Tepis Stigma, Sosialisasi Penularan Kusta Perlu Lebih Sistematis
Penyakit menular kusta masih membayangi sejumlah daerah di Indonesia. Meski penyakit ini terbukti sudah bisa diobati sehingga tidak menular, stigma negatif di masyarakat masih terlalu kuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 2.000 tahun ditemukan di tengah masyarakat, kusta belum juga tuntas. Stigma serta pemahaman yang masih kurang menjadi kendala utama dalam upaya eliminasi penyakit menular ini. Sosialisasi serta edukasi pun perlu lebih sistematis dengan evaluasi yang juga terukur.
Direktur Eksekutif NLR Indonesia Asken Sinaga menyampaikan, berbagai tantangan ditemui dalam upaya penanganan kusta di Indonesia. Tantangan ini terutama soal minimnya pemahaman masyarakat akan penyakit kusta. Dengan stigma yang masih tinggi terhadap pasien kusta, deteksi dini sulit dilakukan.
”Rendahnya pemahaman publik mengenai kusta merupakan masalah klasik yang sudah diketahui sejak dulu. Kondisi ini salah satunya karena edukasi publik yang masih kurang. Selama ini, edukasi hanya gencar dilakukan saat peringatan Hari Kusta Sedunia pada minggu terakhir bulan Januari. Namun, setelah itu, semangat menuntaskan kusta menghilang dengan aktivitas lainnya,” ujarnya di Jakarta, Rabu (14/4/2021).
Kusta ini sudah ada obatnya sehingga jika diminum secara rutin setidaknya dalam waktu 6-12 bulan, kusta bisa sembuh. (Siti Nadia Tarmizi)
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi, yaitu berkurangnya keahlian teknis khusus penyakit kusta. Keahlian ini terutama untuk mendukung target tiga zero, yakni zero (tidak ada) penularan atau transmisi, zero disabilitas, dan zero ekslusi.
Hal ini dapat dilihat dari keberadaan tenaga kesehatan di puskesmas. Ketika ada masyarakat yang menanyakan terkait penyakit kusta, tenaga kesehatan yang paham akan penyakit tersebut sangat kurang. Itu tidak hanya mengenai masalah medis, melainkan juga nonmedis seperti diskriminasi dan eksklusi dari pasien kusta.
Karena itu, Asken menambahkan, upaya penyuluhan dan edukasi terkait penularan kusta harus dilakukan lebih sistematis. Sosialisasi tidak bisa lagi dilakukan hanya setahun sekali menjelang peringatan Hari Kusta Sedunia, melainkan perlu dilaksanakan secara rutin sepanjang tahun.
”Kami (NLR) akan menyiapkan modul-modul yang berisi materi edukasi mengenai kusta secara menyeluruh dari A sampai Z. Materi dalam modul ini akan disampaikan secara bertahap dan terencana melalui berbagai media selama satu tahun penuh setiap satu bulan sekali,” ujarnya.
Pemanfaatan media sosial juga akan lebih ditingkatkan. Menurut Asken, media sosial efektif untuk mengubah pemahaman dan perilaku publik mengenai banyak hal, termasuk penularan kusta. Diharapkan, media sosial dapat membantu memperluas edukasi kepada masyarakat dalam pemberantasan, pencegahan, dan pengendalian kusta.
Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan kuman Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lainnya selain otak. Penularannya terjadi melalui pernapasan dari penderita kusta yang tidak diobati kepada orang lain yang melakukan kontak dalam jangka waktu lama.
Penasihat Teknis untuk Penanggulangan Kusta NLR Indonesia, Christina Widaningrum, menyampaikan, tidak semua orang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit ini hanya menular pada orang yang mempunyai daya tahan tubuh yang rendah terhadap kuman penyebab kusta.
”Penularan kusta hanya terjadi dari penderita kusta tipe basah yang belum diobati sehingga kemungkinan anggota keluarga tertular jika penderita tidak berobat. Karena itu, seluruh anggota yang memiliki keluarga dengan kusta harus diperiksa,” ucapnya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 13 Januari 2021, masih ada tujuh provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sementara kasus baru penularan kusta di Indonesia tercatat ada 9.061 kasus dengan proporsi kasus baru pada anak mencapai 9,14 persen.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Keshatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, proporsi kasus baru pada anak yang mencapai 9,14 persen perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Pasalnya, kasus baru pada anak yang masih di atas 5 persen menandakan penularan kusta masih terjadi di tingkat rumah tangga. Hal ini semakin diperkuat dengan kondisi pandemi yang memaksa anak lebih banyak berada di rumah akibat penerapan pembelajaran jarak jauh.
”Upaya deteksi dini harus lebih digalakkan lagi. Stigma dan diskriminasi perlu dihilangkan agar deteksi bisa lebih cepat dan pengobatan pun bisa segera diberikan. Kusta ini sudah ada obatnya sehingga jika diminum secara rutin setidaknya dalam waktu 6-12 bulan, kusta bisa sembuh,” tuturnya.
Selain untuk mencegah terjadinya perburukan pada pasien, pengobatan pada pasien kusta juga penting untuk memutus penularan pada orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, pengobatan pada kusta harus dilakukan sampai tuntas. Pemerintah kini sudah menyediakan program pelayanan pengobatan bagi pasien kusta sehingga lebih mudah diakses oleh masyarakat.