Sistem Pangan Perlu Diintegrasikan dalam Perencanaan Kota
Penduduk di perkotaan yang akan semakin padat di masa mendatang perlu memiliki ketahanan pangan yang kuat. Perencanaan wilayah sanget perlu mempertimbangkan akan hal tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Petani memanen padi di dekat kompleks perumahan yang baru dibangun di kawasan Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (21/3/2021). Alih fungsi lahan persawahan menjadi perumahan masif terjadi di pinggiran Ibu Kota sebagai dampak meningkatkanya kebutuhan rumah tapak.
JAKARTA, KOMPAS — Perkotaan memiliki peran yang sangat strategis dalam sistem pangan mulai dari mengatur pemenuhan permintaan komoditas pangan, menanggulangi kemiskinan, hingga membangun ketahanan pangan. Oleh karena itu, perlu integrasi sistem pangan yang tepat ke dalam perencanaan kota.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pembangunan Daerah Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Mia Amalia menyampaikan, penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan pada 2045 diproyeksikan sebanyak 67,1 persen atau setara dengan 68 juta orang.
Meski demikian, menurut Mia, sampai saat ini Indonesia masih belum mendapatkan manfaat yang optimal dari proses urbanisasi tersebut. Sebaliknya, seiring peningkatan urbanisasi yang sangat pesat, angka kerentanan terhadap pangan akan kian meningkat. Hal ini juga akan memberikan tekanan terhadap sistem pangan, seperti kelaparan, kekurangan gizi, hingga obesitas.
Guna mengurangi alih fungsi lahan ini, Bappenas bahkan merencanakan strategi metode wakaf untuk lahan pertanian agar tidak terjadi konversi.
”Kebutuhan akan pangan yang berkualitas perlu diimbangi dengan ketersediaan yang memadai. Namun, pada kenyataannya yang terjadi saat ini tren penggunaan lahan untuk pertanian semakin menurun jika dilihat dari alih fungsi lahan yang semakin meningkat,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Sistem Pangan dan Perencanaan Kota: Perspektif Global dan Nasional”, Selasa (23/3/2021).
Bappenas mencatat, dalam kurun waktu enam tahun terakhir lahan pertanian terus berkurang hingga menyisakan 7,45 juta hektar pada 2019. Sementara petani yang beralih profesi ke sektor lain seperti jasa dan industri semakin meningkat proporsinya. Proporsi pekerja di sektor pertanian menurun dari 65,97 persen pada 1976 dan hanya tinggal 28 persen pada 2019.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Lahan kosong di kolong Tol Becakayu, Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, yang disulap oleh warga menjadi area pertanian seperti terlihat pada Kamis (4/1/2021).
Mia mengatakan, saat ini sudah banyak berkembang berbagai inovasi di bidang pertanian yang telah diterapkan di perkotaan seperti penggunaan ruang yang kreatif untuk bercocok tanam. Ekonomi sirkular juga telah diterapkan dalam proses produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi pangan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Meski demikian, inovasi ini dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, kata Mia, sistem pangan perlu diintegrasikan ke dalam perencanaan kota untuk memastikan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ketersediaan dan akses yang memadai terhadap komoditas pangan berkualitas.
Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas Anang Noegroho mengakui bahwa alih fungsi lahan masih menjadi persoalan utama yang dapat memengaruhi sistem pangan. Guna mengurangi alih fungsi lahan ini, Bappenas bahkan merencanakan strategi metode wakaf untuk lahan pertanian agar tidak terjadi konversi.
”Kami sudah berdiskusi dengan Kementerian Agama terkait dimungkinkannya lahan baku sawah dapat ditetapkan sebagai wakaf. Ini masih proses percobaan sebagai upaya kita untuk mendorong berkurangnya konversi lahan,” ucapnya.
Kompas/AGUS SUSANTO
Foto udara kluster hunian di tengah areal persawahan di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/7/2020). Setengah abad alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi mulai dirasakan dampaknya oleh pemerintah kabupaten dan warga di daerah itu.
Anang menjelaskan, pangan atau pertanian telah tertuang dalam Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2020. Adapun indikator pangan yang tertuang dalam laporan itu, di antaranya terkait dengan produktivitas tenaga kerja dan lahan, serta keragaman genetik. Ketiga indikator ini dapat dijadikan referensi untuk mengaitkan sistem pangan dalam perencanaan pembangunan hingga tingkat lokal.
Perencana spasial pada Direktorat Perencanaan Tata Ruang Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Tikki Mahayanti menyatakan, saat ini aspek untuk meningkatkan sistem pangan dan pertanian telah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang. Namun, alih fungsi lahan masih kerap terjadi karena minimnya kesadaran masyarakat dan pihak lain terkait keuntungan dari ketersediaan lahan untuk meningkatkan sistem pangan di masa mendatang.
”Dalam hal ini kita perlu bantuan dari Kementerian Pertanian serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam merencanakan lahan-lahan sawah yang terintegrasi dengan sistem irigasinya. Saat ini juga masih ada kendala dalam mengeluarkan sebaran dan data spasial terkait LP2B (lahan pertanian pangan berkelanjutan) dan KP2B (kawasan pertanian pangan berkelanjutan),” tuturnya.