BMKG memperkirakan musim kemarau 2021 secara umum bersifat basah. Namun, di beberapa wilayah akan lebih kering sehingga tetap ada risiko kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan kebakaran agar terus ditingkatkan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Musim kemarau tahun 2021 di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kemunduran dibandingkan dengan rata-rata tahunannya. Selain itu, sebagian besar akan mengalami musim kemarau yang lebih basah. Meski demikian, ada sebagian kecil daerah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, yang bakal lebih kering dari biasanya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam keterangan pers secara daring, Kamis (25/3/2021), mengatakan, sebanyak 57,6 persen atau 197 zona musim di Indonesia lebih mundur musim kemaraunya dibandingkan dengan rata-rata 30 tahun. Hanya 14 persen atau 40 zona musim yang lebih awal masuk musim kemarau dan 28,4 persen atau 97 zona musim yang sama dengan rata-rata.
Menurut Dwikorita, musim kemarau rata-rata akan dimulai pada bulan Mei dan puncaknya pada Agustus. Selama April-Mei, hujan masih bisa terjadi atau dikenal masa pancaroba, yang berpeluang terjadi angin kencang, puting beliung, bahkan juga potensi hujan es. ”Ada 67,3 persen atau 230 zona musim yang mengalami puncak musim kemarau pada bulan Agustus,” ujarnya.
Tahun ini memang tidak sekering tahun lalu, tetapi ancaman bencana kebakaran masih ada. (Herizal)
Deputi Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, untuk seminggu ke depan, hujan sudah berkurang di Bali-Nusa Tenggara Timur. ”Kondisi cuaca masih didominasi hujan ringan, mulai dari Sumatera bagian utara, sebagian Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi bagian utara sampai Maluku,” ujarnya.
Namun, sebagian daerah juga masih berpotensi mengalami hujan lebat, termasuk di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. ”Seminggu ke depan masih dalam kategori musim hujan. Prakiraan musim kemarau akan aktif di bulan Mei dan itu tidak seragam,” ujarnya.
Dwikorita mengatakan, sifat hujan selama musim kemarau tahun ini cenderung lebih basah. Intensitas hujan di sebagian besar wilayah diprakirakan di atas normal, yaitu 34,8 persen.
Jadi, meskipun kemarau, wilayah ini masih ada hujan. Sebanyak 53,2 persen atau 182 zona musim sifat hujannya normal dan 12 persen atau 41 zona musim di bawah normal atau lebih kering dari rata-ratanya.
Kebakaran hutan
Menurut Dwikorita, daerah yang bakal lebih kering ini, di antaranya Riau bagian utara, sebagian kecil Sumatera Barat, Bengkulu, sebagian Sumatera Utara, Jambi, dan sebagian Kalimantan. Selain itu, fenomena ini juga bakal dialami Jawa Barat bagian tengah dan sebagian Jawa Timur.
”Lebih kering artinya risiko kebakaran hutan dan lahan lebih tinggi sehingga harus diwaspadai,” ujarnya.
Deputi Bidang Iklim BMKG Herizal mengatakan, berdasarkan peta kerentanan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2021, ada sejumlah daerah yang perlu waspada. ”Ada potensi kebakaran hutan di bulan Mei di Riau bagian utara. Kemudian di Juni meluas sampai Jambi, dengan kategori menengah. Juli berkembang di Kalimantan Barat dan Tengah, dan juga Nusa Tenggara Barat. Bulan Agustus meluas risikonya hingga Nusa Tenggara Timur dan Papua,” tuturnya.
Menurut Herizal, sejak beberapa tahun terakhir, Papua menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan sehingga harus lebih waspada. ”Untuk bulan September, potensi kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi berkurang, tetapi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masih rentan, termasuk juga NTT dan Papua bagian selatan,” tuturnya.
”Tahun ini memang tidak sekering tahun lalu, tetapi ancaman bencana kebakaran masih ada,” ujarnya.
La Nina
Herizal menjelaskan, karakter musim kemarau kali ini yang lebih basah dipengaruhi oleh La Nina yang terbentuk sejak 2020. Pantauan hingga 10 hari kedua di bulan Maret 2021, suhu Samudra Pasifik Tengah sampai Pasifik Barat masih lebih dingin. Sementara itu, berdasarkan pengamatan dan pemodelan sampai enam bulan ke depan, suhu permukaan laut di Indonesia lebih hangat dari biasanya. ”Ini indikator La Nina belum pergi,” tuturnya.
Menurut Herizal, sebagian besar lembaga meteorologi di sejumlah negara meramalkan bahwa La Nina akan menjadi netral di pertengahan tahun 2021. ”Namun, NASA dan NOAA memprediksi di akhir tahun berpeluang terjadi La Nina lagi. Jadi, sepanjang tahun ini laut kita kemungkinan lebih hangat dari biasanya sehingga memicu lebih banyak hujan di wilayah Indonesia atau lebih basah,” tuturnya.
Herizal juga mengingatkan, Indonesia memiliki variabilitas zona musim sehingga walaupun mayoritas memasuki musim kemarau, ada juga wilayah yang berpotensi hujan ekstrem dan banjir, atau sebaliknya.