Perusahaan Rintisan Bidang Lingkungan Terus Ditingkatkan
Jumlah perusahaan rintisan di bidang lingkungan yang masih minim perlu terus ditingkatkan karena dapat mendukung upaya penanggulangan krisis iklim dan menciptakan ekonomi sirkular.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Salah satu aspek dalam model bisnis usaha rintisan Jejak.in. Perusahaan di sektor lingkungan ini menjadi salah satu perusahaan yang dianggap paling inovatif dalam program akselerator "start-up" Gojek Xcelerate dalam konferensi pers dan acara diskusi bertajuk Gojek Xcelerate Xcellence yang digelar secara jarak jauh pada Rabu (1/7/2020) sore.
JAKARTA, KOMPAS – Inovasi dari perusahaan rintisan atau start-up yang bergerak di bidang lingkungan dinilai dapat membantu menanggulangi krisis iklim dan menciptakan ekonomi sirkular. Namun, sampai saat ini jumlah perusahaan rintisan di bidang lingkungan masih minim sehingga butuh dukungan dari berbagai pihak untuk meningkatkan
Co-Founder Ecoxyztem Venture Builder, Jonathan Daya mengemukakan, pada masa yang akan depan, dunia khususnya Asia sangat membutuhkan teknologi atau inovasi baru. Sebab, pada 2025 diperkirakan terdapat 750 juta orang di Asia yang terkena bencana hidrometeorologi yang merupakan dampak dari perubahan iklim.
“Pada 2030 nanti, kita juga diprediksi akan butuh 60 persen lebih banyak makanan dengan air yang semakin sedikit. Jadi isu pangan, air, dan iklim merupakan sesuatu yang saling berkaitan serta menjadi sebuah sistem dalam ekonomi sirkular,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (16/4/2021).
Indikator lingkungan dalam ekonomi sirkular juga terkait dengan penghematan listrik dan air maupun bahan baku lainnya.
Jonathan menilai, perusahaan rintisan dapat menjadi jalan keluar dalam mendukung penanggulangan krisis iklim dan membangun ekonomi sirkular karena inovasi yang dihadirkan. Usaha yang dilakukan perusahaan rintisan juga dapat berdampak besar sekaligus menciptakan pekerjaan baru yang lebih inklusif dan manusiawi.
Kompas
Mahasiswa yang menjadi volunter Garda Pangan, organisasi wirausaha sosial, menyalurkan pastri yang merupakan produk berlebih patiseri yang masih aman dan amat layak dikonsumsi kepada anak-anak Taman Bacaan Masyarakat Anggrek Bulan di Keputih Tegal Timur Baru, Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.
Meski demikian, Jonathan memandang bahwa mengatasi krisis iklim dari dukungan perusahaan lingkungan saat ini belum dapat berjalan optimal. Sebab, data Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan, jumlah perusahaan rintisan di Asia yang bergerak di bidang lingkungan kurang dari 3 persen.
Guna mengatasi tantangan ini, Jonathan membuat Ecoxyztem yang bertujuan membantu perusahaan rintisan bidang lingkungan mendapatkan investasi pendanaan dalam waktu 8-12 bulan. Saat ini, Ecoxyztem telah membangun 100 jaringan pengusaha, 6 jaringan investor, dan kerja sama dengan lebih dari 10 lembaga pemerintahan serta 1.000 komunitas.
“Dari riset lanskap investasi yang kami lakukan, kesempatan start-up bidang lingkungan untuk berkembang lebih tinggi daripada start-up teknologi pada umumnya. Sebab, ecopreneurs lebih susah untuk mendapat modal awal dan secara tim mereka struggling,” katanya.
Co-Founder Think Policy Society Andhita Utami mengatakan, salah satu upaya mengatasi permasalahan lingkungan dan menciptakan ekonomi sirkular adalah melalui pengelolaan sampah. Upaya pengelolaan sampah sangat penting dan mendesak karena saat ini sudah banyak tempat pengelolaan akhir (TPA) yang sudah melebihi kapasitas.
“Daur ulang sampah kita masih sangat rendah sekitar 10-15 persen. Namun, 7 persen dari angka tersebut juga dilakukan secara informal oleh para pemulung. Pada akhirnya kemasan yang dikonsumsi berakhir di tempat pembuangan sampah yang mungkin tidak akan bisa terurai dan seringkali tidak dianggap sebagai masalah,” ujarnya.
Andhita mengatakan, selama ini memang sampah dari pengemasan khususnya plastik kerap diperbincangkan sebagai masalah terbesar. Akan tetapi, mayoritas sampah yang berakhir di TPA yakni yang bersifat organik seperti sisa makanan. Padahal, sampah organik dapat dijadikan pupuk kompos atau dapat dikurangi dari rumah tangga.
Ia memandang bahwa upaya daur ulang atau pengelolaan sampah dapat berskala lebih luas jika didukung dengan regulasi dari pemangku kebijakan. Regulasi tersebut dapat berupa mengarahkan investasi ke bisnis yang berkaitan dengan solusi iklim dan kejelasan terkait ketentuan dalam menjalankan usaha daur ulang.
Dukungan
Perencana lingkungan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Anggi Pertiwi Putri mengatakan, saat ini pemerintah telah memberikan sedikit dukungan penguatan untuk perusahaan rintisan secara umum dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
“Dukungan tersebut mungkin tidak terkait langsung dengan Bappenas, tetapi kementerian lain. Dukungan dimulai dari membuat panduan untuk perusahaan pemula berbasis teknologi sampai mekanisme pinjaman lunak,” ucapnya.
Menurut Anggi, mengatasi permasalahan lingkungan dan memacu ekonomi sirkular tidak hanya terkait pengelolaan sampah, tetapi juga sumber daya alam secara bijak. Jadi, indikator lingkungan dalam ekonomi sirkular juga terkait dengan penghematan listrik dan air maupun bahan baku lainnya.
“Sirkular ekonomi dapat diterapkan para pelaku ekonomi mulai dari industri, UMKM hingga start-up. UMKM sendiri sebenarnya dukungan terhadap pendapatan domestik bruto kita mencapai 57 persen. Apalagi diterapkan ekonomi sirkular tentu manfaatnya akan lebih banyak lagi,” tuturnya.
ARSIP WASTE4CHANGE
Petugas pengumpulan sampah dari Waste4Change bertugas di perumahan Vida Bekasi, di Narogong Raya, Bekasi. Di kawasan perumahan ini, warga diajak memilah dan mengolah sampah untuk mengurangi pengiriman sampah di TPTS Bantargebang.
Berdasarkan studi yang dilakukan Bappenas dengan pemerintah Denmark dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), peran ekonomi sirkular sangat penting untuk meningkatkan resiliensi dan manfaat jangka panjang. Menerapkan ekonomi juga dapat mengurangi limbah sebesar 18-52 persen dibandingkan dengan skenario dasar atau business as usual pada 2030.
Selain itu, penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor prioritas tersebut juga berpotensi menghasilkan tambahan produk domestik bruto secara keseluruhan pada kisaran Rp 593-642 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan baru sampai 2030, dan penurunan emisi mencapai 126 juta ton karbondioksida ekuivalen pada 2030.
Anggi menegaskan, saat ini perlu dilakukan sejumlah upaya guna mengikis tantangan dalam implementasi ekonomi sirkular di Indonesia. Upaya itu antara lain dengan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang sirkular ekonomi, memperkuat ketersediaan data, menjaga keseimbangan rantai pasok, meningkatkan infrastruktur dan teknologi, serta menyusun skema pendanaan inovatif.