Kebijakan dan Penegakan Hukum Picu Penurunan Deforestasi
Pemerintah diminta menjaga konsistensi penurunan deforestasi dengan kebijakan pendukung dan penegakan hukum yang lebih kuat. Terlebih, keberadaan UU Cipta Kerja agar tak malah menyebabkan deforestasi tinggi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan yang bisa mengerem deforestasi dan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi faktor yang menyebabkan penurunan deforestasi selama 2016-2018. Pemerintah perlu menjaga momentum ini dengan mempertahankan kebijakan perlindungan hutan dan mendorong penegakan hukum yang lebih memberikan efek jera bagi pelanggar.
Hal tersebut terangkum dalam hasil studi yang dilakukan Kemitraan Indonesia terkait faktor-faktor penjelas penurunan deforestasi periode 2016-2018. Studi dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif ataupun korelasi secara kuantitatif terhadap faktor-faktor penjelas tersebut. Studi ini juga membandingkan deforestasi yang diperoleh dari Universitas Maryland, Amerika Serikat, dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Peneliti Kemitraan Heri Sulistio mengemukakan, secara umum faktor-faktor yang menjelaskan penurunan deforestasi periode 2016-2018 yakni adanya kebijakan penghambat deforestasi. Kebijakan yang telah dikeluarkan ini dinilai kian efektif mengurangi deforestasi saat dikolaborasikan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Deforestasi yang terus turun saat ini terjadi merupakan imbas penerapan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
”Tonggak kebijakan yang memengaruhi penurunan deforestasi yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Substansi PP ini banyak diacu oleh kebijakan lain karena menerapkan kerangka pengaturan pengelolaan kehutanan berbasis UU No 23/2014,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Deforestasi di Indonesia: Kondisi dan Penyebabnya”, Jumat (26/3/2021).
Selain faktor kebijakan, faktor lainnya yang juga memengaruhi penurunan deforestasi ini antara lain penegakan hukum sektor kehutanan yang memberikan efek jera. Ada pula faktor kian efektifnya pengelolaan kebakaran hutan dan masalah tenurial, serta meningkatnya faktor sosial dan ekonomi politik.
Meski demikian, kata Heri, dari pembuatan kurva kuznet, tren deforestasi di Indonesia berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dengan jangka waktu perkembangan selama enam tahun. Sebagai contoh, peningkatan deforestasi pada periode 2000-2006 telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada 2006-2012.
”Perekonomian saat ini masih berbasis pada sektor lahan dan belum punya alternatif lain yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga masih mendorong deforestasi di Kalimantan. Situasi yang sama juga terjadi di Papua, namun di Papua Barat ada basis sektor industri alternatif yang cukup tinggi seperti semen dan industri pengolahan lain,” katanya.
Heri menegaskan, pemerintah perlu menjaga momentum penurunan deforestasi ini dengan mempertahankan kebijakan perlindungan berbasis pengelolaan hutan, mendorong penegakan hukum, dan memastikan tata kelola tenurial secara lebih luas. Kebijakan ini juga perlu dipastikan konsistensinya seiring terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
Belum dapat terealisasi
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Dodik Ridho Nurrochmat memandang bahwa upaya nol deforestasi belum dapat terealisasi dalam waktu dekat. Sebab, alokasi lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masih tinggi di tengah kondisi lahan pertanian yang hanya mencakup 21 persen. Kondisi ini tidak dipungkiri berpotensi membuat pembukaan lahan dari kawasan hutan akan semakin tinggi.
Ia pun mendorong agar pemerintah dapat mengelola hutan berbasis fungsi pokok dan tidak berbasis status serta dikelola sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW). Kemudian, deforestasi dapat dikurangi dengan meningkatkan nilai ekonomi riil hutan sehingga lebih kompetitif dan bersinergi dengan sektor lain melalui integrasi multiusaha kehutanan.
”Hal yang sangat penting juga adanya kesepakatan nasional berapa luas tutupan hutan yang perlu dipertahankan sesuai dengan karakteristik, daya dukung, dan daya tampung. Good governance juga perlu terus didorong karena adanya keterkaitan politik dengan deforestasi,” ungkapnya.
Dihubungi secara terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, KLHK saat ini telah melakukan sejumlah upaya penegakan seperti penanganan pengaduan, pengawasan perusahaan dan izin, pemberian sanksi administrasi, penerapan pidana, hingga penyelesaian sengketa.
Ke depan, KLHK juga akan memperkuat operasi pengamanan, pembalakan liar, pemulihan, serta tumbuhan dan satwa liar (TSL). Dari data Ditjen Penegakan Hukum KLHK, saat ini 278 operasi telah dilakukan yang terdiri dari 122 operasi pembalakan liar, 88 operasi pemulihan, dan 68 operasi TSL.
Sebelumnya, Ruandha juga menyatakan deforestasi yang terus turun saat ini terjadi merupakan imbas penerapan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Selain itu, deforestasi juga turun signifikan karena KLHK terus mengendalikan kebakaran hutan lahan, kerusakan gambut, dan meningkatkan pengelolaan hutan lestari.