Limbah Plastik di Medan, Ujian Perwujudan Konvensi Basel di Indonesia
Implementasi amendemen Konvensi Basel yang berlaku 1 Januari 2021 diuji di Indonesia. Di Belawan, Medan, tiga kontainer berisi limbah plastik dari Amerika Serikat didaratkan. Padahal, AS tak meratifikasi Konvensi Basel.
Oleh
PRADIPTA PANDU/NIKSON SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amendemen Konvensi Basel tentang pengendalian perdagangan sampah plastik yang mulai berlaku penuh pada 1 Januari 2021 perlu segera diimplementasikan Indonesia. Ini agar Indonesia tidak menjadi tempat ”pembuangan” limbah plastik dari negara lain secara mudah, terutama dari negara bukan peserta perjanjian internasional tersebut.
Hal itu terkait pengiriman tiga kontainer berisi limbah plastik dari Amerika Serikat di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, pekan lalu. Meski material industri daur ulang itu dinyatakan bersih dan berizin, sumber limbah ini dari AS, satu dari sejumlah negara di dunia yang tidak ikut atau belum meratifikasi Konvensi Basel.
Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati menyampaikan, dengan aturan amendemen Konvensi Basel yang mulai berlaku sejak awal tahun ini, negara pihak Konvensi Basel tidak boleh berdagang dengan negara yang bukan anggota.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai anggota Konvensi Basel tidak boleh mengekspor ataupun mengimpor limbah plastik ke negara non-anggota. Sebagai informasi, Amerika Serikat bersama sejumlah negara lain belum meratifikasi dan tidak terdaftar dalam perjanjian internasional ini, seperti Timor Leste, Fiji, Haiti, San Marino, Kepulauan Solomon, dan Sudan Selatan.
”Pada 2019 Pemerintah Norwegia dan Jepang mengusulkan adanya amendemen agar perdagangan plastik masuk dalam kontrol Konvensi Basel. Waktu itu Indonesia tidak punya posisi yang tegas apakah mendukung proposal Norwegia dan Jepang atau tidak. Tetapi karena mayoritas negara-negara anggota Basel setuju, maka Indonesia jadi ikut menyetujui amendemen ini,” ujarnya di Jakarta, Rabu (24/3/2021).
Meski demikian, Yuyun memandang saat ini Indonesia belum mengadaptasi dan mengimplementasikan aturan amendemen Konvensi Basel ke dalam impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun (B3), terutama limbah scrap atau sisa plastik. Padahal, seharusnya setelah Konferensi Para Pihak (COP14) Konvensi Basel di Geneva, Swiss, pada Mei 2019, Pemerintah Indonesia segera melakukan beberapa analisis dan tinjauan peraturan agar dapat disesuaikan dengan pemberlakuan amendemen dengan perdagangan plastik.
Menurut Yuyun, upaya Kementerian Perdagangan pada 2019-2020 hanya mengubah judul peraturan, persyaratan pintu masuk dan eksportir dari negara pengirim. Selain itu, ditetapkan juga persentase kontaminan melalui surat keputusan bersama tiga menteri dan Kepala Polri. Namun, belum ada adaptasi bagaimana dan jenis plastik apa saja yang boleh masuk Indonesia sesuai keputusan amendemen Basel.
”Setelah kembali dari COP14 pada Mei 2019, seharusnya delegasi Indonesia mendiskusikan bagaimana implikasi amendemen ini. Pada 2020 saya mengikuti beberapa webinar Konvensi Basel, tetapi tampaknya tidak ada delegasi Indonesia yang memantau atau mengikuti webinar tersebut,” ujarnya.
Bea dan Cukai menyatakan impor limbah plastik itu sesuai dengan perizinan dari Kementerian Perdagangan. Barang itu pun tidak bisa ditahan karena semua perizinan lengkap.
Sementara terkait dengan kasus tiga peti kemas berisi limbah plastik LDPE (polietilena berdensitas rendah) dari California, AS, ke Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, pekan lalu, Yuyun menyatakan telah mendapat informasi perkembangan pemeriksaan tersebut dari pihak Bea dan Cukai.
Yuyun menyatakan, informasi dari pihak Bea dan Cukai menyebut bahwa mereka telah memeriksa tiga peti kemas pertama pada 16 Maret 2021 yang dikirim dari AS serta meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengecek kontaminan limbah tersebut. Informasi dari Bea dan Cukai tersebut juga menyatakan bahwa hasil pemeriksaan surat-surat izin impor hingga rekomendasi dari Kementerian Perindustrian telah memenuhi unsur kelengkapan.
Ketika dimintai tanggapan perkembangan pemeriksaan limbah plastik LDPE di Pelabuhan Belawan ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati dan jajaran direktur di bawahnya belum merespons. Pada situs Konvensi Basel, nama Rosa Vivien Ratnawati merupakan focal point Konvensi Basel di Indonesia.
Tak bisa menahan
Di Medan, Sumatera Utara, Bea dan Cukai Belawan menyatakan pemeriksaan kepabeanan terhadap tiga peti kemas berisi limbah plastik yang diimpor dari AS sudah selesai dilakukan. Bea dan Cukai menyatakan impor limbah plastik itu sesuai dengan perizinan dari Kementerian Perdagangan. Barang itu pun tidak bisa ditahan karena semua perizinan lengkap.
Kepala Pusat Layanan Informasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Belawan Donny Mulyawan, Selasa (23/3/2021), mengatakan, pihaknya sudah selesai melakukan pemeriksaan berkas perizinan dan pemeriksaan fisik terhadap tiga peti kemas berisi limbah plastik itu.
”Hasil pemeriksaan menunjukkan barang itu sesuai dengan persetujuan impor yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Kalau kami lihat sudah sesuai, kami tidak bisa menahan,” kata Donny.
Donny mengatakan, limbah plastik LDPE itu mempunyai surat persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan. Jumlah dan jenisnya juga sesuai dengan surat persetujuan tersebut. Barang tersebut juga sesuai dengan aturan tidak ada kontaminasi sampah lain lebih dari 2 persen.
Tiga peti kemas itu dikirim dari California, AS, dengan menggunakan kapal MSC Oliver hingga ke Malaysia. Dari sana, peti kemas itu diangkut menggunakan kapal pengumpan Meratus Medan 5 ke Pelabuhan Belawan, 16 Maret 2021. Limbah plastik itu digunakan sebagai bahan baku industri di Medan.