Akses Masyarakat terhadap Air Minum Perpipaan Masih Minim
Peningkatan cakupan akses air minum perpipaan hingga kini masih tersendat. Upaya percepatan perlu disegerakan untuk memberi layanan dasar yang sehat dan terjamin kualitasnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski mayoritas penduduk Indonesia telah memiliki akses terhadap air minum layak, baru sebagian kecil di antaranya yang memiliki akses terhadap air minum perpipaan. Sejumlah program rencana pengamanan air minum terus dilakukan untuk mencapai target akses masyarakat terhadap air perpipaan untuk mempermudah pengontrolan kualitas dan produksinya.
Direktur Perumahan dan Permukiman Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti mengatakan, capaian saat ini menunjukkan sekitar 90 persen penduduk Indonesia telah memiliki akses terhadap air minum layak. Namun, baru 20 persen yang memiliki akses air minum perpipaan.
”Padahal, akses air minum perpipaan ini penting untuk memastikan akses air minum kita aman. Sebab, kita akan lebih mudah mengontrol teknologi produksinya, perpipaannya, dan juga titik-titik penggunaannya. Jika menggunakan air minum dari sumur atau sumber mata air, kita akan sulit memantaunya,” ujarnya dalam diskusi daring memperingati Hari Air Sedunia, Jumat (19/3/2021).
Kita harus bisa menghargai sumber air dengan konservasi, menghargai infrastruktur air, layanan air, dan hargai air dalam aspek kultur-sosial. (Tri Dewi Virgiyanti)
Berdasarkan data yang diolah Bappenas dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), capaian akses air minum layak selama 2011-2020 meningkat lebih kurang 1 persen per tahun. Sebaliknya, laju pertumbuhan akses perpipaan tidak sampai 1 persen dalam tiga tahun terakhir.
Kondisi tersebut membuat Bappenas terus mendorong tercapainya target peningkatan akses air minum perpipaan hingga 30 persen pada 2024. Target capaian tersebut sudah dinilai aman berdasarkan hasil survei kualitas air yang dilakukan Bappenas pada 2015.
Dalam mendorong peningkatan akses air minum ini, kata Virgiyanti, pemerintah telah melakukan sejumlah program di tingkat hulu maupun hilir. Program itu, antara lain, membangun penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) untuk masyarakat perdesaan, program nasional penyediaan air minum di perkotaan, dan sejumlah program pendanaan seperti dana alokasi khusus maupun hibah.
”Untuk mencapai air minum aman, kita masih perlu melakukan program rencana pengamanan air minum. Ini dilakukan untuk mengetahui titik risiko dan kontaminasi sehingga bisa mengontrol serta mencegah terjadinya rekontaminasi air minum yang sudah diolah dengan baik dan disalurkan ke rumah tangga,” tuturnya.
Selain itu, Virgiyanti juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengelola air secara bijak. Sebab, data kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan air selama pandemi. Pada 2019, tercatat konsumsi air 146,75 liter per orang per hari dan meningkat menjadi 157 liter per orang per hari pada 2020.
”Sejalan dengan peringatan Hari Air Sedunia yang mengambil tema Hargai Air, kita perlu bersama-sama melihat kembali sejauh mana kita sudah menghargai air. Kita harus bisa menghargai sumber air dengan konservasi, menghargai infrastruktur air, layanan air, dan hargai air dalam aspek kultur-sosial,” ucapnya.
Direktur Lingkungan Hidup Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Matthew Burton menyatakan, sekitar 89 persen rumah tangga di Indonesia memiliki sumber air minum yang layak dan terlindungi. Namun, baru 6,9 persen sumber air minum yang aman untuk dikonsumsi. Kondisi ini memberi dampak buruk untuk masyarakat, khususnya anak-anak.
”Buruknya akses air minum dan sanitasi juga berkontribusi terhadap angka stunting yang dialami oleh 28 persen anak Indonesia. Tantangan penyediaan air bersih bertambah dengan adanya perubahan iklim dan cuaca ekstrem,” ujarnya.
Menurut Matthew, perubahan tata guna lahan di daerah tangkapan air mengakibatkan berkurangnya resapan air ke tanah. Selain itu, perubahan iklim turut mengganggu ketersediaan air baku karena musim kemarau semakin panjang dan kering, sedangkan saat musim hujan menjadi lebih singkat dan intensitas tinggi.
”USAID Indonesia melalui program Iuwash Plus mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum layak yang berkualitas bagi lebih dari 1 juta penduduk perkotaan. Melalui kemitraan dengan 35 pemerintah daerah, Iuwash Plus membantu meningkatkan kinerja PDAM dan mengidentifikasi kerentanan mata air,” katanya.