Pertimbangkan Nilai Ekonomi dalam Kawasan Perlindungan Laut
Pembangunan kawasan perlindungan laut harus mempertimbangkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Riset membuktikan bahwa kawasan perlindungan laut dapat meningkatkan surplus produsen dan konsumen serta sumber daya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain aspek konservasi, pembangunan kawasan perlindungan laut harus mempertimbangkan nilai ekonomi bagi masyarakat sesuai dengan basis ilmu pengetahuan. Di sisi lain, penetapan kawasan konservasi jangan hanya mengacu pada luas perairan, tetapi juga pada seberapa besar habitat kritis yang harus dilindungi.
Direktur Eksekutif Pusat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Center) Universitas Padjadjaran Zuzy Anna mengemukakan, aspek konservasi tidak dapat berdiri sendiri tanpa instrumen ekonomi. Upaya konservasi juga dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bisa memperoleh nilai-nilai ekonomi dari laut.
Menurut Zuzy, beberapa hasil riset membuktikan kawasan perlindungan laut (marine protected area/MPA) dapat meningkatkan surplus produsen dan konsumen serta sumber daya. Sebab, ada peningkatan harga dari nelayan yang telah mengeluarkan tenaga dan biaya saat mengumpulkan sumber daya laut.
”Dari perhitungan yang saya lakukan di Kawasan Konservasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih, ternyata nilai ekonomi dari jasa lingkungannya saja bisa memperoleh Rp 770 juta per tahun. Sementara total nilai ekonomi secara keseluruhan Rp 35 triliun,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pengelolaan Konservasi Laut di Indonesia: Apa dan Bagaimana Kabarnya?”, Senin (19/4/2021).
Meski demikian, Zuzy menilai, semakin besar MPA tidak menjamin pengelolaan dan nilai ekonomi meningkat. Sebab, luas MPA yang besar juga berpotensi meningkatkan hilangnya biaya sosial seperti kesempatan kerja nelayan dalam jangka pendek.
Oleh karena itu, pertimbangan ekonomi sangat penting dalam pembangunan MPA yang bisa dihasilkan melalui sejumlah riset. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai pembangunan MPA, antara lain, dampak fisik atau biologis, efisiensi ekonomi, ekuitas distribusi, penerimaan sosial, kelayakan administratif, hingga legalitas.
”Hal paling penting lainnya adalah melakukan analisis ekonomi. Banyak proyek yang didanai institusi keuangan dunia biasanya juga mewajibkan melakukan analisis ekonomi. Ini bisa menjadi sarana sistematis untuk menilai dan membandingkan dampak dari kebijakan MPA baik jangka pendek maupun panjang,” tuturnya.
Zuzy menegaskan, dalam pembangunan MPA, negara jangan hanya fokus pada besarnya area yang ditetapkan. Pembangunan juga harus fokus pada kawasan yang penting, seperti area pemijahan bagi organisme air (spawning ground) dan area untuk mencari makan (feeding ground) yang terancam pembangunan.
”Kita harus menyadari ada nilai besar yang bisa didapat dari pembangunan MPA, baik yang sifatnya market based (berdasarkan pasar) maupun yang nonmarket based. MPA tidak bisa berdiri sendiri sehingga perlu aturan tambahan untuk kawasan di luar no-take zone (area tanpa aktivitas penangkapan),” katanya.
MPA di Indonesia
Berdasarkan data Marine Protecton Atlas, hanya 2,7 persen laut secara global yang diimplementasikan ke dalam kawasan dengan perlindungan penuh. Secara keseluruhan, terdapat 52 negara dan kawasan yang sudah melindungi 10 persen kawasan perairannya.
Kita harus menyadari ada nilai besar yang bisa didapat dari pembangunan MPA, baik yang sifatnya market based (berdasarkan pasar) maupun yang nonmarket based.
Sementara di dalam negeri, data terbaru tahun 2021 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, luas MPA sampai saat ini 24,1 juta hektar atau masih kurang dari 8 persen luas perairan Indonesia. Sesuai rencana aksi nasional, luas kawasan konservasi perairan nasional pada 2025 ditargetkan 25 juta hektar.
Regional Manager Proyek The Arafura and Timor Seas (ATSEA-2) Handoko Adi Susanto mengatakan, penetapan kawasan konservasi yang harus dilindungi bukan mengacu pada luas perairan. Akan tetapi, penetapan mengacu pada seberapa besar habitat kritis yang harus dilindungi, termasuk kawasan mangrove, terumbu karang, dan lamun.
Menurut Handoko, kawasan konservasi laut tidak hanya dapat memberikan manfaat konservasi, tetapi juga nilai ekonomi bagi masyarakat jika didesain dengan baik dan dikelola secara efektif. Enam faktor yang memengaruhi tata kelola kawasan konservasi laut itu adalah perencanaan dan kebijakan, sumber daya manusia, kelembagaan, infrastruktur, pendanaan, dan operasional pengelolaan.
Handoko menjelaskan, tipe dan desain kawasan konservasi laut sebenarnya masih memberikan kelonggaran terhadap kegiatan-kegiatan perikanan dengan aturan yang ketat meski area tersebut merupakan no-take zone. Masyarakat juga masih bisa memanfaatkan kawasan konservasi, tetapi bukan untuk kegiatan ekstraktif dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.