Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Kesehatan Disorot
Kegiatan di sektor kesehatan berkontribusi penting pada pelepasan emisi gas rumah kaca global. Di sisi lain, polutan tersebut membawa dampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Emisi global di sektor kesehatan akan meningkat tiga kali lipat dari data dasar tahun 2014 pada 2050 jika negara-negara dunia tidak memiliki komitmen iklim yang lebih kuat untuk menurunkan emisi ini. Oleh karena itu, perlu upaya penurunan emisi di sektor kesehatan dengan menerapkan peta jalan global untuk nol emisi pada sektor kesehatan.
Berdasarkan laporan organisasi non-pemerintah internasional Health Care Without Harm dan perusahaan Arup, jejak iklim sektor kesehatan di seluruh dunia pada 2019 mencapai 4,4 persen dari emisi global. Sebanyak 84 persen emisi ini berasal dari penggunaan bahan bakar fosil di seluruh fasilitas operasional rumah sakit hingga pembuatan dan pengangkutan produk kesehatan.
Health Care Without Harm dan Arup mencatat, emisi global sektor kesehatan akan meningkat tiga kali lipat dari data dasar tahun 2014 menjadi lebih dari tiga gigaton per tahun pada tahun 2050. Jumlah tersebut sama dengan emisi tahunan dari 770 pembangkit listrik tenaga batubara. Kenaikan ini terjadi jika negara-negara dunia tidak memiliki komitmen iklim yang lebih kuat untuk menurunkan emisi.
Upaya dekarbonisasi dari sektor kesehatan tidak akan optimal menanggulangi krisis iklim jika pemerintah tidak meningkatkan komitmennya di sektor energi sebagai penyumbang emisi terbesar.
Guna membantu dan mendorong setiap negara dalam penurunan emisi, Health Care Without Harm dan Arup juga membuat laporan ”Peta Jalan Global Untuk Nol Emisi Pada Perawatan Kesehatan” yang diluncurkan pada Rabu (14/4/2021) di Skoll World Forum.
Peta jalan tersebut merupakan sebuah alat navigasi untuk mencapai nol emisi dengan ketahanan iklim dan keadilan akses kesehatan. Peta jalan ini sekaligus menjadi laporan pertama yang memetakan jalur perawatan kesehatan global menuju nol emisi pada tahun 2050.
Josh Karliner, Direktur Program Internasional Health Care Without Harm sekaligus penulis laporan tersebut mengemukakan, warga dunia mengalami keadaan darurat iklim dan kesehatan secara bersamaan selama pandemi Covid-19. Sektor perawatan kesehatan menanggung beban dari kedua krisis ini sehingga pemimpin di setiap negara perlu menerapkan peta jalan nol emisi pada 2050 yang telah disusun dalam laporan ini.
Laporan ini mengidentifikasi tujuh tindakan yang dapat dilaksanakan di tiga jalur dekarbonisasi sehingga dapat mengurangi emisi sektor kesehatan yang secara global mencapai 44 gigaton. Tiga jalur dekarbonisasi itu yakni melalui pengoperasian fasilitas kesehatan, rantai pasok sistem perawatan kesehatan, dan percepatan ekonomi.
Sementara tujuh tindakan yang dilakukan di antaranya dengan menggunakan 100 persen energi bersih untuk pengoperasian fasilitas kesehatan, investasi pada bangunan dan infrastruktur tanpa emisi, menerapkan transportasi ramah lingkungan, serta penyediaan sistem makanan yang berkelanjutan. Selain itu, tindakan lainnya yakni memproduksi obat-obatan rendah karbon, pengelolaan limbah medis secara berkelanjutan, dan membangun efektivitas sistem kesehatan yang lebih baik.
Selain menetapkan peta jalan penurunan emisi, laporan tersebut juga memberikan secara rinci data emisi perawatan kesehatan nasional pada 2014 untuk 68 negara, termasuk Indonesia. Data menunjukkan, jejak karbon Indonesia di sektor kesehatan terbanyak yakni 25,3 persen berasal dari makanan dan akomodasi untuk konsumsi untuk kebutuhan pasien di setiap fasilitas pelayanan kesehatan.
Memasukkan ke NDC
Melalui peta jalan ini, negara-negara dengan tingkat jejak karbon tinggi didesak untuk segera mengurangi emisi yang dihasilkan dari sektor kesehatan. Seluruh data yang tertuang dalam laporan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah agar memasukkan sektor kesehatan ke dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) sehingga sektor ini dapat mendukung upaya dekarbonisasi.
Hal sama juga perlu dilakukan oleh negara dengan emisi rendah atau masih dalam masa pengembangan infrastruktur kesehatan. Negara tersebut dapat segera mengubah dan mulai mengikuti peta jalan penurunan emisi sektor kesehatan hingga 2050.
Direktur Departemen Lingkungan, Iklim dan Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Maria Neira menyatakan, para tenaga ataupun ilmuwan di bidang kesehatan merupakan salah satu kelompok yang paling dipercayai di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka dapat mempelopori upaya menanggulangi kesehatan masyarakat sekaligus krisis iklim dengan memetakan jalan menuju dekarbonisasi secara transformatif.
Harus didukung energi
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menyatakan, laporan tersebut menunjukkan bahwa krisis iklim merupakan salah satu persoalan kesehatan terbesar. Upaya dekarbonisasi dari sektor kesehatan dapat menjadi contoh komitmen menanggulangi krisis iklim untuk sektor lainnya meski pelepasan emisi dari sektor ini tidak terlalu besar.
Namun, Tata menegaskan, upaya dekarbonisasi dari sektor kesehatan tidak akan optimal menanggulangi krisis iklim jika pemerintah tidak meningkatkan komitmennya di sektor energi sebagai penyumbang emisi terbesar. Komitmen dapat diwujudkan dengan melakukan transisi penuh dari energi fosil ke energi terbarukan yang saat ini masih tertinggal jauh.
”Tidak akan ada pengurangan emisi dari sektor kesehatan jika tidak ada transisi energi secara keseluruhan dan lebih ambisius pada 2030 hingga 2050. Barulah kita bisa melakukan transisi di sektoral seperti pemasangan panel surya di setiap fasilitas pelayanan kesehatan,” katanya.