Berjuang Bersama sampai Tuntas
Kemudahan layanan dan dukungan segala pihak sangat berarti bagi kesembuhan penderita tuberkulosis. Itu bisa membantu merealisasikan mimpi Indonesia bebas tuberkulosis pada 2050.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan penanganan tuberkulosis mengalami kemunduran sampai 12 tahun. Sumber daya yang lebih banyak dialihkan untuk penanganan Covid-19 menjadi tantangan yang utama. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO memperkirakan jumlah kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis ini meningkat dari 1,4 juta kasus pada 2018 menjadi 1,8 juta kasus pada 2020.
Peningkatan itu disebabkan kasus baru yang terlambat ditemukan dan angka putus obat yang bertambah. Menjalani pengobatan tuberkulosis (TB) memang bukan hal yang mudah. Pasien diharuskan mengonsumsi obat setiap hari selama enam bulan penuh, bahkan untuk kasus TB resisten obat (RO) harus mengonsumsi obat setiap hari sampai dua tahun. Itu belum termasuk harus disuntik setiap hari pada beberapa bulan awal pengobatan.
”Rasa lelah dan capek pasti ada. Belum lagi efek samping yang harus dirasakan, mulai dari mual, terasa kebas, sampai muka saya menjadi kemerahan dan kulit menghitam. Pandemi ini juga membuat saya khawatir karena masih harus bolak-balik ke puskesmas dua kali seminggu,” kata Yus (45) dalam sambungan telepon pada Rabu (24/3/2021) di Jakarta.
Penanggulangan Covid-19 dilakukan serupa dengan surveilans dan intervensi pada TB. Itu terutama pada investigasi kasus melalui pendekatan pelacakan, pengetesan, dan perawatan (treatment).
Yus terdiagnosis menderita penyakit TB RO pada Oktober 2020. Sebelumnya, ia pernah didianosis TB pada 2015. Namun, setelah beberapa tahun pengobatan, gejala yang dialaminya sudah hilang sehingga ia memutuskan untuk berhenti minum obat meski dokter sudah menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Meski sejak 2017 tidak ada gejala yang dialami, pada 2020, gejala-gejala TB, seperti batuk, keluar keringat dingin di malam hari, dan penurunan berat badan muncul kembali.
”Ternyata benar, setelah dahak saya diperiksa, saya terdiagnosis mengalami TB RO. Mulai dari saat itu, pada dua minggu pertama saya harus datang ke rumah sakit untuk minum obat. Pada dua bulan awal juga harus disuntik setiap hari. Baru kemudian dua kali seminggu setelahnya saya cukup datang ke puskesmas untuk mengambil obat,” tutur Yus.
Meski sempat khawatir karena harus sering datang ke fasilitas layanan kesehatan selama pandemi Covid-19, baik untuk mengambil obat maupun kontrol rutin, ia tetap berusaha untuk tetap mengikuti jadwal yang ditentukan. Dukungan dari komunitas, keluarga, dan tenaga kesehatan turut berperan dalam pengobatannya.
Obat yang dibutuhkan selalu tersedia ketika ia datang ke fasilitas kesehatan. ”Pendamping dari komunitas bahkan menawarkan diri untuk mengantar obat saya ketika saya terkendala untuk datang ke puskesmas. Istri saya juga selalu mengingatkan setiap hari. Obat pun didapatkan secara gratis. Jadi, tidak ada alasan untuk saya terlambat minum obat, apalagi berhenti. Saya ingin sembuh,” tuturnya.
Baca juga: Temuan Kasus Menurun, Pelacakan TB dengan Covid-19 Perlu Terintegrasi
Penderita TB lainnya, Nikson Yapdana, warga Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/3/2021), mengatakan, dirinya tidak terkendala mendapatkan obat-obatan saat menjalani terapi selama pandemi. Ia mengaku mendapatkan obat secara gratis.
Nikson menjalani terapi untuk penyakit TB di Puskesmas Sentani Timur. Dia mengungkapkan, hanya terkendala biaya transportasi dari rumah ke Puskesmas Sentani Timur.
”Saya harus mengeluarkan untuk ojek sepeda motor dan angkutan umum Rp 30.000 untuk sekali perjalanan. Padahal, saya tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hanya menumpang di rumah keluarga,” ungkap pria berusia 48 tahun ini.
Ia berharap ada layanan terapi langsung di rumah penderita TB dengan kondisi ekonomi yang tidak mampu mengakses fasilitas transportasi secara rutin.
Baca juga: Penderita Tuberkulosis Rentan Meninggal akibat Covid-19
Kepala Puskesmas Kampung Harapan Hanover Budianto mengatakan, Nikson termasuk 52 penderita TBC yang dirawat pihaknya hingga Maret tahun ini. Hanover mengatakan, pihaknya telah menyediakan dua ruangan untuk memberikan suntikan pada penderita dan layanan obat-obatan.
”Untuk meringankan beban biaya transportasi, kami memberikan jadwal bagi warga yang menjalani pengobatan untuk mendapatkan obat sebulan sekali,” tutur Hanover.
Nana Rahman, salah satu pendamping dari komunitas Pejuang Tangguh (PETA) TB RO, menyampaikan, pandemi Covid-19 membuat gerakan bersama untuk memberantas TB semakin nyata. Berbagai inovasi dalam layanan pengobatan pun lahir.
Jika biasanya pendamping langsung memantau pasien saat minum obat, kini pemantauan cukup dilakukan dengan mengirimkan video. Karena itu, peran keluarga menjadi sangat penting sekarang ini.
Layanan kesehatan juga dituntut untuk mencari cara yang terbaik agar pengobatan bisa tetap berjalan tanpa harus membuat pasien berisiko tertular Covid-19. Itu bisa dilakukan dengan menyediakan obat di puskesmas terdekat dari tempat tinggal pasien.
Baca juga: Pendekatan Multisektoral Diperlukan untuk Atasi Tuberkulosis
”Yang jadi persoalan saat ini adalah penemuan kasus baru dari TB. Sumber daya yang sebelumnya bertugas sebagai kader TB banyak yang dialihkan dalam penanganan Covid-19. Padahal, kasus yang tidak segera dideteksi bisa memperluas penularan,” kata Nana.
Kuman penyebab TB umumnya menginfeksi paru-paru. Namun, kuman ini juga bisa menyerang organ tubuh lain, seperti selaput otak, kulit, tulang, kelenjar getah bening, tenggorokan, dan mata. Penyakit ini menular melalui udara. Sama seperti Covid-19, kuman penyebab TB keluar ketika seseorang yang terinfeksi bersin ataupun batuk.
Secara global, TB termasuk dalam satu dari 10 jenis penyakit yang banyak diderita manusia. Pada 2019 diperkirakan ada 10 juta orang yang terinfeksi penyakit ini yang terdiri dari 5,6 juta laki-laki dewasa, 3,2 juta perempuan dewasa, dan 1,2 juta usia anak. Sementara total kasus di Indonesia merupakan terbanyak ketiga setelah China dan India.
Data Kementerian Kesehatan per 1 Maret 2021 menunjukkan, estimasi kasus TB di Indonesia 845.000 kasus. Sementara kasus yang ternotifikasi baru 349.549 orang. Artinya, masih ada 495.000 orang yang belum terdeteksi sehingga berisiko menularkan ke orang lain. Adapun kasus yang terkonfirmasi TB RO sebanyak 8.060 kasus.
Ketua Dewan Pembina Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro menyampaikan, pandemi Covid-19 membuat penanggulangan TB seolah-olah bukan lagi sebagai prioritas. Padahal, penanggulangan Covid-19 dilakukan serupa dengan surveilans dan intervensi pada TB. Itu terutama pada invetigasi kasus melalui pendekatan pelacakan, pengetasan, dan perawatan (treatment). Karena itu, penyelarasan antara penanganan Covid-19 dan TB bisa diperkuat.
Baca juga: Covid-19 dan Target Indonesia Bebas Tuberkulosis 2030
Penting pula agar seluruh unsur masyarakat untuk bersinergi dalam upaya mengakhiri TB di Indonesia. Intervensi TB dan Covid-19 dinilai bisa efektif jika dipusatkan pada layanan kesehatan primer dengan dukungan tenaga kesehatan dan sukarelawan berbasis masyarakat.
”Kader, pendamping pasien, dan manajer komunitas juga tetap perlu mendukung pengobatan pasien sampai sembuh di masa pandemi. Tentu pemerintah pusat dan daerah juga harus merumuskan kebijakan agar semua tetap aman dari Covid-19,” kata Arifin.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan, penanganan TB harus dijalankan secara inklusif. Seluruh pihak harus terlibat bersama. Belajar dari pandemi Covid-19, perbaikan infrastruktur penanganan TB akan menjadi fokus yang akan mulai dijalankan. Penanganan Covid-19 akan direplikasi untuk penanganan TB. Upaya promotif dan preventif juga akan diperkuat dengan tetap mengoptimalkan layanan kuratif.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan, terdapat empat intervensi yang harus dilakukan untuk mempercepat eliminasi TB di Indonesia. Pertama, meningkatkan intensitas edukasi, komunikasi, dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai TB. Tujuannya agar masyarakat memiliki kesadaran untuk mencegah dan memeriksakan diri segera jika mengalami gejala. Pemeriksaan lanjutan untuk deteksi TB harus dilakukan pada kasus Covid-19 dengan gejala mirip TB meskipun hasil tes Covid-19 diketahui negatif.
Kedua, meningkatkan intensitas penjangkauan dalam penemuan kasus TB dan memastikan sistem pengobatan TB masuk dalam layanan kesehatan yang tersedia. Ketiga, memperkuat fasilitas kesehatan, baik puskesmas, klinik, maupun layanan kesehatan masyarakat lainnya. Penguatan tersebut disertai dengan peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam diagosis dan pengobatan. Ketersediaan obat-obatan pun harus dipastikan.
Baca juga: Melawan Stigma Negatif Penderita Tuberkulosis
Keempat, memperkuat sistem informasi dan pemantauan untuk memastikan pasien TB menjalani pengobatan sampai mencapai kesembuhan. Hal ini penting untuk memutus rantai penularan dan menghindari kemungkinan terjadi kebal atau resisten terhadap obat TB.
”Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia ini untuk memperkuat komitmen kementerian dan lembaga lain dalam eliminasi TB. Akademisi juga harus lebih aktif dan menghasilkan terobosan-terobosan inovatif untuk penyediaan alat-alat kesehatan dan pengobatan dengan harga yang lebih terjangkau. Semua pihak harus bekerja bersama agar penanggulangan tuberkulosis bisa berkelanjutan secara efektif dan efisien,” ucap Ma’ruf Amin.
Indonesia telah menargetkan eliminasi TB bisa tercapai pada 2035 dan Indonesia bisa bebas TB pada 2050. (FLO/INA)