Pembangunan Perlu Disesuaikan dengan Kebudayaan Masyarakat
Dasar pembangunan ekonomi perlu kembali didudukkan pada dasar, yaitu keberlanjutan lingkungan, ilmu pengetahuan, dan disesuaikan dengan nilai atau kebudayaan masyarakat Indonesia. Budaya Indonesia memegang hal itu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan ekonomi di sejumlah negara, tak terkecuali di Indonesia, saat ini dinilai hanya mengedepankan pertumbuhan produk domestik bruto dan mengabaikan aspek lingkungan. Praktik pembangunan ekonomi saat ini perlu kembali ke konsep yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan, ilmu pengetahuan, dan disesuaikan dengan nilai atau kebudayaan masyarakat Indonesia.
Hal tersebut mengemuka dalam acara bedah laporan ”The Economic of Biodiversity: The Dasgupta Review” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (25/3/2021). Laporan itu ditulis oleh Sir Partha Dasgupta yang merupakan guru besar emeritus ekonomi dari University of Cambridge, Inggris. Secara garis besar, laporan tersebut merangkum tentang kaitan kondisi biodiversitas sebagai aset dengan pembangunan ekonomi saat ini.
Pendiri Yayasan Keanekaragaman Hayati sekaligus anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Emil Salim, mengemukakan, sesuatu yang digugat oleh Dasgupta saat ini adalah tidak terwujudnya pembangunan berkelanjutan sesuai dengan konsep awal. Bahkan, keanekaragaman hayati juga mengalami pemusnahan akibat pembangunan ekonomi.
Kita memiliki begitu banyak masyarakat adat dan pengetahuan lokal yang luar biasa tentang hubungan manusia dan alam yang mengakar kuat. (Damayanti Buchori)
”Praktik di Tanah Air sendiri bisa kita saksikan bahwa kekayaan hutan tropis, sumber daya alam hayati, termasuk kekayaan ikan, terbukti tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsa kita. Bahkan, nelayan dan petani kita tergolong miskin,” ujarnya.
Menurut Emil, konsep kehidupan yang sejalan dengan alam sebenarnya telah diterapkan masyarakat Indonesia sejak dulu, seperti aturan sasi di sejumlah wilayah di Indonesia bagian timur. Sasi adalah tradisi dan kesepakatan masyarakat yang mengatur tata cara penangkapan hingga pengelolaan perikanan. Sejumlah penelitian mengungkapkan penerapan sasi yang dianggap sebagai upaya konservasi ini dapat memulihkan stok biota laut.
Meski demikian, Emil memandang bahwa pembangunan ekonomi yang dijalankan di dunia saat ini hanya bertumpu pada aspek biaya dan keuntungan (cost and benefit). Padahal, konsep pembangunan tersebut tidak sejalan dengan budaya di Indonesia. Oleh karena itu, ia pun mendorong agar konsep tersebut tidak ditolak, tetapi disesuaikan dengan nilai dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
”Laporan Dasgupta juga ingin mengatakan bahwa mulailah dengan pembangunan ekonomi, tetapi jangan sampai merusak lingkungan alam dan keanekaragaman hayati. Jadi, pesan Dasgupta adalah agar ekonomi kembali ke asal-usul semua bahwa ia mengelola sumber daya alam, tetapi tidak melepaskan diri dari ekosistemnya,” ungkapnya.
Direktur Pusat Ilmu Transdisiplin dan Berkelanjutan (CTSS) IPB University Damayanti Buchori mengatakan, dalam laporannya, Dasgupta memberikan solusi untuk membenahi permasalahan lingkungan saat ini dengan melakukan transformasi institusi dan sistem. Namun, ia memandang Dasgupta belum mengangkat permasalahan utama karena pada akhirnya solusi yang ditawarkan juga masih pada sebatas sektor ekonomi.
Sementara menurut Damayanti, sektor ekonomi sudah tidak dapat menjadi solusi di tengah kerusakan lingkungan yang kian tak terkendali. Ia menilai, upaya pembenahan yang dilakukan saat ini dapat dilakukan melalui revolusi saintifik atau memutuskan segala sesuatu dengan pendekatan ilmu pengetahuan.
”Permasalahan sekarang adalah sistem pengetahuan kita sudah terkooptasi dengan sains modern. Kita memiliki begitu banyak masyarakat adat dan pengetahuan lokal yang luar biasa tentang hubungan manusia dan alam yang mengakar kuat. Jadi, perlu mengawinkan antara kearifan Timur dan sains Barat,” katanya.