Luas Hutan dan Gambut Dilindungi Mencapai 66,18 Juta Hektar
Revisi PIPPIB periode pertama tahun 2021 menetapkan areal dilindungi seluas 66,18 juta hektar. Ini di antaranya berasal dari pemutakhiran data perizinan maupun survei lapangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Revisi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru atau PIPPIB dari kriteria kawasan, hutan alam primer, dan lahan gambut periode pertama tahun 2021 menetapkan areal dilindungi seluas 66,18 juta hektar. Jumlah areal tersebut berkurang 95.935 hektar dari revisi PIPPIB sebelumnya.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Belinda Arunarwati Margono dalam konferensi pers secara daring, Senin (22/3/2021) menyampaikan, perubahan atau revisi PPIB memerhatikan perubahan tata ruang, masukan dari masyarakat, pembaruan data perizinan, dan hasil survei kondisi fisik lapangan.
Secara rinci, hasil revisi PIPPIB periode pertama 2021 mencatat luas untuk kriteria kawasan hutan 51,23 juta hektar (ha), lahan gambut 5,28 juta ha, dan hutan alam primer 9,65 juta ha. Sementara luas PIPPIB periode kedua 2020 untuk kriteria kawasan hutan yakni 51,25 juta ha, lahan gambut 5,31 juta ha, dan hutan alam primer 9,70 juta ha.
Pemberian izin tetap diberikan untuk pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital seperti kedaulatan pangan, panas bumi, minyak dan gas, serta ketenagalistrikan.
Pengurangan area PIPPIB terbesar terjadi karena pemutakhiran data perizinan yang mencapai 41.770 ha disusul laporan survei hutan alam primer seluas 20.220 ha. Terdapat juga pengurangan yang terjadi karena perubahan tata ruang seperti dari hutan konservasi atau hutan lindung menjadi hutan produksi sebanyak 10.985 ha.
“Terdapat juga perubahan karena laporan survei lahan gambut. Jadi peta lahan gambut yang dipakai berasal dari Kementerian Pertanian dan ini juga banyak pengecekan lapangan. Akhirnya ditemukan yang sebelumnya diduga lahan gambut ternyata setelah dicek lahan tersebut lebih banyak tekstur pasirnya,” kata Belinda.
Ia menegaskan, gubernur dan bupati/walikota harus menggunakan peta terbaru dari PIPPIB ketika akan menerbitkan rekomendasi atau penerbitan izin lokasi baru. Semua pengecualian perizinan juga harus menyampaikan laporan ke KLHK untuk memudahkan dalam proses revisi PIPPIB ke depan.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK Ruandha Agung Sugardiman menyatakan, revisi PIPPIB yang dilakukan selama enam bulan sekali dilakukan dalam rangka memperbaiki tata kelola perizinan kehutanan dan lahan gambut. Oleh karena itu, setiap izin yang masih tumpang tindih juga telah diidentifikasi untuk setiap kasus-kasus tertentu.
“Persoalan izin yang tumpang tindih dan kasus-kasus yang sudah diidentifikasi ini sudah ada datanya serta cara penyelesaiannya. Penyelesaiannya tidak bisa setiap enam bulan karena harus dilihat perkembangannya di lapangan,” ungkapnya.
Berdasarkan Instruksi Presiden (inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, KLHK diinstruksikan untuk melakukan revisi PIPPIB selama enam bulan sekali setelah berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait lainnya. Setelah itu, hasil revisi akan kembali dituangkan dalam PIPPIB.
Inpres 5/2019 ditetapkan bertujuan untuk menyelamatkan hutan alam primer dan lahan gambut yang tersisa di Indonesia. Selain itu, kebijakan yang tertuang dalam inpres juga bertujuan untuk melanjutkan upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Meski demikian, inpres tersebut juga menyatakan bahwa pemberian izin tetap diberikan untuk pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital seperti kedaulatan pangan, panas bumi, minyak dan gas, serta ketenagalistrikan. Penghentian izin juga dikecualikan bagi kegiatan restorasi ekosistem, pertahanan atau keamanan negara, jalur evakuasi korban bencana alam, proyek strategis nasional seperti infrastruktur, hingga penyiapan pusat pemerintahan atau ibukota baru.