik,” katanya.
Dalam studi pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa UI) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Unicef pada 2020 menunjukkan, perkawinan anak didorong oleh faktor lain di luar kebijakan struktural.
Hal itu meliputi, antara lain, latar belakang pendidikan, kondisi ekonomi, lokasi tempat tinggal, dan pengaruh dari tradisi serta agama. Karena itu, regulasi saja dinilai tidak cukup untuk menekan angka perkawinan anak.
Hasto menyatakan, pemerintah melalui program penurunan tengkes juga akan menitikberatkan pencegahan perkawinan usia dini sebagai indikator yang harus dicapai. Saat ini, BKKBN masih merancang program penapisan untuk pasangan yang akan menikah setidaknya tiga bulan sebelum pernikahan berlangsung.
Penapisan ini, antara lain, untuk melihat kelayakan usia untuk menikah serta kesiapan untuk memiliki anak. ”Harapannya, Juli 2021 sudah mulai berjalan,” ucapnya.