Manusia yang awalnya menjadi bagian dari jejaring ketergantungan kehidupan di biosfer Bumi kini malah menjadi ”ancaman” bagi keberlanjutan kehidupan di Bumi. Akankah manusia menjadi penyebab kepunahan massal Bumi?
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Pekan ini Bumi merayakan hari pentingnya: Hari Hutan pada 21 Maret, Hari Air pada 22 Maret, dan Hari Meteorologi pada 23 Maret. Namun, hari-hari untuk memperingati tiga elemen dasar ini mesti dirayakan dengan keprihatinan karena ulah kita menyebabkan biosfer Bumi semakin kehilangan daya dukung untuk kehidupan.
Biosfer, dari bahasa Yunani bíos yang berarti kehidupan dan sphaira yang berarti lingkungan, merupakan lapisan dengan ketebalan sekitar 20 kilometer di bawah dan permukaan Bumi, yang menjadi satu-satunya tempat di mana kita mengetahui adanya kehidupan.
Sekalipun manusia sudah lama berupaya mencari zona kehidupan di antara triliunan planet lain di hamparan alam semesta, sejauh ini hanya Bumi yang diketahui bisa menopang hidup kita. Setelah terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun lalu, 1 miliar tahun kemudian biosfer mulai terbentuk di Bumi, dan kehidupan diperkirakan muncul sekitar sejak 2,8 miliar tahun lalu.
Kehidupan itu dimulai dari berbagai kehidupan jasad renik. Virus termasuk yang muncul di awal evolusi kehidupan dan berperan dalam kemunculan makhluk hidup multiseluler kompleks sejak sekitar 580 juta tahun lalu.
Dimulai sekitar dua abad lalu, biosfer di planet kita mengalami tekanan hebat. Tanah ditambang, hutan dibabat, air diracuni, dan udara dicemari oleh berbagai emisi gas buangan.
Tak mengherankan jika DNA virus ada di dalam genom seluruh makhluk hidup, termasuk manusia modern (Homo sapiens) yang baru muncul di biosfer sejak sekitar 250.000 lalu. Sekitar 8 persen dari genom manusia, atau sekitar 100.000 keping DNA, terdiri atas retrovirus endogen (ERV), yang merupakan kepingan gen virus yang telah menjadi bagian permanen dari garis keturunan setelah mereka menginfeksi nenek moyang kuno kita.
Didukung oleh matahari sebagai sumber utama energi, biosfer dan sistem Bumi berevolusi berdampingan dengan tindakan manusia sebagai bagian integral dari koevolusi ini. Kondisi sosial, kesehatan, budaya, demokrasi, kekuasaan, keadilan, ketidaksetaraan, masalah keamanan, dan bahkan kelangsungan hidup terjalin dengan sistem Bumi dan biosfernya dalam interaksi dan ketergantungan lokal, regional, dan global yang kompleks (Folke dan kawan-kawan dalam Ecology and Society, 2016).
Antroposen
Pada awal kemunculannya, manusia masih merupakan bagian dari jejaring ketergantungan dalam biosfer ini. Namun, sejak mampu mendomestifikasi hewan dan membudidayakan tanaman atau dikenal dengan Revolusi Pertanian, sejak 12.000 tahun lalu, manusia mulai dominan atas alam dan mengeksploitasinya demi menopang hidup mereka.
Sejak itu manusia bisa dianggap sebagai penyebab utama perubahan di biosfer, bahkan di seluruh planet ini sehingga memunculkan zaman baru yang disebut Antroposen. Namun, sebagian ahli berpendapat bahwa epos Antroposen sebenarnya baru dimulai setelah Revolusi Industri abad ke-18, ketika manusia menemukan teknologi untuk mengekstraksi alam secara masif. Apalagi, kemudian manusia mengeksploitasi alam bukan untuk bertahan hidup, melainkan untuk akumulasi kapital.
Dimulai sekitar dua abad lalu, biosfer di planet kita mengalami tekanan hebat. Tanah ditambang, hutan dibabat, air diracuni, dan udara dicemari oleh berbagai emisi gas buangan. Salah satunya, klorofluorokarbon (CFC) yang menyebabkan lapisan ozon yang melindungi biosfer berlubang.
Pemanasan global semakin melaju dengan membawa berbagai konsekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lapisan es di kutub dan gletser mencair cepat, menyebabkan kenaikan muka air laut, mengubah hidrologi, dan juga meteorologi. Cuaca ekstrem menguat dan bencana semakin mematikan.
Kombinasi perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah menyebabkan daya dukung biosfer untuk menyangga kehidupan terus berkurang. Manusia telah mendesak spesies lain ke tubir kepunahan. Penelitian Rodolfo Dirzo dalam jurnal Science (2014) menyebutkan, 322 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) punah sejak tahun 1500 dan yang tersisa menurun populasinya hingga 25 persen. Hewan tak bertulang belakang (invertebrata) sama saja: dari 67 persen jenis yang diketahui, 45 persen anjlok populasinya.
Masa depan Bumi di era Antroposen itu menjadi kegelisahan sekelompok peneliti seperti ditulis dalam laporan yang diterbitkan untuk menyambut Konfrensi Tingkat Tinggi Hadiah Nobel pertama pada April 2021. Dalam artikel yang diterbitkan di jurnal Ambio pada 14 Maret 2021, Carl Folke, ilmuwan dari Royal Swedish Academy of Sciences, Stockholm, yang menjadi penulis pertama dalam artikel ini, menyebutkan, kehancuran biosfer bukan hanya mengancam kehidupan di Bumi, melainkan juga terhadap seluruh sistem planet ini.
Menurut kajian ini, ada hubungan dinamis antara biosfer dan sistem Bumi yang lebih luas, yaitu dengan atmosfer, hidrosfer, litosfer, kriosfer, dan sistem iklim. Kehidupan di biosfer tak bisa dipisahkan dengan sirkulasi atmosfer global, pola uap air dan curah hujan, penyebaran lapisan es dan gletser, pembentukan tanah, arus global samudra, distribusi lapisan ozon, pergerakan lempeng tektonik, gempa bumi, bahkan juga letusan gunung berapi. Ini adalah interaksi adaptif yang kompleks antara organisme hidup dan sistem Bumi.
Pandemi Covid-19, tulis Folke dan timnya, telah mengekspos dunia global yang saling berhubungan dan terkait erat. Keterkaitan yang bisa jadi kekuatan bersama untuk melewati krisis, atau sebaliknya hancur secara simultan.
Kini, kita berada di persimpangan jalan, apakah akan kembali pada pola hidup sebelum pandemi yang eksploitatif dan egois, atau menjadikan momen ini sebagai pembuka kesadaran bersama untuk lebih hormat kepada Ibu Bumi, satu-satunya rumah kita.