Riset Habitat Asuhan Hiu dan Pari Perlu Ditingkatkan
Keberadaan hiu dan pari terancam punah. Karena itu, riset mengenai habitat asuhan mereka perlu diperkuat untuk menentukan ekosistem yang membuat satwa tersebut bisa berkembang biak.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset terkait dengan habitat asuhan hiu dan pari perlu terus ditingkatkan untuk menentukan ekosistem yang memberikan kesempatan hiu dan pari dapat tumbuh dan berkembang. Hasil riset juga dapat dijadikan sebagai dasar penetapan perlindungan suatu wilayah perairan tersebut.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Syarief Widjaja mengemukakan, KKP memiliki proyeksi target riset 2021-2025, antara lain, terkait dengan habitat asuhan hiu dan pari, kajian jenis spesifik, dan kajian genetik. Saat ini KKP juga telah melakukan riset yang lebih mendalam di perairan Teluk Lampung terkait dengan penangkapan hiu dan pari berusia remaja atau juvenil.
Hasil riset tersebut menunjukkan tangkapan hiu dan pari juvenil pada perikanan artisanal relatif tinggi. Hasil riset juga menjadi dasar KKP dalam melakukan kajian untuk mendeskripsikan daerah yang menjadi habitat asuhan hiu pari di wilayah perairan tersebut.
”Saya ingin mengajak mitra-mitra lain untuk melakukan riset seperti ini sehingga kita bisa membantu pemulihan stok ikan-ikan jenis tertentu ini terjadi dengan cepat karena telah diketahui perilakunya. Saya juga ingin mengajak agar kita mulai mengembangkan konsep fisheries behaviour (perilaku perikanan),” ujarnya dalam Simposium Hiu dan Pari di Indonesia ke-3 yang diselenggarakan secara daring, Rabu (7/4/2021).
Syarief menjelaskan, jumlah biodiversitas hiu dan pari di dunia tercatat sebanyak 531 jenis, dan 245 jenis di antaranya berada di Indo Pasifik. Sementara data terakhir mencatat, 118 jenis hiu dan pari hidup di perairan Indonesia.
Saat ini setidaknya ada lima spesies hiu endemik di Indonesia, yakni Squalus hemipinnis, Apristurus sibogae, Squatina legnota, Atelomycterus baliensis, dan Mustelus widodoi. Mayoritas spesies tersebut berhabitat di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusatenggara, Laut Sawu dan Laut Timor.
”Setiap kami menemukan suatu komunitas baru, kami terus berusaha untuk mencoba identifikasi barangkali ada salah satu jenis hiu dan pari yang baru ditemukan. Jadi, prosesnya masih terus berlangsung, tetapi sementara ini yang diidentifikasi baru 118 jenis,” ujarnya.
Sama halnya dengan spesies ikan lainnya, kata Sraief, hiu dan pari juga memiliki ancaman yang dapat menyebabkan kepunahan. Ancaman itu, antara lain, adalah proses penangkapan yang tidak lestari, penurunan populasi, kerusakan habitat, dan pengembangan pariwisata yang tidak bertanggung jawab. Dari faktor internal, hiu dan pari terancam punah karena kemampuan reproduksi rendah dan minimnya frekuensi melahirkan.
Menurut Syarief, perlindungan sumber daya hiu dan pari saat ini dibagi menjadi empat pola. Hal ini dilakukan sesuai dengan ketentuan perlindungan dari status daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN), Konvensi Perdagangan Internasional untuk Perdagangan Flora dan Fauna yang Terancam Punah (CITES), peraturan atau keputusan menteri kelautan dan perikanan, serta rencana aksi nasional.
Setiap kami menemukan suatu komunitas baru, kami terus berusaha untuk mencoba identifikasi barangkali ada salah satu jenis hiu dan pari yang baru ditemukan.
Peneliti senior Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fahmi mengatakan, jumlah publikasi ilmiah terkait hiu dan pari di Indonesia sepanjang 2003-2010 masih minim. Namun, sejak 2010-2021 terdapat peningkatan yang cukup signifikan, terutama setelah diadakan simposium hiu dan pari pertama pada 2015.
”Hal yang perlu diperhatikan dalam riset hiu dan pari Indonesia untuk tujuan sains ialah diperlukan kualitas data dan analisis yang akurat. Sementara untuk tujuan diseminasi, perlu akurasi dalam penyampaian informasi yang didasari bukti dan referensi pendukung serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ucapnya.
Hasilkan rekomendasi
CEO Yayasan World Wide Fund (WWF) Indonesia Dicky Simorangkir mengatakan, simposium hiu dan pari ketiga ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat meningkatkan upaya pengelolaan dan konservasi. Sebab, data terbaru menunjukkan lebih dari 300 jenis hiu dan pari masuk dalam daftar merah IUCN.
”Banyak sekali tantangan yang masih perlu dihadapi dalam perlindungan hiu dan pari dengan suatu rencana aksi konservasi yang efektif. Hal ini sangat sulit, terutama disebabkan masih kurangnya data yang akurat dan komprehensif mengenai hiu dan pari di perairan kita. Selain itu, masih perlu banyak dikembangkan, termasuk sistem pelacak,” tuturnya.
Simposium hiu dan pari sebelumnya pernah diselenggarakan pada 2015 dan 2018. Pada simposium pertama, para pihak menyepakati untuk melakukan pendataan kedua jenis satwa laut ini guna mengetahui status populasinya. Pendataan juga bertujuan memperkuat sistem penelusuran untuk pasar ekspor dan domestik serta menyusun dan menyempurnakan regulasi terkait dengan hiu ataupun pari yang terancam punah.
Sementara dalam simposium hiu dan pari kedua, sejumlah rekomendasi yang dihasilkan, antara lain, ialah perlunya pengembangan penelitian terkait dengan sosial ekonomi hingga data perikanan untuk spesies di bagian barat Indonesia. Rekomendasi tersebut kemudian menjadi landasan atau referensi berbagai aksi multipihak yang melibatkan pengelola, akademisi, aktivis, dan pemerintah.