Koalisi Iklim dan Air untuk Pembangunan Berkelanjutan
PBB meluncurkan Koalisi Air dan Iklim untuk mendorong pembuatan kebijakan terintegrasi yang lebih efektif dalam menghadapi kelangkaan air maupun bencana alam terkait hidrometeorologi.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dampak terbesar dari perubahan iklim berkaitan dengan air. Menyambut Hari Air Sedunia pada 22 Maret, Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Koalisi Air dan Iklim untuk mendorong pembuatan kebijakan terintegrasi yang lebih efektif dalam menghadapi kelangkaan air maupun bencana alam terkait hidrometeorologi.
Koalisi ini diumumkan pada acara Sidang Umum PBB tingkat tinggi pada tanggal 18 Maret 2021, untuk mempercepat kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) terkait air dan khususnya SDG 6 tentang air bersih dan sanitasi untuk semua.
Dalam pidato pembukaannya, Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Amina Mohammad meminta tiap negara untuk meningkatkan ambisi aksi iklim sebagai prioritas utama untuk mencapai tujuan dan target terkait air dari Agenda 2030. “Saya menyerukan kepada pemerintah untuk meningkatkan ambisi aksi iklim. Banjir semakin meningkat, mengancam titik-titik air dan fasilitas sanitasi, serta mencemari sumber air kita. Setiap negara seharusnya mengalokasikan minimal 50 persen dari pendanaan iklim untuk adaptasi," katanya.
Kami melihat bencana yang terus meningkat dan banyak di antaranya terkait dengan air. Jadi, dampak terbesar dari perubahan iklim berkaitan dengan air. (Petteri Taalas)
Data PBB, hingga saat ini masih ada 2,2 miliar orang yang hidup dengan keterbatasan akses ke air bersih. Situasi ini diperkirakan akan meningkat seiring perubahan iklim. Di sisi lain. bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor juga meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem.
Munir Akram, Presiden Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menekankan bahwa perubahan iklim dan perubahan terkait dalam siklus hidrologi juga akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Perubahan iklim juga bakal menyebabkan sekitar 39 persen populasi global tidak memiliki akses ke air minum yang aman dan pada tahun 2050, lebih dari 50 persen populasi diperkirakan akan menghadapi tekanan air. Selain itu, perubahan iklim mengubah pola curah hujan dan mempengaruhi ketersediaan air dan memperburuk kerusakan akibat banjir dan kekeringan di seluruh dunia.
“Kami melihat bencana yang terus meningkat dan banyak di antaranya terkait dengan air. Jadi, dampak terbesar dari perubahan iklim berkaitan dengan air,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Petteri Taalas dalam pesan video.
Taalas mengatakan, kita harus beradaptasi dengan perubahan iklim. Salah satu cara ampuh untuk beradaptasi dengan perubahan iklim adalah dengan berinvestasi dalam layanan peringatan dini serta layanan meteorologi dan hidrologi.
Mencairnya es
Dalam pertemuan ini, mencairnya lapisan es dan gletser, yang dikenal sebagai menara air dunia, menjadi isu yang mendapat pembahasan penting. Fenomena ini menyebabkan bahaya dalam jangka pendek sekaligus mengancam keamanan air bagi ratusan juta orang dalam jangka panjang.
Presiden Tajikistan, dalam Sidang Umum ini menyebutkan, "Di Tajikistan hingga abad lalu terdapat lebih dari 14.500 gletser yang mencakup 8 persen dari total wilayah negara. Saat ini, lebih dari 1.000 gletser di Tajikistan telah mencair seluruhnya dan secara total telah berkurang hampir sepertiga volumenya."
Perubahan ini, menurut dia, memiliki konsekuensi yang sangat dramatis dalam jangka menengah hingga panjang. Pada saat yang sama, perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi bencana hidrologi dan meteorologi, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor dan longsoran salju.
Presiden Hongaria János Áder menekankan perlunya memecah silo sektor air dan iklim untuk pengambilan keputusan yang terintegrasi. Áder dan Rahmon berada di panel Pemimpin Air dan Iklim yang beranggotakan 15 orang, yang mengepalai koalisi internasional yang dipelopori oleh WMO dan 10 badan PBB ini.
Koalisi ini bertujuan untuk mencapai Agenda Air dan Iklim global yang terintegrasi untuk mendukung adaptasi dan ketahanan yang lebih efektif serta mempercepat kemajuan menuju SDGs 6 tentang air dan 13 tentang iklim. Saat ini, dunia dianggap keluar jalur untuk memenuhi kedua target tersebut.
“Kita harus mempercepat dan melakukannya dengan cepat di beberapa daerah, hingga empat kali lebih cepat, jika kita ingin memenuhi komitmen SDG6 kita,” kata Gilbert F Houngbo, Presiden Air PBB dan Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian.