Kerusakan Bumi Akibat Manusia Meningkat, Hukum Lingkungan Menjadi Tumpuan
UI mengukuhkan Guru Besar Hukum Lingkungan Andri Gunawan Wibisana. Dalam pidatonya, hukum berperan penting untuk menekan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hukum memiliki peran penting dalam sebuah antroposen atau aktivitas manusia yang memengaruhi ekosistem Bumi, karena merefleksikan hubungan sosial, nilai, dan kekuasaan. Adanya aturan dan proses hukum sebagai bentuk keadilan terhadap alam juga telah dianut oleh sejumlah negara di dunia.
Guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia (UI) Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana menyampaikan, istilah antroposen diperkenalkan pertama kali oleh Crutzen, peraih Nobel Kimia tahun 1995, dan koleganya Stoermer. Crutzen dan Stoermer mencatat bagaimana dalam beberapa abad terakhir manusia telah berkembang menjadi kekuatan yang mengubah Bumi.
“Mengingat peran penting manusia dalam membentuk ekologi dan geologi, Crutzen dan Stoermer memperkenalkan istilah antroposen. Perubahan iklim merupakan salah satu bukti yang tegas untuk menunjukkan bagaimana manusia telah mengubah proses alam secara luar biasa,” ujarnya saat berpidato dalam upacara pengukuhan guru besar tetap Fakultas Hukum UI di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (10/4/2021).
Dalam pidato berjudul "Antroposen dan Hukum: Hukum Lingkungan dalam Masa-masa Penuh Bahaya" tersebut, Andri menilai manusia memiliki peran yang sentral dalam antroposen karena segala hal yang diperbuat berdampak pada perubahan secara global. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya hukum dalam antroposen karena merefleksikan hubungan sosial, nilai, dan kekuasaan. Namun, adanya antroposen diyakini akan membawa banyak tantangan pada hukum lingkungan, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Andri menjelaskan, adanya penegakan dan penguatan hukum dalam setiap aktivitas manusia yang memengaruhi ekosistem Bumi tidak hanya menciptakan keadilan antar-generasi, tetapi juga spesies dan alam. Konsep keadilan seperti ini yang dipandang Andri menjadi pendorong lahirnya hak dari lingkungan hidup.
Keberadaan proses hukum sebagai bentuk keadilan terhadap alam juga telah dianut oleh sejumlah negara di dunia. Pasal 71 dan 72 Konstitusi Ekuador tahun 2008 mengakui hak alam atau pachamama. Sedangkan Pasal 73 dalam konstitusi yang sama, memuat ketentuan kewajiban negara untuk mencegah dan membatasi kegiatan yang dapat mengarah pada kepunahan spesies, kerusakan ekosistem, dan perubahan siklus secara permanen.
“Manusia tidak hanya pemilik dari Bumi ini, tetapi juga memikul tanggungjawab untuk mewariskan Bumi kepada generasi yang akan datang dalam kondisi lebih baik dari yang kita peroleh.”
Sementara itu, Bolivia menuangkan hak lingkungan di dalam the Law on the Rights of Mother Earth tahun 2010, yang di dalamnya memuat tujuh hak dari alam. Di Selandia Baru, melalui Perjanjian Whanganui, Sungai Whanganui diakui sebagai entitas hukum yang memiliki hak, kewenangan, kewajiban, dan tanggungjawab sebagai sebuah subyek hukum.
Selain pentingnya hukum bagi lingkungan, Andri juga menilai perlunya meninjau ulang makna pembangunan berkelanjutan dalam masa yang penuh bahaya dan tantangan saat ini. Agar pembangunan berkelanjutan dapat bermakna, kata Andri, konsep tersebut harus diletakkan dalam kerangka prinsip non-regresi atau larangan untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk.
“Manusia tidak hanya pemilik dari Bumi ini, tetapi juga memikul tanggungjawab untuk mewariskan Bumi kepada generasi yang akan datang dalam kondisi lebih baik dari yang kita peroleh,” ungkapnya.
Peran pengadilan
Dalam pidatonya, Andri juga menekankan dua peran penting pengadilan dalam litigasi perubahan iklim. Pertama, pengadilan dapat memutuskan sesuatu yang selama ini diabaikan oleh eksekutif. Kedua, pengadilan juga dapat berperan ketika mereka yang menjadi korban dari perubahan iklim melakukan gugatan atas negara atau pihak tertentu yang dianggapnya berkontribusi pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca.
“Dalam konteks kedua itulah persoalan hukum yang sebenarnya muncul. Litigasi perubahan iklim yang meminta ganti rugi seperti ini, tort-based climate litigation, menghadapi persoalan besar dalam hal kausalitas,” katanya.
Pada akhir pidatonya, Andri menarik kesimpulan pentingnya hukum dan sarjananya dalam memengaruhi kebijakan melalui meja perundingan atau pengambilan keputusan. Sarjana hukum juga dapat menjadi juru advokasi dan kampanye untuk menyampaikan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam menghadapi antroposen.
Selain Andri, Rektor UI Ari Kuncoro juga mengukuhkan lima guru besar tetap lainnya dari Fakultas Teknik serta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ari menyampaikan, saat ini guru besar tetap UI berjumlah 233 orang, guru besar emeritus 8 orang, dan guru besar dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) sebanyak 77 orang sehingga total 318 orang.