Penanganan Sampah dari Hulu ke Hilir Belum Sejalan
Penanganan sampah yang melibatkan produsen, pemerintah, serta masyarakat belum berjalan seiring. Sementara produsen yang turut aktif menghasilkan sampah masih kurang dilibatkan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan sampah di Indonesia belum berjalan seirama, mulai dari sektor hulu yang melibatkan produsen kemasan hingga sektor hilir yang melibatkan masyarakat. Belum adanya penanganan yang menyeluruh ini membuat persoalan sampah kian tak tertangani.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menyampaikan, dalam konsep pengelolaan sampah yang ideal, ada langkah pengurangan yang berlangsung dari hulu, seperti melibatkan produsen kemasan. Selain itu, ada juga langkah penanganan yang terpusat di tempat pembuangan akhir (TPA).
Konsep ideal itu belum berjalan, terutama dari sektor hulu. Pelibatan produsen belum masif, lalu pengolahan sampah dari rumah tangga juga masih minim. Hampir seluruh sampah itu langsung menuju ke TPA daerah setempat.
”Saya mengibaratkan persoalan sampah kita seperti mengosongkan bak air dengan sendok kecil. Kapasitas pengelolaan masih di bawah 50 persen, sementara 80 persen sampah itu langsung masuk ke landfill system (TPA), tanpa ada pengolahan terlebih dulu,” tutur Novrizal.
Hal tersebut disampaikan Novrizal dalam dialog publik bertema ”Bicara soal Plastik di Masa Pandemi Covid-19: Tanggung Jawab Negara dan Konsumen terhadap Pelestarian Lingkungan” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Senin (15/3/2021).
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 65,8 juta ton per tahun. Sebanyak 44 persen adalah sisa makanan, 13 persen ranting, daun, atau sampah organik.
Sementara 57 persen lainnya adalah sampah anorganik yang terdiri dari plastik (15 persen), kertas (11 persen), kain/tekstil (3 persen), logam (2 persen), karet/kulit (2 persen), dan lain-lain (8 persen). Seperti diberitakan sebelumnya (Kompas, 13/1/2021), sampah yang tidak didaur ulang kemudian ditimbun di tempat pemrosesan akhir (TPA) atau mencemari lingkungan, seperti laut.
Dalam konsep pengelolaan sampah yang ideal, ada langkah pengurangan yang berlangsung dari hulu, seperti melibatkan produsen kemasan. Selain itu, ada juga langkah penanganan yang terpusat di tempat pembuangan akhir.
Sementara itu, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 20 April-5 Mei 2020 mencatat penambahan sampah plastik jasa antar paket dan jasa antar makanan selama pandemi Covid-19. Sejumlah responden di Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Makassar menyebut selama pandemi intensitas belanja mereka naik dari 1-5 kali menjadi 6-10 kali dalam sebulan selama pembatasan kegiatan.
Berkaitan dengan tren itu pula, Badan Pusat Statistik dalam Indeks Perilaku Ketidakpedulian Linkungan Hidup tahun 2018 mencatat 72 persen masyarakat Indonesia tidak peduli sampah. Persoalan sampah itu masih sulit tertangani lantaran banyak yang belum terbiasa memilah dan mengolah sampah.
Novrizal menuturkan, pemerintah telah berupaya mengendalikan sampah sejak dari hulu dengan menerbitkan regulasi peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019.
Hingga akhir Februari 2021, ada 11 produsen manufaktur dan empat pusat belanja ritel yang menyerahkan dokumen perencanaan tersebut. Kementerian LHK menargetkan peran aktif dari produsen dapat mengurangi 30 persen sampah pada 2030.
Sejumlah produsen dari air minum kemasan, makanan, pembersih ruangan, alat kecantikan, hingga pengelola mal turut berpartisipasi dalam perencanaan itu. Jumlah itu memang belum signifikan, tetapi tetap dapat berkontribusi pada pengurangan sampah sektor hulu.
Persoalan sampah hulu-hilir juga tengah diupayakan oleh pemerintah lewat prinsip berbasis ekonomi sirkular. Hal ini didukung dengan keandalan sistem pengolahan limbah dan daur ulang agar sampah lebih bernilai guna.
Novrizal mencontohkan, industri daur ulang nasional membutuhkan sampah kertas yang sudah terpilah kurang lebih 7 sampai 7,2 juta ton per tahun. Begitu pula industri daur ulang plastik dan logam yang ia sebut kebutuhannya masing-masing berkisar 2 juta ton per tahun.
Namun, lanjut Novrizal, kebutuhan pasokan sampah itu belum dapat dipenuhi dari dalam negeri akibat sampah yang tidak dikelola dengan baik. ”Ini, kan, menjadi ironis. Sampah kita begitu banyak, tetapi tidak terkelola dengan baik,” ucapnya.
Ketua Gerakan Plastik Akal Sehat untuk Indonesia (Pasti) Siti Adiningsih Adiwongso pun menyampaikan, kebiasaan memilah sampah belum banyak dilakukan oleh warga. Kantong plastik, misalnya, masih banyak dipakai di pasar tradisional. Sebagian orang telah terbentuk pola pikir kalau belanja dengan plastik itu lebih aman dan mudah.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari menjelaskan, tantangan ekonomi sirkular kini berkutat pada pemilahan sampah dan daur ulang. Konsep bank sampah, misalnya, yang berjalan selama ini hanya efektif di beberapa daerah. Bank sampah sangat dipengaruhi oleh keaktifan warga memilah sampah di lingkungan setempat.
Selain itu, masalah sampah ini tidak bisa dibebankan kepada konsumen semata. Sebab, warga tidak pernah mendapat edukasi yang jelas terkait bagaimana mengolah bermacam sampah kemasan produk setelah konsumsi. Maka itu, produsen punya tanggung jawab untuk ikut mengelola kembali sampah dari hasil kemasan produk mereka.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi pun mengingatkan, upaya pengendalian sampah semestinya bermula dari kebijakan yang tepat dan konsisten. Tidak bisa terus bergantung pada perilaku konsumen dalam mengolah sampah semata. Sebab, konsumen pada prinsipnya selalu patuh saat ada regulasi.