Komunikasi Covid-19 Belum Mempertimbangkan Kondisi Lokal
Penerapan protokol kesehatan menjadi salah satu kunci untuk mengendalikan pandemi Covid-19. Namun, langkah itu belum dilakukan secara optimal lantaran komunikasi terkait Covid-19 kurang mempertimbangkan kondisi lokal.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Selain surveilans yang kuat, penerapan protokol kesehatan menjadi kunci mengatasi pandemi. Namun, hal itu belum optimal dijalankan karena kegagalan strategi komunikasi Covid-19 di Indonesia. Komunikasi searah, terpusat, dan belum melihat kondisi spesifik di daerah menyebabkan perubahan perilaku tidak terjadi optimal.
"Pendisiplinan lewat aparat hanya salah satu cara agar masyarakat menjalankan protokol kesehatan. Kita harus mencari cara strategi komunikasi yang membuat orang patuh menjalankan protokol bukan karena takut, namun karena sadar itu penting," kata Suraya A. Affif, Koordinator Penelitian Covid-19 Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), dalam diskusi daring, Kamis (18/3/2021).
Diskusi dilakukan untuk memaparkan hasil kajian AAI bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang strategi komunikasi perubahan sosial yang efektif terkait pandemi. "Keragaman etnik dan budaya Indonesia membuat komunikasi protokol kesehatan untuk mengubah perilaku tidak bisa dilakukan secara top down," kata Suraya, dosen di Universitas Indonesia.
Kita harus mencari cara strategi komunikasi yang membuat orang patuh menjalankan protokol bukan karena takut, namun karena sadar itu penting.
Dalam kajian ini yang dilakukan pada 14 September sampai 15 Desember 2020 ini dilakukan menggunakan diskusi kelompok terfokus, wawancara mendalam, dan observasi di lima daerah, yaitu Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Bali.
"Strategi perubahan perilaku harus spesifik. Teman-teman daerah yang sebaiknya berkomunikasi dan merancang itu berdasarkan kondisi spesifik di daerah," kata Suraya.
Potensi daerah
Peneliti AAI Sumatera Utara, Fikarwin Zuska mengatakan, studi kasus di Siantar menemukan, komunikasi yang dilakukan pemerintah terkait Covid-19 cenderung searah dan tidak partisipatif. Pesan yang sampai ke masyarakat juga cenderung anonim sehingga kekurangan legitimasi. "Padahal di Siantar ada STM (Serikat Tolong Menolong) dan berdasarkan wawancara, kelompok ini mau dilibatkan," kata Fikarwin.
Serikat ini dibuat berbasis etnik, agama dan area tempat tinggal, yang menurut Fikarwin, diikuti oleh setiap anggota masyarakat di Siantar. "Seharusnya STM ini bisa dilibatkan, sampaikan masalahnya dan dampingi mereka agar bisa menyampaikan pesan tentang protokol kesehatan ke warganya," kata dia.
Peneliti AAI Jawa Barat Bambang Yuli Sundayana, juga menyampaikan tidak dilibatkannya tokoh-tokoh agama yang merupakan unsur sangat penting bagi masyarakat di Jawa Barat. Studi kasus yang dilakukan di Cirebon ini fokus pada komunitas pesantren.
"Seharusnya kiai diajak mengambil kebijakan perubahan perilaku. Mereka tidak hanya bisa memengaruhi di lingkungan pesantren, namun juga masyarakat sekitar. Bisa juga melibatkan organisai kepemudaan santri," katanya.
Sementara Toetik Koesbardiati dari AAI Jawa Timur menyarankan agar pemerintah merangkul "bonek" untuk mengarusutamakan protokol kesehatan. "Bonek ini awalnya kelompok suporter sepak bola yang militan, tetapi kemudian menjadi gerakan sosial dan identitas Jawa Timur-an," tuturnya.
Menurut Toetik, kelompok bonek ini juga terlibat gerakan pembagian masker dan nasi bungkus yang diorganisir masing-masing wilayah. "Mereka juga beberapa kali bekerja sama dengan pemerintah, swasta, juga kepolisian. Di sisi lain, mereka punya modal komunikasi interaksi langsung dengan masyarakat melalui kegiatan sosial. Disarankan merangkul bonek sebagai mitra sejajar untuk turut mencari jalan keluar, termasuk melatih dengan muatan pengetahuan serta keahlian dalam komunikasi terkait Covid-19," kata dia.
Nanang Sutrisno dari AAI Bali menyampaikan Puri Agung Karangasem sebagai otoritas tradisional mampu menjadi contoh baik dalam penerapan protokol kesehatan di Taman Tirta Gangga, misalnya, saat ada anggota puri yang meninggal dunia, mereka memutuskan tidak mengadakan upaca ngaben karena khawatir bisa memicu penyebaran Covid-19.
" Puri ini juga berperan penting dalam menerapkan protokol kesehatan dengan mewajibkan 3 M (masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) bagi karyawan dan pengunjung. Mereka juga meliburkan karyawan yang sakit atau anggota keluarganya sakit dengan gejala Covid-19," ungkapnya.
Dengan temuan ini, lanjut Nanang, penting untuk melakukan sinergi antara institusi pemerintah, lembaga tradisional, dan pengelola obyek wisata. Dengan posisi penting Puri, kepatuhan karyawan terhadap protokol kesehatan menjadi tinggi dan bisa diterapkan juga kepada pengunjung.
Sementara Yahya Kadir dari AAI Sulawesi Selatan mengatakan, warga masyarakat di Jeneponto memiliki ciri patronase. Masyarakat cenderung menjadikan elit birokrasi dan aparat sipil negara sebagai role model.
Namun elit dan aparatur birokrasi pada umumnya tidak patuh menerapkan protokol Covid-19. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan di awal yakni mendorong elit dan aparatur biroktrasi ini menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19 melalui intervensi Satgas Provinsi ke tingkat Kabupaten.