Klaim dan Realitas Vaksin Nusantara
Prosedur riset untuk mengembangkan vaksin Covid-19 di dalam negeri mesti tetap mengedepankan sains demi menjamin keamanan, kemanjuran, dan mutu vaksin. Untuk itu, jangan terburu-buru mengklaim keberhasilan riset vaksin.
Tingginya kebutuhan vaksin Covid-19 menyebabkan adanya tekanan besar untuk mempercepat pengembangan dan persetujuan penggunaannya. Namun, vaksin merupakan produk sains, bukan politik. Prosesnya harus tetap mengedepankan sains untuk memastikan keamanan, kemanjuran, dan efektivitasnya.
Tekanan untuk mempercepat pengembangan vaksin di Indonesia itu terlihat dalam Rapat Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (11/3/2021) lalu yang berlangsung lebih dari sembilan jam dan bisa diikuti secara daring. Anggota DPR dari Fraksi Golkar Darul Siska misalnya, meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menurunkan standar yang dianggapnya merepotkan Vaksin Nusantara.
Sementara anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo menilai izin vaksin Nusantara dipersulit dan menuding Badan Pengembangan Obat dan Makanan (BPOM) tidak independen. Dia juga membandingkan vaksin Sinovac dan AstraZeneca yang lebih dulu mendapatkan izin. "Jangan dibunuh dulu secara administrasi. Saya malah menduga pada ujungnya akan diberikan izin tapi setahun, tektokan, pingpong, begitu," ujarnya.
Baca juga Tertahannya Uji Klinis Tahap Kedua Vaksin Nusantara
Kesimpulan rapat, yang ditandatangi Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene dengan jelas menunjukkan tekanan politik dari anggota dewan. Disebutkan, BPOM harus segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) fase 2 bagi kandidat vaksin Nusantara agar riset itu bisa diselesaikan selambatnya tanggal 17 Maret 2021.
Kepala BPOM Penny Lukito beralasan, belum bisa mengeluarkan izin uji klinis fase 2 untuk vaksin Nusantara karena dianggap prosesnya bermasalah. Di antaranya, terdapat perbedaan lokasi penelitian dengan komite etiknya. Padahal, setiap tim peneliti harusnya memiliki komite etik di tempat pelaksanaan penelitian sebagai bagian dari tanggung jawab dalam pelaksanaan dan keselamatan subyek penelitian.
" Pemenuhan kaidah good clinical practice juga tidak dilaksanakan dalam penelitian ini. Komite etik dari RSPAD Gatot Subroto, tapi pelaksanaan penelitian ada di RS dr Kariadi," kata Penny.
Penny juga menyebutkan, Vaksin Nusantara tak melalui uji praklinik terhadap binatang dan langsung uji klinis I kepada manusia. Persoalan lain, data-data tentang hasil uji klinik fase 1 belum lengkap.
"Kenapa kami belum mengeluarkan keputusan uji klinis fase kedua? Karena kami belum selesai membahas bersama dengan tim peneliti hasil uji klinis fase pertama," lanjut Penny. Data interim ini sudah lama diminta, namun lambat direspon. Jadi, BPOM baru akan ada pertemuan (dengan tim peneliti) tanggal 16 Maret 2021.
Berdasarkan data US National Library of Medicine yang bisa diakses di clinicaltrials.gov, vaksin Nusantara didukung oleh Aivita Biomedical, perusahan di Amerika Serikat bekerja sama dengan PT AIVITA Biomedika Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang, dan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Baca juga Percepatan Vaksin Covid-19 Domestik Tetap Penuhi Kaidah dan Standar Penelitian
Disebutkan, vaksin ini menyelesaikan uji klinis tahap pertama dengan total relawan 27 orang. Proses dimulai dengan penetapan Tim Penelitian Uji Klinis Vaksin Sel Dendritik oleh Kemenkes KMK No. HK.01.07/MENKES/2646/2020 pada 12 Oktober 2020. Kemudian penyuntikan uji klinis fase pertama hingga 11 Januari 2021, serta pemantauan dan evaluasi pada 3 Februari 2021.
Sementara itu, mantan Menteri Kesehatan Terawan Putranto yang menjadi salah satu inisiator vaksin ini mengatakan, Vaksin Nusantara merupakan karya "anak bangsa". "Waktu selaku Menkes berperan serta di dalam kegiatan anak bangsa yang ingin mengembangkan vaksin berbasis sel dendritik. Yang tentunya sifatnya autologus, individual, dan tentunya sangat aman," ungkapnya.
Sebelumnya, dalam berbagai wawancara, Terawan mengatakan vaksin ini bakal memberikan perlindungan seumur hidup. Dalam rapat di Komisi IX itu, Terawan menyempitkan sasaran vaksinnya, yaitu lebih menyasar masyarakat yang masuk dalam pengecualian kriteria vaksin lain. "Paling tidak bisa mengatasi autoimun, komorbid berat, dan terkendala vaksin lain," jelasnya.
Perspektif sains
Di luar polemik mengenai proses perizinan dan tekanan politik ini, ahli biologi molekuler dan peneliti vaksin Indonesia yang bekerja di John Curtin School pf Medical Research, Australia National University, Ines Atmosukarto mengingatkan, setiap vaksin yang dikembangkan harus melalui proses riset dan uji klinik yang ketat.
" Vaksin merupakan produk sains. Oleh karena itu kewenangan BPOM dan para ahli yang me-review (meninjau) hasil uji klinisnya jangan diintervensi agar keputusannya sesuai kaidah sains," kata Ines, mantan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Baca juga Presiden: Pengembangan Vaksin Harus Sesuai Kaidah Ilmiah
Secara saintifik, Ines meragukan penggunaan sel dendritik untuk vaksin Covid-19, yang kebutuhannya bersifat massal ini. "Produk dendritic cell ini sangat individual. Untuk setiap orang akan diciptakan satu produk dari sel dia sendiri," katanya.
Produk dendritic cell ini sangat individual. Untuk setiap orang akan diciptakan satu produk dari sel dia sendiri.
Secara sederhana, prosesnya dimulai dengan mengambil darah seseorang sekitar 50 milimeter atau setengah gelas untuk kemudian dipurifikasi sel darah putihnya. Sel dendritik lalu dikembangkan di laboratorium dan diekspos ke antigen, baru kemudian menjadi vaksin dan bisa disuntikkan kepada orang tersebut. Vaksin ini hanya bisa diberikan ke orang yang bersangkutan, tidak bisa dipakai untuk orang lain.
Selama proses, sel yang dikembangkan harus dikontrol kualitasnya dan disimpan minus 80 derajat Celsius atau dalam nitrogren cair. Selain itu, pengembangan vaksin ini melibatkan manipulasi sel dari manusia, sehingga tidak bisa dilakukan di sembarang laboratorium. "Saya mempertanyakan, riset Vaksin Nusantara ini yang melakukan Avita di Amerika Serikat atau benar karya anak bangsa?"
Dari pendekatannya, menurut Ines, vaksin dendritik ini tidak akan bisa menjawab bottle neck (kebuntuan) terkait pemenuhan kebutuhan vaksin, sehingga tidak ada perusahaan vaksin besar yang mengembangkan metode ini untuk mengatasi Covid-19. "Kalau pendekatan ini menjanjikan, pasti perusahaan dan laboratorium ternama sudah berlomba mengembangkannya," tuturnya.
Berdasarkan data vaccine tracker (pelacak vaksin), selain Vaksin Nusantara, vaksin berbasis dendritik untuk Covid-19 ini hanya dikembangkan oleh satu perusahaan rintisan (startup) di China.
Baca juga Berbasis Sel Dendritik, Vaksin Nusantara Diklaim Lebih Aman
" Pendekatan ini memang tidak masuk akal. Selain prosesnya rumit, pendekatan ex vivo vaksin ini akan menginduksi respon imun T. Padahal yang dibutuhkan dari vaksin Covid-19 adalah respon imun B untuk membangkitkan antibodi. Menguji anti bodi kenapa strateginya respon imun T," ungkapnya.
Sejauh ini, lanjut Ines, vaksin berbasis sel dendritik dikembangkan untuk mencegah kanker dan di dunia baru ada satu produk yang mendapat izin dari FDA pada tahun 2010 dengan harga per dosis amat mahal.
"Kalau mau mengembangkan vaksin Covid-19, sebenarnya inovasi yang sangat dibutuhkan adalah vaksin yang bisa disimpan di suhu ruang, atau yang hanya perlu satu suntikan, atau bahkan tidak perlu suntik tetapi melalui semprotan di hidung. Ini baru inovasi yang bantu pandemi. Misalnya nggak perlu kulkas. Kalau vaksin Nusantara malah menambah beban. Masing-masing orang harus datang," ujarnya.
Meski demikian, upaya pengembangan Vaksin Nusantara patut dihargai. Namun jangan buru-buru mengklaim bahwa produk vaksin ini aman dan memiliki efikasi tinggi, bisa melindungi seumur hidup, dan berbagai klaim lain.
"Saat ini Vaksin Nusantara masih pada tahap penelitian. Masih awal. Wajar dalam proses riset ada yang lolos, ada juga yang rontok. Tetapi, sangat penting agar produk yang masih tahap riset tidak buru-buru diklaim bisa menghasilkan antibodi seumur hidup dan aman. Sains berdasarkan data, jangan dicampur dengan kampanye dan klaim politik," ujarnya.