Vaksin Sinopharm dan Sinovac Tidak Efektif terhadap Varian B.1.351
Studi terbaru menunjukkan efektivitas vaksin Covid-19 buatan Sinopharm dan Sinovac, China, terhadap varian baru SARS-CoV-2 menurun. Situasi itu perlu diantisipasi agar pandemi bisa terkendali.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Studi di laboratorium menunjukkan, vaksin Covid-19 buatan Sinopharm dan Sinovac menurun efektivitasnya saat menghadapi varian B.1.1.7 dari Inggris. Kedua vaksin semakin tidak efektif menghadapi varian B.1.351 dari Afrika Selatan.
Studi mengenai resistensi varian B.1.1.7 dan B.1.351 terhadap dua vaksin buatan China ini dilaporkan peneliti dari Beijing Institute of Microbiology and Epidemiology, China, Guo-Lin Wang dan tim, di New England Journal of Medicine (NEJM) pada Selasa (7/4/2021). Kajian dilakukan untuk mengukur resistensi terhadap mutasi D614G serta dua varian baru, B.1.1.7 dan B.1.351, terhadap netralisasi yang ditimbulkan oleh infeksi atau vaksinasi.
Peneliti mengevaluasi resistensi terhadap netralisasi menggunakan serum penyembuhan yang diperoleh dari 34 pasien 5 bulan setelah Covid-19 dan serum dari 50 orang setelah 2 hingga 3 minggu menerima suntikan kedua dengan vaksin Sinopharm ataupun Sinovac.
Hasilnya ditemukan, serum pemulihan, yang diperoleh selama infeksi Covid-19 secara signifikan masih efektif menetralkan mutasi D614G. Efek yang mirip juga terjadi saat menetralkan varian B.1.1 .7. Namun, secara signifikan kurang efektif dalam menetralkan varian B.1.351.
Selain itu, 9 dari 30 sampel serum yang sembuh menunjukkan kehilangan total aktivitas penetralan terhadap B.1.351. Temuan ini menunjukkan, orang yang pernah terserang Covid-19 bisa terinfeksi kembali oleh varian B.1.351.
Sementara pengujian terhadap sampel serum yang dipicu vaksin menunjukkan, 20 sampel serum kehilangan kemampuan untuk menetralkan B.1.351. ”Untuk sampel serum vaksin Coronavac, kami mengamati penurunan nyata dalam netralisasi serum B.1.1.7 dan B.1.351. Selain itu, sebagian besar sampel serum menunjukkan hilangnya netralisasi seluruhnya atau sebagian terhadap B.1.351,” tulis Wang.
Untuk sampel serum vaksin Coronavac, kami mengamati penurunan nyata dalam netralisasi serum B.1.1.7 dan B.1.351.
Berdasarkan temuan ini, Wang dan tim menyimpulkan, varian B.1.1.7 menunjukkan sedikit resistensi terhadap aktivitas penetralan serum penyembuhan atau vaksin, sedangkan B.1.351 menunjukkan lebih banyak resistensi terhadap netralisasi serum pemulihan dan serum vaksin sebesar 2,5 hingga 3,3 kali daripada virus tipe sebelumnya.
Mutasi E484K
Menanggapi kajian ini, epidemiolog Indonesia di Griifth University, Dicky Budiman, Rabu (7/4), mengatakan, kajian ini dilakukan secara in vitro atau di dalam laboratorium. ”Kajian ini menunjukkan sebagian imunitas tubuh manusia. Padahal, respons imun manusia cukup kompleks, salah satunya sel-T, yang sebenarnya juga punya peran penting. Artinya, masih ada harapan situasi in vivo atau di populasi kedua vaksin masih bisa efektif,” katanya.
Dicky mengingatkan, vaksin Sinopharm ataupun Sinovac dibuat dari virus yang telah dinonaktifkan. Sejumlah studi sebelumnya juga telah menunjukkan, vaksin dengan platform lainnya, termasuk yang berbasis messenger RNA, seperti Moderna dan Pfizer, juga kurang efektif menghadapi varian B.1.351 dari Afrika Selatan dan P.1 dari Brasil. Ini misalnya dijelaskan dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Medicine pada 4 Maret 2021.
Dicky menambahkan, survei molekuler di Inggris juga telah menemukan ada sebagian varian B.1.1.7 yang juga membawa mutasi E484K. ”Keberadaan mutasi E484K ini menjadi penyebab virus ini menyiasati antibodi, termasuk yang dipicu vaksin dan menurunkan imunitas. Setiap varian yang membawa mutasi E484K ini memang harus diwaspadai lebih lanjut,” tuturnya.
Studi Ravindra Gupta dari Universitas Cambridge pada Februari 2021, misalnya, menemukan, kombinasi B.1.1.7 plus E484K lebih menular dan mematikan, serta bisa menghindari antibodi dari vaksin. Varian B.1.351 dan P.1 masing-masing juga membawa mutasi E484K ini, selain sejumlah mutasi lain.
Padahal, menurut peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics, Riza Arief Putranto, mutasi E484K ditemukan secara simultan di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Mutasi E484K yang bisa menyiasati antibodi ini dianggap sebagai bentuk adaptasi evolutif virus SARS-CoV-2. ”E484K yang ditemukan di Indonesia merupakan hasil dari mutasi lokal,” ucapnya.
Laporan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 menunjukkan, hingga Minggu (4/4), Indonesia telah melakukan analisis genom lengkap SARS-CoV-2 sebanyak 957 sampel dan mendaftarkannya ke bank data genom virus GISAID. Dari jumlah ini ditemukan 10 varian B.1.1.7, tiga sampel dari Jakarta, 2 dari Jawa Barat, 2 dari Sumatera Utara, 1 dari Sumatera Selatan, 1 dari Kalimantan Selatan, dan 1 dari Kalimantan Utara.
Selain itu, telah ditemukan 819 mutasi D614G, 37 mutasi 677H, 38 mutasi L18F, 181 mutasi N439K, 11 mutasi N501Y, dan 1 mutasi E484K. Untuk mutasi E484K ini sudah ditemukan sejak Februari 2021.
Dengan berbagai temuan ini, Dicky mengingatkan, vaksin tidak bisa menjadi satu-satunya strategi mengatasi pandemi Covid-19. Apalagi, tidak semua vaksin yang ada bisa dimodifikasi.
”Vaksin yang bisa dimodifikasi yang berbasis RNA dan DNA. Kalau vaksin berbasis virus yang dinonaktifkan, seperti Sinovac ini, harus membikin lagi, setidaknya prosesnya jauh lebih lama. Jadi, kita memang harus kembali pada strategi dasar pengendalian pandemi melalui penerapan protokol kesehatan, selain tes, lacak, dan isolasi. Vaksin melengkapi saja,” tuturnya.