Meski hiu jenis mako kebanyakan tertangkap sebagai kegiatan samping perikanan atau ”by catch”, kejadian ini tetap perlu dikurangi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski jumlahnya tidak signifikan, hiu mako yang tertangkap saat aktivitas perikanan secara insidental tetap perlu menjadi perhatian karena dapat mengancam kelestarian spesies ikan tersebut. Sebab, hiu mako telah masuk ke dalam daftar spesies yang terancam dan diatur perdagangannya.
Peneliti Loka Riset Perikanan Tuna (LRPT), Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Arief Wujdi, mengemukakan, terdapat 12 spesies hiu yang berpotensi tertangkap di perairan Indonesia masuk dalam daftar fauna yang diatur dalam Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah (CITES). Hal ini membuat penangkapan dan perdagangan spesies tersebut perlu diatur.
”Terbaru, dua spesies, yakni hiu mako sirip panjang dan sirip pendek, juga telah masuk ke dalam daftar tersebut. Jenis-jenis hiu tersebut telah dikaji status stoknya oleh RFMO (Organisasi Pengelolaan Perikanan Daerah) sehingga diterbitkan beberapa resolusi,” ujarnya dalam acara Simposium Hiu dan Pari hari ke-2 secara daring, Kamis (8/4/2021).
Hiu mako yang tertangkap juga didominasi ukuran juvenil atau remaja dengan estimasi umur kurang dari satu tahun.
Menurut Arief, hiu kerap ikut terbawa saat nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan tuna. Namun, mayoritas penangkapan hiu ini hanya bersifat insidental atau waktu tertentu. Hal ini terjadi karena terdapat kesamaan habitat antara tuna dan beberapa jenis hiu.
Meski demikian, penangkapan hiu secara insidental ini tetap menyebabkan kekhawatiran bagi para pemerhati lingkungan dan satwa karena dapat mengancam kelestarian spesies ikan tersebut. Di sisi lain, hiu juga merupakan predator utama di ekosistem laut sehingga berkurangnya populasi akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.
Hasil penelitian LPRT sepanjang 2015-2019 menunjukkan terdapat 51 individu hiu mako bersirip pendek yang tertangkap dalam kurun waktu tersebut. Panjang cagak hiu tersebut berkisar 50-211 sentimeter dengan bobot 1-93 kilogram.
Selain itu, hiu mako yang tertangkap juga didominasi ukuran juvenil atau remaja dengan estimasi umur kurang dari satu tahun. Sementara dari lokasinya, hiu mako banyak tertangkap di perairan tropis dan subtropis.
Penelitian ini dilakukan melalui observasi ilmiah pada kapal penangkap ikan rawai tuna. Observasi berbasis di empat pelabuhan, yakni di Jakarta (DKI Jakarta), Cilacap (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Badung (Bali).
”Secara spasial, kelimpahan hiu relatif tinggi di area pantai dibandingkan laut lepas. Ini selaras dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Groeneveld di Samudra Hindia bagian barat yang menemukan kelimpahan hiu di area pantai karena banyaknya ketersediaan ikan kecil sebagai makanan hiu,” tutur Arief.
Ia berharap, penelitian yang dilakukan LPRT dapat membantu semua pihak terkait dalam menjaga kelestarian hiu mako yang telah masuk dalam CITES. Hal ini perlu menjadi perhatian karena Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang di dalamnya mencakup pelestarian ekosistem bawah air.
Kyra Bestari Wicaksono dari Yayasan Misool Baseftin mengatakan, penegakan hukum yang efektif di wilayah yang dilindungi dan kontribusi masyarakat setempat akan menghasilkan pengelolaan kawasan konservasi yang baik. Hal ini sekaligus akan menjaga kelimpahan hiu dan pari lebih tinggi di area tanpa aktivitas penangkapan (no-take zone/NTZ).
Berdasarkan kajian yang dilakukan Misool Baseftin di suaka alam hiu dan pari di Raja Ampat, Papua Barat, dua jenis ikan ini yang terdapat di NTZ memiliki kelimpahan 13,5 kali atau 10 kali lebih besar dibandingkan di dalam area terbuka (open access zone). Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring secara berkala di titik-titik pemanfaatan tinggi dalam NTZ guna menjalankan kegiatan pariwisata berkelanjutan bagi keberadaan hiu dan pari.