Mitigasi Berbasis Ekosistem Jadi Strategi Utama Hadapi Potensi Bencana
Saat menerima anugerah doktor kehormatan dari IPB University, Doni Monardo mengungkapkan arti penting vegetasi dalam memitigasi bencana di Indonesia. Di tempat tertentu, tumbuhan ini bisa memberi manfaat pada masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara rawan bencana, Indonesia harus memiliki upaya pencegahan dan mitigasi yang kuat. Keberagaman jenis vegetasi yang ada di Tanah Air dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mengurangi risiko bencana. Karena itu, mitigasi bencana berbasis ekosistem perlu didorong sebagai strategi utama yang dijalankan.
Hal itu disampaikan Letnan Jenderal TNI Doni Monardo dalam orasi ilmiah berjudul ”Model Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan” di IPB University di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/3/2021). Doni kemudian menerima anugerah doktor honoris causa atau doktor kehormatan dalam bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dari IPB University.
Guru Besar Bidang Ekologi Lanskap IPB University Hadi Susilo Arifin, yang menjadi Ketua Promotor dari Doni Monardo, menyampaikan, gelar doktor kehormatan ini diberikan atas konsistensi yang telah dilakukan Doni dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di sejumlah wilayah, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu juga telah membangkitkan kepedulian lingkungan, memobilisasi sumber daya dan kolaborasi masyarakat, serta memulihkan dan merehabilitasi keanekaragaman hayati dan ekosistem lingkungan.
Bagaimana kita bisa dianggap sebagai bangsa yang beradab manakala mata air kita musnahkan dan sungai kita cemari. (Doni Monardo)
Doni mengungkapkan, Indonesia memiliki banyak jenis tanaman yang bermanfaat untuk mengurangi timbulnya risiko korban jiwa saat terjadi bencana. Sejumlah tanaman yang bisa dimanfaatkan, antara lain, sukun, alpukat, dan kopi. Tanaman tersebut dapat ditanam untuk memitigasi tanah longsor di permukaan tanah dengan kemiringan sekitar 30 derajat.
Selain itu, tanaman akar wangi juga bisa dimanfaatkan untuk permukaan tanah dengan kemiringan yang lebih curam. Pohon laban, sagu, dan aren pun bisa dimanfaatkan untuk menghindari kerusakan tanah akibat kebakaran hutan dan lahan.
”Mitigasi berbasis ekosistem harus menjadi strategi utama kita dalam menghadapi potensi bencana mengingat Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat ancaman bencana tertinggi di dunia,” ujar Doni.
Ia juga mengatakan, pohon trembesi juga memiliki manfaat yang besar untuk menjaga lingkungan hidup. Mengutip hasil penelitian dari dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Endes N Dahlan, pohon trembesi memiliki daya serap karbon dioksida yang sangat tinggi. Apabila kanopi pohon sudah mencapai 15 meter, pohon trembesi mampu menyerap sekitar 28,5 ton gas karbon dioksida. Pohon ini pun dinilai cocok untuk penghijauan di kota besar.
Oleh sebab itu, Doni pun melakukan pembibitan trembesi untuk dibagikan di berbagai tempat di Indonesia. Setidaknya, hasil pembibitan ini sudah ditanam di Bogor, Cianjur, Sukabumi, DKI Jakarta, dan Kudus. Pembibitan juga dilakukan pada jenis pohon endemik di Indonesia lainnya yang sudah mulai langka, seperti ulin, eboni, torem, rao, palaka, dan cendana.
Pendekatan masyarakat
Doni yang juga sempat menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi mengatakan, selain terkait bencana, persoalan kerusakan lingkungan juga perlu menjadi fokus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Masyarakat yang berada di sekitar lingkungan tersebut sangat berperan dalam pengelolaan tersebut.
Pada persoalan kerusakan ekosistem di Sungai Citarum, misalnya, pemulihan sungai ini bisa berhasil jika dilakukan melalui pendekatan masyarakat. Hal itu menyangkut isu sosial, budaya, serta ekonomi. Ekosistem Sungai Citarum yang telah rusak diketahui mengandung logam berat, seperti timbal, serta bakteri salmonella dan bakter E Coli.
”Jika mau membenahi Citarum, yang pertama dilakukan adalah mendekati masyarakat untuk mengubah perilaku. Para prajurit TNI pun saya minta untuk menginap di rumah penduduk untuk perlahan mengembalikan budaya luhur urang Sunda yang peduli sumber air. Air adalah sumber kehidupan, sungai adalah peradaban bangsa. Bagaimana kita bisa dianggap sebagai bangsa yang beradab manakala mata air kita musnahkan dan sungai kita cemari.”
Rektor IPB University Arif Satria menyampaikan, sebagai negara dengan megabiodiversitas, Indonesia harus lebih dipacu untuk meningkatkan kemandirian obat-obatan dan kedaulatan kesehatan. Dari 40.000 jenis flora yang ada di dunia, sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia. Sebanyak 940 jenis diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah digunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun.
Hal itu menjadi fakta agar Indonesia bisa mengelola alam dan lingkungan hidup secara maksimal untuk mewujudkan kedaulatan pangan, energi, serta kesehatan. Sumber daya alam dan lingkungan pun memiliki peran yang besar dalam proses perdamaian bangsa. Proses kepemimpinan yang baik dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dinilai mampu meredakan konflik.
Proses kepemimpinan itu antara lain dengan memobilisasi sumber daya dengan membangun kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, LSM, masyarakat, dan industri. Pemulihan keanekaragaman hayati, spesies, serta ekosistem juga perlu dilakukan diiringi dengan peningkataan penegakan hukum, dan advokasi kebijakan.
”Itu semua bisa dilakukan jika kita memperkuat environmental leadership atau kepemimpinan lingkungan. Kepemimpinan ini adalah sebuah konsep yang sangat penting dalam upaya mewujudkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan,” kata Arif.